Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT internal itu tidak tercantum dalam jadwal kerja Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis pekan lalu. Digelar di ruang Komisi, rapat hanya dihadiri empat pemimpin dan sepuluh ketua kelompok fraksi. Agendanya khusus membahas surat Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, yang meminta saran Dewan terkait dengan rencana penghentian penanganan perkara dua mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Tanpa perdebatan sengit, dalam rapat yang berlangsung satu jam itu, mereka bulat menolak rencana penghentian penanganan perkara melalui mekanisme deponering atau mengesampingkan perkara tersebut. Dalihnya, dua perkara itu dianggap belum memenuhi persyaratan untuk dideponir. "Kami meminta pimpinan DPR mengembalikan surat tersebut ke Kejaksaan," kata Ketua Komisi Hukum Bambang Soesatyo setelah memimpin rapat tersebut. "Saran ini dipakai atau tidak, terserah Jaksa Agung."
Surat Jaksa Agung itu diterima pimpinan Dewan, Rabu pekan lalu. Keesokan harinya, surat langsung diteruskan ke Komisi Hukum. Dalam suratnya itu, Prasetyo menulis dua perkara tersebut akan dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan umum. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara setelah memperhatikan saran dari sejumlah pihak terkait, termasuk DPR.
Permintaan saran Jaksa Agung ke Dewan itu hanya berselang sepekan setelah Presiden Joko Widodo memanggil Prasetyo dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti ke kantornya. Rapat itu khusus membahas perkembangan kasus Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan. Kepada Jaksa Agung dan Kepala Polri, Jokowi meminta kasus yang membelit dua mantan pemimpin KPK jilid ketiga itu diselesaikan agar tidak berlarut-larut dan menjadi beban. "Perintah Presiden segera selesaikan perkara itu sesuai dengan koridor hukum," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi S.P. "Salah satu opsinya deponering."
Bambang Widjojanto dan Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi setelah KPK mengumumkan status tersangka Kepala Pendidikan dan Pelatihan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan suap. Status tersangka diberikan ketika Budi Gunawan sudah disorongkan Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon Kepala Kepolisian RI. Akibatnya, Budi batal menjadi Kapolri dan kini menjabat Wakil Kapolri.
Setelah Budi menjabat Wakil Kapolri, rentetan kasus mulai menjerat petinggi KPK saat itu. Bambang dituduh mengarahkan saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010, di Mahkamah konstitusi. Ketika itu ia menjadi pengacara salah satu pihak yang beperkara.
Sedangkan Abraham Samad dijerat dua sangkaan: kasus pemalsuan dokumen paspor kerabatnya di Makassar pada 2007 dan penyalahgunaan wewenang karena bertemu dengan elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjelang pemilihan presiden pada medio 2014.
Penetapan keduanya sebagai tersangka langsung menuai kecaman publik. Gelombang dukungan agar penanganan kasus itu dihentikan mengalir dari pegiat dan tokoh antikorupsi, akademikus, media, mahasiswa, serta tokoh lintas agama. Mereka menyuarakan "Save KPK" serta menuding kasus Bambang dan Abraham sebagai upaya balas dendam kepolisian. Sepekan setelah penetapan tersangka Bambang dan Abraham, halaman gedung KPK di bilangan Kuningan, Jakarta, kerap dibanjiri ratusan orang yang menyatakan dukungan kepada KPK dan kedua orang itu.
Bahkan Tim 9 pimpinan Syafii Maarif, yang dibentuk Jokowi, merekomendasikan penanganan perkara Bambang dan Abraham dihentikan karena sarat kriminalisasi. Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 memuat bukti transkrip rekaman percakapan rahasia sejumlah petinggi PDI Perjuangan untuk menyiapkan skenario kriminalisasi terhadap Bambang dan Abraham.
Desakan penghentian penanganan perkara belakangan datang dari Senayan. Adalah Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman yang meminta penanganan perkara Bambang dan Abraham dihentikan saat komisinya tengah menggelar rapat dengan Jaksa Agung, 20 Januari lalu. "Kami mohon Kejaksaan Agung menghentikan kasus ini. Tidak perlu melanjutkan tradisi yang membuat gaduh," ucapnya.
Ketika kasus masih di kepolisian, desakan penghentian penanganan perkara sama sekali tak digubris. Setelah berkas keduanya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, menurut seorang penegak hukum di Kejaksaan, Jaksa Agung memerintahkan pembentukan tim khusus untuk menguji kasus itu layak diteruskan atau sebaliknya. Kendati sudah dinyatakan lengkap, sejak Oktober tahun lalu, dua kasus itu ditahan di kejaksaan negeri tempat terjadinya perkara. "Jaksa Agung memilih opsi penghentian setelah bertemu dengan Presiden, dua pekan lalu," katanya.
Langkah selanjutnya, menurut jaksa ini, Prasetyo meminta para ahli hukum memberi tafsir kepentingan umum yang akan dipakai sebagai alasan mengesampingkan perkara Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Banyaknya desakan publik dan timbulnya kegaduhan akibat kasus ini diminta Prasetyo sebagai pertimbangan untuk memperkuat alasan "demi kepentingan umum" tersebut. Salah satu pakar hukum yang dimintai pendapat adalah Indriyanto Seno Adji. Dimintai konfirmasi soal ini, Indriyanto tidak membenarkan atau membantah. "Hal-hal yang berbau off the record tidak akan saya komentari," ujar mantan pelaksana tugas Wakil Ketua KPK itu.
Opsi deponering, menurut jaksa madya ini, juga dipilih Jaksa Agung karena tidak ada instrumen hukum lain. Apalagi kasus sudah dinyatakan lengkap (P-21). Jumat dua pekan lalu, Prasetyo mengambil alih langsung kasus itu. Pilihan hukum yang diambil Prasetyo akhirnya terjawab setelah ia berkirim surat permintaan saran ke Dewan untuk mendeponir kasus Bambang dan Abraham. "Penegakan hukum itu tidak semata-mata untuk hukum, tapi juga untuk keadilan di masyarakat," kata Prasetyo.
Ihwal penolakan Dewan atas rencana deponering kasus Bambang dan Abraham, Prasetyo tidak mau ambil pusing. "Itu kan hak prerogatif saya. Biarkan saja kalau mereka menolaknya," ujar mantan politikus Partai NasDem ini.
Pilihan penghentian penanganan perkara melalui mekanisme seperti ini pernah diambil pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono untuk menutup perkara dua pemimpin KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Ketika itu keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang. Kasus ini bermula dari penyadapan telepon seluler milik Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji terkait dengan penanganan kasus penggelapan dana Bank Century. Kendati DPR menolak, kasus Bibit-Chandra tetap dideponir.
Abraham Samad enggan berkomentar soal rencana Jaksa Agung menghentikan penanganan kasusnya. "Kurang elok kalau saya berkomentar," katanya. Anggota Tim Advokasi Anti-Kriminalisasi KPK, Muji Kartika Rahayu, menilai sejak awal kasus-kasus yang menjerat dua kliennya itu diada-adakan. "Tujuannya memang supaya mereka berhenti dari pimpinan KPK," ujarnya. Setelah jadi tersangka, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dinonaktifkan oleh Presiden Jokowi sebagai pemimpin komisi antikorupsi.
Kepala Polri Badrodin Haiti menyerahkan sepenuhnya nasib kasus Bambang dan Abraham ke kejaksaan. "Silakan kejaksaan yang punya kewenangan," katanya.
Anton Aprianto, Muhamad Rizki, Istman Musaharun, Dewi Suci, Egi Adyatama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo