DENGAN cepat dan tepat, Queen menebak setiap gambar pahlawan nasional dan menteri yang muncul sekilas di layar monitor TV. Sekitar 500 pengunjung pun makin berdecak kagum ketika anak berusia tiga tahun itu dengan jitu menebak wajah para tokoh yang dimunculkan sekilas dalam posisi miring, terbalik, mulut tertutup, mata ditutup, dan bahkan ada yang cuma dipertontonkan kopiahnya. Anak "ajaib" kelahiran Pekalongan, 23 Juni 1987, itu juga memperlihatkan kehebatannya menebak bendera dan ibu kota negara-negara di dunia. Anak tunggal kernet angkutan di Pekalongan ini memang punya memori yang luar biasa, dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Dalam usianya sangat muda yang masih suka digendong, Queen Mona Agusta mampu menghafal 50 buah nama dan warna bendera negara-negara di dunia, mengenal wajah 81 tokoh, nama-nama kepala negara, nomor mobil di Indonesia, dan beberapa keistimewaan lainnya. Queen mendemonstrasikan daya ingatnya yang luar biasa itu ternyata tak sendirian. Ada tujuh anak lainnya, yang berusia dua sampai tiga tahun ikut meramaikan Festival Anak Luar Biasa (FALB) di Auditorium Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, Ahad 21 Oktober lalu. Maklum, namanya anak. Ketika tampil di atas panggung, mereka tetap lengket kepada orangtuanya. Ada pula yang rewel dan demam panggung melihat pengunjung. Misalnya, Tahta Sendha Juang, peserta dari Tanjungkarang, Bandarlampung. Bocah berusia dua tahun itu begitu naik panggung langsung minta pipis. Ada pula yang kelewat berani, main-main dan sibuk mencoba mencopot penutup mikrofon. Tapi ada peserta yang melongo melihat kilatan lampu kamera wartawan. Penyelenggaraan festival anak cerdas ini bermula dari kekaguman masyarakat atas kehebatan Queen yang diberitakan beberapa waktu lalu. Bahkan, awal September lalu, Jaya Suprana mencalonkan Queen sebagai pemegang rekor anak paling cerdas di Indonesia, untuk golongan usia tiga tahun. Nah, melihat kemampuan Queen yang menguasai 500 data pengetahuan umum, para orangtua pun tergugah. Akibatnya, Museum Rekor Indonesia (MURI), milik Jaya Suprana, kebanjiran surat. Banyak orangtua mengaku anaknya punya kemampuan lebih hebat dari Queen yang mereka saksikan di televisi atau baca di koran. Jaya pun lantas menjawabnya dengan menyelenggarakan festival anak cerdas itu. "Inilah salah satu cara kampanye sadar mendidik anak sedini mungkin," ujar Jaya Suprana. Biarpun namanya festival -- diseleng-garakan MURI dan Rumah Sakit Telogorejo -- menurut Jaya, itu bukan sebuah kompetisi. Anak-anak itu diminta menampilkan kebolehannya di depan tim juri. Tak ada pertanyaan standar karena kemampuan hafalan setiap anak berbeda. "Kalau anaknya emoh, ya sudah. Tapi saya sudah menyaksikan sendiri kemampuan mereka ketika melakukan uji kemampuan di rumah masing-masing," kata Jaya Suprana meyakinkan para undangan. Semula ada 20 anak yang mendaftarkan. Setelah tim juri datang ke rumah-rumah calon peserta, akhirnya yang layak tampil delapan anak. Mereka yang gugur dalam seleksi awal itu, menurut Jaya Suprana, umumnya karena usia sudah melebihi empat tahun. Syofiansyah, misalnya, boleh digolongkan sebagai "anak ajaib". Namun ia tak bisa berlaga di depan pemilik "Jamu Jago", Jaya Suprana, karena usianya sudah empat setengah tahun. Padahal, anak dari Palembang itu mampu berkhotbah di mimbar seperti layaknya orang dewasa. Di samping pernah 11 kali tampil memberikan ceramah keagamaan, dia juga mampu menguasai bahasa Inggris. "Sayang, anak saya tak bisa tampil," kata Mustofa, ayah anak cerdas itu, kecewa. Memang. Maksud festival itu agar orangtua terdorong memantau kemampuan anaknya sejak dini. "Karena pertumbuhan otak secara lengkap dan sempurna terjadi saat anak berusia dua sampai tiga tahun," kata Prof. Haryono Suyitno, Ketua Tim Perangkum Hasil Festival yang juga guru besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Dari delapan anak yang diuji memang masing-masing punya keistimewaan berbeda. Menurut hasil tes psikologi sehari sebelum festival, delapan anak ini digolong kan yang termasuk cerdas. Tingkat kecerdasannya digolongkan menjadi tiga yakni tiga anak cerdas (IQ 110-119), seorang superior (IQ 120-139), dan empat anak very superior (IQ 140-169). Secara umum kemampuan daya ingatnya menonjol. Tidak semua sekadar menghafal. Seperti Christian Soetantyo, dalam usia tiga tahun kurang dua bulan, mampu menyebut abjad A sampai Z, menyusun huruf menjadi kata-kata, dan merangkai kata menjadi kalimat. Anak yang lahir di Surabaya, dari pasangan Hanny Soetantyo dan Elisiana Satriobudi, itu juga dapat mengerjakan hitungan berupa penjumlahan di bawah 10 dan pengurangan di bawah 5. Juga Enrico Utomo. Ia mempertontonkan keunggulannya dengan menebak judul lagu dan penyanyinya setelah mendengarkan beberapa baris syair lagu Barat yang diputar. Bocah yang lahir di Sydney, 28 Mei 1987, ini juga sudah mampu membaca buku cerita bahasa Inggris, berhitung 1 sampai 30 juga dalam bahasa Inggris, dan membaca nama kota besar dan letaknya dalam peta. Peserta yang paling bandel ini juga memperagakan kemampuan membaca merek dagang (logo), baik Indonesia maupun asing, dengan lafal yang pas. Menurut Prof. Utami Munandar, salah seorang tim juri, mereka termasuk anak-anak cerdas di Indonesia, yang selama ini belum mendapat perhatian dalam sistem pendidikan. Misalnya, dengan mendirikan sekolah khusus bagi anak cerdas itu. Di Indonesia, katanya, dua dari seratus anak tergolong cerdas. "Angka dua persen ini cukup besar dibandingkan 50 juta anak Indonesia," ujar Prof. Utami, dosen Fakultas Psikologi UI. Mereka perlu mendapat perlakuan istimewa pula karena, kata Utami, kalau salah didik, justru bisa merepotkan orangtuanya dan masyarakat. Syahril Chili dan Heddy Lugito (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini