MURID-MURID SMA Negeri Tanru Tedong, Sidrap, Sulawesi Selatan, bingung. Hari Kamis dua pekan lalu, 23 orang guru mereka tak nampak. Sebagai gantinya, ada sebuah pamflet di atas kertas HVS menempel di kaca: "Buat anak-anakku, kami pergi bukan berarti membencimu, tapi mencari jalan agar sekolah kita lebih baik. Siswa harap tetap tenang dan jangan merusak. Gurumu." Semua bingung. Khususnya siswa kelas tiga. Maklum, pekan-pekan ini mereka sedang menyiapkan pelajaran untuk menghadapi ujian tengah semester. Lalu, tanpa dikomando, Isna Rahman, siswa kelas tiga, bersama puluhan kawannya berembuk. Mereka sepakat atas nama Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK), meluncur ke kantor Camat Dua Pitue. Sebanyak 90 siswa -- dari 300 siswa -- berbondong-bondong menuju ke kantor Camat. Memakai seragam sekolah dengan tertib, mereka menempuh jarak dua kilometer, sambil mengacungkan karton bertuliskan: "Oh, guruku, di mana kau....?" Tiba di kantor Camat, mereka langsung ditertibkan. Tapi para siswa itu memang tertib, sesuai dengan imbauan gurunya. Hanya saja, lewat 30 menit, Pak Camat tak kunjung muncul. "Tujuan kami ke sini supaya Pemerintah turun tangan. Kalau tak cepat diselesaikan, kami yang jadi korban," kata Suwardi, salah seorang pelajar. Akhirnya, setelah dibujuk, siswa-siswa tersebut mau dinaikkan ke truk untuk diantar kembali ke sekolah. Selama tak ada guru, umumnya mereka belajar sendiri dan olahraga. Tiga hari kemudian, Senin pekan lalu guru-guru yang hilang itu kembali. Tapi, menurut beberapa siswa, suasana di sekolah masih terasa tegang. Ke mana saja ke-23 pamong itu selama tiga hari? Rupanya, dengan menyewa sebuah mobil, mereka berangkat ke Ujungpandang, ke Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen P dan K Sulawesi Selatan. Niat mereka menjumpai Kepala Kanwil, tapi yang dicari tak ada di kantor. Lalu mereka serahkan sebuah surat pada petugas Kanwil, berisi keberatan mereka pada kepemimpinan Andi Thamrin, yang sudah lima tahun menjadi kepala sekolah. Mereka menuntut agar Thamrin diganti. Dosa-dosa Thamrin dalam catatan mereka antara lain: pemarah, diktator, dan suka memarahi guru di muka umum. Tembusan surat dilayangkan ke PGRI dan Kantor Departemen P dan K Sidrap. Menurut Idrus, salah seorang guru yang memprotes, peristiwa itu bagaikan bisul yang menunggu pecah. Mereka sudah tak tahan lagi. "Makanya, kami pergi melapor ke Kanwil, bukan mogok," katanya. Petugas di Kanwil konon menyalahkan kunjungan guru ke Ujungpandang hingga siswa telantar. Katanya, cukup satu atau dua orang sebagai wakil. "Tapi yang jelas kami melakukan bersama-sama ini karena merasa senasib, dan perlu datang langsung ke Kanwil," jawab Idrus tegas. Andi Thamrin menganggap peristiwa itu mengandung latar belakang politik. "Saya melihat kejadian ini merupakan upaya mengacaukan pendidikan di Tanru Tedong, supaya saya jatuh," katanya berapi-api. Upaya itu, katanya, bukan untuk pertama kali. Pada 1986, guru-guru membuat tuntutan serupa, tapi selalu gagal. Tentang tudingan suka marah, menurut Thamrin, itu masih dalam kewajaran. "Saya ini kan pimpinan dan manusia biasa. Jadi, marah itu kan bisa saja terjadi." Menurut Aminuddin Machmud, Kepala Kanwil Departemen P dan K Sul-Sel, para guru itu terlalu emosional. Mereka bisa saja mengajukan protes, tapi mereka tak mengerti, bukan guru yang menentukan duduknya seorang kepala sekolah," katanya. Suasana di SMA Tanru Tedong hingga kini masih hangat. Andi Thamrin diam-diam saja. Kepala Kantor P dan K Sidrap, kabarnya, akan meninjau penempatan kepala sekolah itu. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini