Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATRIALIS Akbar tak merasa canggung menyidangkan perkara perdananya sebagai hakim konstitusi, Senin pekan lalu. Sebelum jadi politikus Partai Amanat Nasional pada 1999, ia berprofesi sebagai advokat selama 15 tahun. "Sudah biasa bersidang," katanya.
Ia duduk sebagai hakim anggota dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah. Senin pekan lalu, majelis mendengarkan keterangan wakil Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan saksi ahli pemohon. Tak ikut memeriksa perkara sejak awal, Patrialis mengklaim sudah menguasai materi sidang. "Saya sudah mempelajari bahan dari panitera."
Bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah. Ia menggantikan Achmad Sodiki, yang pensiun. Menuding penunjukan itu tak transparan, sejumlah aktivis menggugat Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013, yang mengangkat Patrialis, ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Alvon Kurnia Palma, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang juga salah seorang penggugat, mengatakan keterbukaan dan partisipasi dalam pencalonan hakim tercantum dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, pemerintah tak boleh sembunyi-sembunyi memilih calon hakim. "Uji kelayakan dan kepatutan mesti digelar secara transparan," ujar Alvon. Ini pernah dilakukan Adnan Buyung Nasution ketika masih di Dewan Pertimbangan Presiden.
Politikus Partai Hanura, Syarifuddin Sudding, curiga Patrialis "diselundupkan" ke Mahkamah Konstitusi demi kepentingan pemilihan umum. Sebagaimana 2009, sengketa hasil Pemilihan Umum 2014 diselesaikan di Mahkamah. Begitu strategisnya peran Mahkamah pada tahun depan, kata Sudding, tak aneh bila partai menempatkan wakilnya di sana. Patrialis berasal dari partai pendukung pemerintah.
Menurut sumber, posisi hakim konstitusi Patrialis sudah lama disiapkan. Setelah dicopot dari kursi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2011, kabarnya, ia menghadap Presiden mempertanyakan pemberhentiannya. Kepada Patrialis lalu dijanjikan kursi hakim di Mahkamah Konstitusi dari unsur pemerintah—satu dari tiga unsur, selain dari Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ini pula yang membuat Patrialis mundur dari seleksi calon hakim pengganti Mahfud Md. di DPR pada Februari lalu. Awalnya, Patrialis bermaksud masuk Mahkamah Konstitusi lewat jalur DPR. Ia mendaftar bersama lima calon lain. Di tengah jalan, tiba-tiba Patrialis mundur tanpa alasan jelas. DPR lalu memilih Arief Hidayat sebagai hakim baru.
Menurut seorang anggota Komisi Hukum DPR, Patrialis semula dicalonkan Fraksi Partai Amanat Nasional. Tapi Patrialis tak laku dijajakan ke fraksi lain. "Setiap fraksi sudah punya calon," ujar sumber. Patrialis kabarnya sempat menggerutu. "Tahu begini, saya enggak akan mendaftar," politikus itu menirukan Patrialis.
Gagal maju dari Senayan, Patrialis banting setir ke jalur pemerintah. DPR, Mahkamah Agung, dan pemerintah masing-masing bisa mengusulkan tiga hakim konstitusi sehingga jumlahnya sembilan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan proses pencalonan Patrialis oleh pemerintah dilakukan sejak Maret—setelah DPR memilih pengganti Mahfud Md. "Tidak pakai fit and proper test," kata Amir. Menurut dia, Patrialis dipilih karena mempunyai kapasitas sebagai hakim.
Patrialis membantah kabar bahwa dia dipilih untuk melapangkan jalan buat tujuan tertentu. "Saya sudah disumpah menjaga independensi," ujarnya. "Tidak boleh ada intervensi, tidak ada titip-titipan." Lagi pula, kata Patrialis, ia sudah hampir dua tahun keluar dari Partai Amanat Nasional.
Masuknya Patrialis menambah jumlah politikus di Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya sudah ada Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva. Sebelum jadi hakim, Akil adalah anggota DPR dari Golkar. Adapun Hamdan dari Partai Bulan Bintang. Pekan lalu, mereka dipilih sebagai ketua dan wakil ketua Mahkamah.
Meski berasal dari partai politik, Akil dan Hamdan berjanji tetap independen. "Saya akan menjalankan tugas seadil-adilnya," ujar Akil. "Saya akan menjaga kewibawaan MK," kata Hamdan.
Anton Septian, Faiz Nashrillah, Prihandoko, Wayan Agus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo