SAAT Deklarasi Malino dibacakan, Pendeta Damanik menopangkan kedua tangannya ke dagu, ia termangu, air matanya mengalir. Suasana haru menyelimuti seluruh ruang pertemuan di Hotel Celebes, Malino, Sulawesi Selatan, tempat berlangsungnya Pertemuan untuk Poso, 19-20 Desember 2001. Delegasi kelompok Islam dan Kristen yang selama ini bertikai kini berjabat tangan, berpelukan, bertangis-tangisan. Permusuhan tiga tahun ini sudah banyak merusak: rumah-rumah dibakar, tempat ibadah dihancurkan, lebih dari 500 jiwa jadi korban (angka ini versi polisi, Laskar Jihad menyebut lebih dari 2.000 tewas), ratusan penduduk koyak dan luka.
Sepuluh poin kesepakatan di Malino itu memang diharapkan menjadi gerbang menuju perdamaian permanen di Poso. Daerah seluas 28 ribu kilometer persegi di Sulawesi Tengah itu perlu menata lagi gedung-gedung yang rontok, fasilitas umum yang boyak. Warga pun banyak menderita. Mobil dan harta benda mereka terbakar. Anak-anak dilanda trauma yang akut dan tak gampang disembuhkan. Mereka menyaksikan manusia dibunuh—saudara mereka atau orang lain—dan harta benda diluluh-lantakkan (lihat Tapak-Tapak Kekerasan Poso).
Malino sangat diharapkan bisa memulihkan segalanya, walaupun menciptakan perdamaian permanen di sana tak terlalu mudah. Upaya-upaya sebelumnya yang kandas adalah bukti nyata. Pada Agustus 2000, misalnya, dilaksanakan Rujuk Sintuwu Maroso, yang me-libatkan para kepala adat di 16 kecamatan di Poso dan dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Pernah juga dilakukan Kesepakatan Tentena—pusat umat Kristen di Poso—pada bulan berikutnya, yang mewajibkan kedua pihak untuk tidak memulai melakukan kekerasan. Para pemimpin lokal juga mengusahakan perdamaian di tempat mereka masing-masing. Tapi kekerasan seperti bisul yang sering kambuh. Maka, Malino memang jadi tumpuan harapan, karena, "Kami sudah lelah dan jenuh dengan konflik kekerasan terus-menerus," ujar seorang anggota delegasi yang datang di Malino.
Pendeta Damanik, Koordinator Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah, termasuk yang optimistis dengan pertemuan Malino ini. Memang, pada awalnya semua terlihat tegang. Saat baru datang, para delegasi dari kubu yang berseberangan masih menunjukkan sikap bermusuhan dan curiga. Mereka tidak mau saling sapa dan jabat tangan. Makan pun terpisah di kelompok masing-masing. Pelan-pelan ketegangan dan curiga itu cair. Sampai akhirnya jabat tangan, peluk haru, dan air mata tumpah di sana.
Malino menjanjikan harapan karena yang hadir benar-benar mewakili pihak akar rumput yang terlibat langsung pertikaian, bukan para elite atau ketua adat. Merekalah yang memperdebatkan poin-poin kesepakatan bersama—meskipun alot dan melelahkan. Masing-masing tampak berhitung benar untung rugi poin-poin yang mereka ajukan. "Tapi kami sudah memutuskan jauh-jauh datang ke sini dengan sebuah harapan besar. Alhamdulillah, hari ini sudah ada titik awal untuk menuju ke jalan yang damai," kata Ustad Yahya Al Amri, seorang tokoh Islam Poso, Pimpinan Pondok Pesantren Al Khaerat.
Al Amri adalah satu dari 25 wakil pihak muslim yang menandatangani deklarasi itu. Dari pihak Kristiani ada 23 orang yang membubuhkan tanda tangan. Tidak tanggung-tanggung, ada tujuh mediator, dipimpin Menteri Jusuf Kalla. Di samping itu, ada 24 peninjau dari berbagai organisasi agama, cendekiawan, pakar hukum, dan pemerintahan.
Alhasil, Malino dipersiapkan dengan serius. Tempat sejuk penghasil markisa dan buah-buahan ini memang cocok menjadi tempat berunding. Malino beberapa kali pernah menjadi tempat perundingan pemerintah RI dengan kolonial Belanda. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, mediator pertemuan ini, rupanya tahu benar "sihir" kota pegunungan yang berjarak 77 kilometer dari Makassar itu. "Pengaruh dari luar relatif tidak masuk, bahkan sinyal handphone juga tidak sampai. Jadi, perundingan tak terganggu," kata menteri yang asli Sulawesi Selatan itu.
Alhasil, mereka sepakat untuk menata kehidupan yang lebih aman dan damai. Dalam deklarasi disebutkan, pihak yang bertikai akan menghentikan semua konflik dan perselisihan. Mereka akan menaati semua bentuk upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. Kedua pihak yang bertikai juga sepakat menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
Seusai pembacaan deklarasi, "batas-batas" wilayah agama pun seakan lumer. "Sekarang saya sudah bisa ke Tentena, kan?" tanya Ustad Yahya kepada Pendeta Pelima. Selama ini Tentena memang dikenal sebagai basis kelompok Kristen, sedangkan kelompok Islam berbasis di Kota Poso. Tawaran itu disambut oleh Pelima. "Silakan, saya memang sudah lama tidak bertemu Anda, dan saya harap kita semua bisa bersama-sama lagi," kata Pelima, yang juga pengurus Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
Tugas para pemuka agama itulah mengabarkan Deklarasi Malino ke umatnya. Sementara itu, pemerintah akan memprioritaskan pemulihan keamanan, penegakan hukum, dan perbaikan kondisi sosial ekonomi. Relokasi pengungsi yang masih ditampung di kamp-kamp pengungsian adalah prioritas utama.
Selanjutnya, pemerintah akan menerapkan upaya penegakan hukum dengan melakukan operasi senjata, baik senjata api maupun senjata tajam. Namun tindakan itu diawali dengan imbauan untuk menyerahkan senjatanya secara suka rela kepada aparat keamanan. Ini semua diharapkan bisa terlaksana dalam satu bulan ini. "Tim kelompok kerja yang dibentuk akan membantu aparat keamanan melaporkan kondisi wilayah mereka masing-masing di tingkat desa ataupun kecamatan," kata Jusuf Kalla.
Kalau solusi untuk Poso ini berhasil, inilah model yang bisa ditiru untuk "menyiram" api kerusuhan agama yang meletup di banyak tempat.
Bina Bektiati, Syarief Amir (Malino), Muhammad Darlis (Poso)
Tapak-Tapak Kekerasan Poso
1998
25-28 Desember 1998
Roy Runtu (Kristen) yang mabuk membacok Ridwan (Islam) yang sedang berada di masjid di Poso. Keduanya mengadu ke kelompoknya masing-masing hingga terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban luka-luka serta pembakaran dan perusakan rumah-rumah penduduk.
2000
17-19 April 2000
Dua pemuda mabuk dari Desa Lambodia (Islam) dan Lawanga (Kristen) bertikai tanpa alasan jelas. Akibatnya, warga dua desa berperang, lalu meluas ke seluruh daerah Kota Poso. Tiga orang tewas, beberapa terluka, 200 lebih rumah terbakar, puluhan motor dan mobil terbakar, lima rumah di asrama polisi hancur, dan tiga gereja juga terbakar.
23 Mei 2000
Terjadi penyerangan mendadak oleh sekelompok ninja ke pos pengaman di beberapa daerah permukiman muslim di Kota Poso.
2-6 Juni 2000
Kerusuhan menyebar ke kecamatan-kecamatan sekitar Kota Poso karena aksi saling balas dendam. Lebih dari 100 orang tewas, 14 orang luka tembak, dan lebih dari 100 luka-luka.
2001
Maret 2001
Febianus Tibo, Domingus da Silva, dan Marinus Riwu, tiga tertuduh pelaku pembunuhan dalam kerusuhan di Poso Mei dan Juni 2000, diancam hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Palu.
April 2001
Kota Poso kembali rusuh. Gara-garanya terjadi penyerangan sekelompok orang terhadap pos siskamling hingga menewaskan tiga orang, termasuk Sersan Mayor Polisi Kamaruddin. Kerusuhan merebak ke sekitar Kota Poso.
Juli 2001
Penduduk di mana-mana bersenjatakan senapan rakitan. Ratusan tentara dan polisi berjaga-jaga di jalan-jalan. Kelompok penduduk Islam dan Kristen tinggal terpisah, bahkan guru-guru pindah mengajar ke sekolah yang sesuai dengan agama masing-masing.
15 Oktober 2001
Kerusuhan meledak lagi. Awalnya adalah mobil pengangkut ikan milik muslim asal Ampana dibakar massa Kristen di jalan Desa Silanca. Sopir dan kernet dipaksa turun dan dipukuli. Untung, mereka diselamatkan anggota TNI dan disembunyikan di rumah kosong.
16 Okt 2001
Hunian Kristen di Madale—desa Kristen yang bersebelahan dengan Tegalrejo, desa Islam—diserang oleh sekelompok orang.
17 Oktober 2001
Dua bus Aluguro—satu-satunya angkutan umum yang masih berani menempuh rute ke Poso dan kebetulan pemiliknya Islam—dibakar massa di Desa Kamba, yang berpenduduk Kristen.
29 Oktober-4 Desember 2001
Serangan balas-membalas terjadi di berbagai penjuru Poso. Pihak aparat sudah tidak mampu menghentikan pertikaian di antara kedua kelompok. Tindakan pihak-pihak yang berhadapan tidak sebatas melakukan pencegatan dan saling serang, tapi sudah membunuh dan meneror dengan mengirimkan tubuh tak bernyawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini