Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERGESA-GESANYA rencana pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memantik kecurigaan Benny Kabur Harman. Kamis pagi pekan lalu, politikus Partai Demokrat itu telah menerima undangan rapat paripurna yang sedianya akan dilakukan pukul dua siang. Agenda rapat adalah mengesahkan revisi Undang-Undang KPK menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.
Kecurigaan Benny mencuat karena rapat pengganti Badan Musyawarah justru belum digelar ketika undangan disebar. Padahal, kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR itu, penentuan jadwal sidang paripurna semestinya diputuskan Badan Musyawarah lebih dulu. "Ini tergesa-gesa. Ada apa?" ujar Benny, Kamis pekan lalu. Kesangsian serupa terlontar dari politikus Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas. "Kenapa harus terburu-buru?" ucap Ketua Badan Legislasi DPR ini. Rapat memutuskan pengesahan dilakukan pada Kamis pekan ini.
Pembahasan revisi Undang-Undang KPK memang supercepat. Sejak dibahas pada 1 Februari lalu, rapat harmonisasi draf revisi intensif digelar oleh Badan Legislasi. Rapat pleno pada Rabu pekan lalu, misalnya, menyepakati perubahan aturan terkait dengan struktur dan kewenangan komisi antikorupsi yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, itu. Usul yang dimotori Ichsan Soelistio dan Risa Mariska dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan disepakati semua fraksi kecuali Gerindra. Misalnya kehadiran Dewan Pengawas, perubahan kewenangan penyadapan, penyidik independen, dan surat perintah penghentian penyidikan.
Pemangkasan kewenangan KPK merupakan gerilya partai banteng sejak Juni 2015. Mulanya rencana revisi diajukan pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, yang juga kader PDI Perjuangan. Yasonna mengusulkan draf revisi setelah membuang Rancangan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Rencana ini kemudian menjadi bagian Program Legislasi Nasional Prioritas 2015 sebagai usul pemerintah.
Sejak wacana ini mengemuka, kata seorang politikus, partai pendukung pemerintah membentuk tim kecil guna mengkaji perubahan sejumlah aturan komisi antirasuah. Anggota tim ini antara lain bekas Sekretaris Jenderal Partai NasDem Patrice Rio Capella; politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Helmy Faishal Zaini; politikus PDI Perjuangan, Herman Hery; dan politikus Partai Persatuan Pembangunan, Syaifullah Tamliha. Belakangan, Syaifullah digantikan Arsul Sani, koleganya yang duduk di Komisi Hukum DPR.
Belum sempat berdiskusi, tim ini bubar sebelum sempat bekerja. Sejumlah anggotanya dibelit kesibukan dan persoalan. Helmy Faishal, misalnya, ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Adapun Rio Capella dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara suap korupsi bantuan sosial Provinsi Sumatera Utara. Syaifullah Tamliha mengakui pernah ditawari untuk ikut tim ini. "Saya menolak karena tak mengerti urusan hukum," ujarnya.
Arsul Sani menepis adanya perintah resmi partai untuk membahas perubahan Undang-Undang KPK. Namun dia mengakui kerap berbincang intensif dengan koleganya dari sesama partai pendukung pemerintah. Menurut Arsul, diskusi ini dimotori Ichsan Soelistio. Anggota tim kecil ini adalah politikus Partai Hanura, Dossy Iskandar, dan politikus Partai NasDem, Taufiqulhadi. Dossy Iskandar mengakui pernah ada perbincangan soal revisi. Ichsan enggan disebut motor penggalangan dukungan. "Itu sudah berlalu. Kami berfokus ke depan saja," kata Ichsan.
Wacana revisi sempat mengalami tarik-menarik antara DPR dan pemerintah. Apalagi ketika Partai Golkar mengusulkan RUU Pengampunan Pajak. Lobi di antara kedua lembaga membuahkan kesepakatan baru. Pemerintah mengambil alih RUU Pengampunan Pajak. Sebaliknya, revisi Undang-Undang KPK diambil alih sejumlah fraksi pendukung pemerintah ditambah Fraksi Golkar. Saat diambil alih DPR, jumlah pengusul revisi Undang-Undang KPK mencapai 45 orang.
Anggota Badan Legislasi, Misbakhun, mengatakan Golkar dan PDI Perjuangan berbagi peran. Fraksi partai beringin bertugas menyusun naskah akademik dan draf RUU Pengampunan Pajak. Sedangkan partai banteng menyiapkan draf dan naskah akademik revisi Undang-Undang KPK. Barter ini diikuti dengan syarat: kedua undang-undang itu mesti dibahas bersamaan. Jika salah satu tak dibahas, yang lain pun tak bisa dibicarakan. "Kesepakatan politiknya memang seperti itu," ucap Misbakhun.
Seorang anggota Badan Legislasi menuturkan, proses barter ini meninggalkan bolong karena dilakukan terburu-buru. Contohnya, ketika sudah diambil alih DPR, draf revisi Undang-Undang KPK justru masih menggunakan logo Presiden Republik Indonesia. "Ini menunjukkan draf sebenarnya tetap berasal dari pemerintah," kata politikus ini.
Keganjilan lain, menurut politikus ini, draf rancangan diajukan tanpa ada naskah akademik. Arsul Sani membenarkan hal ini. "Baru saya terima dua hari sebelum dibacakan pengusul," ujar Arsul. Pembacaan perubahan di Badan Legislasi dilakukan pada Senin dua pekan lalu. Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menampik soal ini. Menurut dia, semuanya didiskusikan sejak awal antarfraksi.
Laju revisi sempat tersendat setelah rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR pada 13 Oktober 2015. Pertemuan ini menyepakati pembahasan Undang-Undang KPK ditunda hingga masa sidang 2016. Keputusan tak menyurutkan lobi pemerintah dan DPR. Pada akhir Oktober tahun lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, menggelar rapat dengan pimpinan fraksi di Hotel JS Luwansa, Jakarta. Undangan rapat ini disampaikan melalui telepon seluler Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto. Saat dimintai konfirmasi, Utut enggan menceritakan undangan pertemuan ini.
Menjelang Desember 2015, lobi makin gencar dilakukan karena revisi ini mesti masuk ke Program Legislasi Nasional 2015. Jangkar lobi ini adalah sejumlah politikus PDI Perjuangan di Komisi Hukum bersama politikus Golkar. Ketua Fraksi Golkar kala itu, Ade Komarudin, kerap menjadi tuan rumah setiap pertemuan. Pada 10 Desember, misalnya, Menteri Hukum Yasonna Laoly ikut langsung melobi pimpinan fraksi. Pertemuan digelar sesaat sebelum rapat Badan Legislasi pengesahan Program Legislasi Nasional 2015.
Sekretaris Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan komunikasi menyamakan persepsi merupakan hal lumrah. Sekretaris Fraksi Golkar ketika itu, Bambang Soesatyo, membenarkan adanya pertemuan dengan Yasonna. Namun dia membantah jika isinya disebut soal legislasi. Saat itu Bambang mendengar Yasonna bertandang ke ruang Fraksi PDIP Perjuangan. Dia lalu mengontak Yasonna mampir ke ruangan Ade Komarudin. "Kami bertanya mengenai sengketa kepengurusan Golkar," ucap Bambang. Saat dimintai konfirmasi, Yasonna mengatakan dia datang mewakili pemerintah untuk membicarakan Prolegnas 2015.
Sejumlah politikus Senayan menuturkan, kesepakatan barter RUU Pengampunan Pajak justru berpotensi mengganjal revisi Undang-Undang KPK. PDI Perjuangan risau terhadap sikap pemerintah yang tak kunjung mengirim draf usulnya. Dalam sejumlah rapat konsultasi fraksi, kata politikus pendukung pemerintah, Utut Adianto kerap meminta Ade Komarudin berbicara kepada Presiden agar segera mengirimkan draf RUU Pengampunan Pajak. Desakan ini menjadi kesepakatan PDI Perjuangan dengan Golkar atas mulusnya pelantikan Ade sebagai Ketua DPR.
Utut Adianto lagi-lagi tak bersedia berkomentar tentang adanya permintaan kepada Ade Komarudin. Sebaliknya, Ade Komarudin justru mempertanyakan kemunculan isu ini. Menurut dia, permintaan kepada Presiden tak perlu dilakukan lewat dirinya. "Teman-teman PDI Perjuangan lebih memiliki kemampuan ketimbang aku," ujar Ade. Menteri Luhut menegaskan komitmen revisi jalan terus. Menurut dia, Presiden Joko Widodo setuju revisi jika hanya tetap pada empat poin kesepakatan. "Saya tak mau aneh-aneh," kata Luhut menirukan ucapan Presiden.
Wayan Agus Purnomo, Hussein Abri Yusuf, Ananda Teresia
Revisi Dulu Amputasi Kemudian
Upaya melucuti sejumlah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan sejak dulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2015
16 Juni
Revisi Undang-Undang KPK masuk ke Program Legislasi Nasional 2015 menggantikan RUU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
25 Juni
Rapat paripurna DPR menyepakati revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015 sebagai usulan pemerintah.
6 Oktober
Pemerintah menarik usulan revisi UU KPK. Sebaliknya, enam fraksi, yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura, menyerahkan draf revisi.
RUU Pengampunan Pajak muncul dalam rapat ini sebagai usul DPR. RUU ini tidak ada dalam Prolegnas 2015-2019.
23 November
Rapat Badan Legislasi memutuskan RUU Pengampunan Pajak menjadi usulan pemerintah.
27 November
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly meminta Revisi UU KPK menjadi usulan inisiatif DPR.
8 Desember
Rapat paripurna DPR untuk mengesahkan Prolegnas 2015 gagal kuorum.
15 Desember
Rapat paripurna DPR memasukkan revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas 2015.
2016
26 Januari
DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak masuk Prolegnas 2016.
10 Februari
Sejumlah poin revisi UU KPK disepakati dalam rapat pleno Badan Legislasi.
11 Februari
Sidang paripurna pengesahan revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR ditunda atas permintaan sejumlah fraksi.
Pasal-pasal Krusial
Pimpinan KPK
Pasal 32: pimpinan KPK yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik.
Pasal 32 ayat (1) huruf c: pemberhentian tetap pimpinan KPK yang dijatuhi pidana dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kewenangan Dewan Pengawas dan Penyadapan
Pasal 37D: Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan, penyitaan, serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK.
Pasal 47A: penyitaan dapat dilakukan tanpa izin Dewan Pengawas dalam keadaan mendesak.
Pasal 37E: Anggota Dewan Pengawas yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik. Untuk memilih Dewan Pengawas, presiden membentuk panitia seleksi.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan
Pasal 40: surat perintah penghentian penyidikan harus disertai alasan dan bukti yang cukup dan dilaporkan ke Dewan Pengawas.
Surat perintah penghentian penyidikan bisa dicabut jika ditemukan hal baru yang dapat membatalkan penghentian perkara.
Penyidik KPK
Pasal 43: KPK dapat mengangkat penyelidik sendiri sesuai dengan persyaratan undang-undang.
Pasal 45: KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai dengan persyaratan undang-undang.
Naskah: I Wayan Agus Purnomo Sumber: PDAT, DPR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo