Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Leces Sampai di Sini

Revitalisasi PT Kertas Leces gagal karena tak ada modal. Berharap pada akuisisi PT RNI dan penyewaan lahan oleh PT Waskita Karya.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah forklift lalu-lalang memindahkan gelondongan kertas dari ruang produksi ke gudang pemasaran. Empat forklift lainnya hanya diparkir. Tak tampak aktivitas produksi di kompleks pabrik PT Kertas Leces, Probolinggo, yang dibangun pada 1939. Empat mesin yang selama setahun lebih memproduksi beraneka kertas itu menganggur dalam sebulan terakhir ini.

"Boiler serta power plant sedang direvisi. Selama setahun ini terus beroperasi," kata juru bicara PT Kertas Leces, Cilik Sukaryadi, Selasa pekan lalu. Boiler buatan Cina itu sumber energi utama penggerak mesin kertas di pabrik kertas tertua kedua setelah Pabrik Kertas Padalarang di Jawa Barat tersebut. Jika semua mesin di pabrik seluas 62 hek­tare itu mati, otomatis produksi pun berhenti.

Produksi, menurut Cilik, dimulai lagi pada pekan ketiga Januari ini, setelah servis rutin yang dilakukan setahun sekali dan bahan baku kertas tersedia. Byar-pet mesin operasi adalah hal biasa bagi perusahaan pelat merah ini.

Pada Mei 2010-Juni 2012, Leces juga berhenti beroperasi. Tapi, bedanya, waktu itu mesin tak berproduksi karena pabrik kehabisan ongkos.

Ketika kembali bekerja mulai awal 2013 pun mesin-mesin itu tidak berproduksi optimal. "Tidak mungkin optimal karena modal terbatas," kata Cilik. Perusahaan ini hanya memiliki modal Rp 20 miliar untuk memutar mesin produksi selama 2013.

Leces memang sedang sakit berat. Mantan Ketua Umum Serikat Pekerja PT Kertas Leces Djody Soegiharto bercerita, untuk menyambung hidup, perusahaan ini pernah mengajukan permohonan tambah­an dana melalui penanaman modal negara (PMN) Rp 400 miliar kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

Permohonan itu sempat akan disetujui Rp 200 miliar dan dikucurkan pada April 2012. Tapi harapan tinggal harapan. PMN tak mampir ke Leces meski PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia mendapatkannya. Menurut Djody, perusahaan bekas tempat kerjanya tersebut dinilai PT Surveindo, yang menyurvei Leces untuk keperluan itu, tidak layak dikucuri dana.

Direktur Utama PT Kertas Leces Budi Kusmarwoto mengatakan perusahaannya ibarat orang terkatung-katung di tengah laut yang sewaktu-waktu bisa tenggelam. Kinerja finansial Leces mencatatkan kerugian sejak 2005 sampai sekarang. Utangnya sekitar Rp 1,5 triliun dan sebagian besar asetnya telah digadaikan, sehingga kekayaan perusahaan (equity) menjadi minus sekitar Rp 600 miliar. "Akal sehat pebisnis dengan equity negatif sekitar Rp 600 miliar keputusannya cuma satu: tutup," kata Budi.

Namun ia optimistis Leces masih bisa diselamatkan. "Kalau penyebab sakit dan solusi permanen sudah dipetakan, saya percaya dana penyelamatan berupa modal swasta akan datang sendiri," katanya. Strategi bisnis inilah, menurut dia, yang sedang dimatangkan Leces untuk menarik minat swata.

Manajemen pabrik kertas telah menyusun rencana indah sepanjang 2013 hingga 2016, dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) hutan tanaman industri dengan Pemerintah Kabupaten Nias Utara, menjual hasil sampingan energi listrik ke PT PLN, sampai memproduksi kertas HVS dan kertas security untuk PT Grafika Indonesia. Mereka juga berencana mengembangkan kertas berbahan serat pisang abaca sampai membuat kertas mulia untuk bahan baku uang. "Targetnya bisa sampai 100 ribu ton per tahun," kata Cilik.

Rencana itu hanya sampai di atas kertas. Budi mengakui kondisi Leces belum membaik karena tak punya modal. Ia berusaha melakukan revitalisasi dengan menggandeng beberapa pemodal swasta dan perusahaan milik negara.

PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Waskita Karya tertarik. Sayangnya, mereka tak berminat menghidupkan kembali pabrik kertas legendaris ini. PT Rajawali berhasrat mengakuisisi Leces karena berniat membangun pabrik gula di kawasan industri itu. Adapun Waskita melirik lahan Leces untuk mendirikan pabrik beton precast.

Apa boleh buat, uluran tangan kedua BUMN itu pun disambut. PT Rajawali melihat sarana dan prasarana Leces, seperti pembangkit listrik, tanah matang, jalan dalam kompleks, sumber mata air berkapasitas besar, dan fasilitas limbah, sangat cocok dengan strategi mereka dalam bisnis gula.

Jika RNI membangun sendiri infrastruktur itu, diperlukan waktu sekitar dua tahun, belum lagi soal perizinan. Sedangkan membangun pembangkit listrik batu bara memerlukan waktu sekitar tiga tahun. Sebaliknya, Leces dapat memanfaatkan ampas tebu untuk bahan produksi kertas. Selain itu, akuisisi akan meningkatkan nilai korporat RNI dan Leces. "Tapi proses akuisisi memerlukan waktu panjang," kata Budi.

Direktur Utama PT RNI Ismed Hasan Putro membenarkan rencana akuisisi Leces. Membuat pabrik gula di lingkungan Leces akan menghemat Rp 300-400 miliar karena boiler batu bara sudah tersedia. Dana investasi Rp 1,5 triliun disiapkan untuk membangun pabrik gula berkapasitas 6.000 ton per hari. "Akhir Maret minimal ada peletakan batu pertama," ujar Ismed, Rabu pekan lalu. Namun RNI masih akan membicarakan tanggungan utang Leces dengan Kementerian BUMN.

Deputi Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Dwijanti Cahyaningsih hanya mengatakan kinerja Leces belum membaik dan masih direstrukturisasi. Ia juga mengatakan PT Waskita Karya akan menyewa lahan di Leces untuk membangun pabrik beton precast.

Direktur Operasi PT Waskita Karya Desi Aryani membenarkan Dwijanti. "Dalam proses izin. Rencana produksi pada tahun ini (2014)," kata Dewi dalam pesan pendek melalui ponsel. Pabrik precast akan dibangun permanen untuk menangkap pasar di Jawa Timur dan kawasan Indonesia Timur. Pabrik ini merupakan pengganti pabrik di Pasuruan yang sebelumnya masih semipermanen.

Leces dipilih untuk optimalisasi pemanfaatan lahan BUMN dengan sinergi antar-BUMN. "Sewa lahan 10 tahun, luas lahan enam hektare berada di pinggir atau sebelah luar PT Kertas Leces," kata Dewi. Nilai investasi yang dikucurkan sekitar Rp 50 miliar karena sebagian memakai alat eks Pasuruan. Pabrik berkapasitas 200 ribu ton per tahun itu akan mulai memproduksi beton precast sekitar Juli 2014.

Jadi, setelah kedua industri itu berdiri, sebenarnya tetap ada dua kemungkinan: pabrik kertas Leces akan kembali bernapas panjang atau hanya jadi saksi perubahan zaman dan setelah itu mati.

Endri Kurniawati, David Priyasidharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus