PEMBICARAAN tentang bulan Ramadhan akhir-akhir ini ramai. Bukan
tentang hadiah lebaran, tetapi menyangkut masalah libur atau
tidaknya sekolah. Seperti telah diketahui, lewat SK 0211/U/1978,
Menteri P & K antara lain memutuskan "Pada dasarnya bulan Puasa
adalah waktu belajar" (Pasal 6, ayat 1). Dan Sabtu akhir April
lalu, Menteri kembali menegaskan bagi sekolah-sekolah pemerintah
pada bulan tersebut tetap dibuka.
Penegasan kembali itu memang untuk menjawab Majelis Ulama
Indonesia yang minta kepada Menteri untuk meninjau kembali
keputusan tersebut. Toh, meskipun kepada wartawan Menteri
mengatakan "Tampaknya Majelis Ulama bisa mengerti," apa yang
berlangsung dalam pertemuan dengan MUI cukup seru. Kata Buya
Hamka kepada TEMPO "Menteri sangat keras sekali dengan
pendapatnya."
Menurut Hamka bulan Puasa adalah waktu bagi orangtua bisa
mendidik anaknya lebih efektif daripada hari-hari biasa.
Mendidik beribadah, mendidik berdisiplin: puasa, sembahyang
tarawih dan bangun malam makan sahur. "Bahkan di bulan Puasa,
sembahyang Subuh tak kalah ramainya dengan sembahyang Jum'at di
Mesjid," kata Hamka. Nah, kalau anak-anak tetap diwajibkan
sekolah, "bagaimana bisa tarawih dan ikut sembahyang Subuh kalau
sudah capek sekolah," sambungnya. Hamka juga menunjuk adanya
undang-undang yang mengatur libur sekolah. "Dalam undang-undang
itu ditentukan keputusan libur sekolah diambil dengan
mempertimbangkan musim, hari-hari nasional dan agama yang dianut
masyarakat."
Lalu, apakah SK 0211 bertentangan dengan undang-undang yang ada?
Undang-undang No. 12 tahun 1954, Bab XV, Pasal 26, Ayat 1
menyebutkan libur sekolah bagi sekolah-sekolah negeri ditetapkan
dengan "mengingat kepentingan pendidikan, faktor musim,
kepentingan agama dan hari-hari raya kebangsaan." Memang diakui
oleh Daoed Joesoef bahwa tidak diliburkannya sekolah pada bulan
Puasa ada hubungannya dengan tahun ajaran yang diperbaharui. Dan
itu semua -- tahun ajaran dan penentuan hari libur sistem lama
-- "dirasakan sebagai kurang menunjang efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan sistem pendidikan." Misalnya liburan panjang bulan
Puasa "akan cukup mengganggu kalender pendidikan, sebab bulan
Puasa selalu maju 10 hari setiap tahunnya."
Ada satu hal yang memang tak disebut-sebut MUI, sehingga
mengesankan pada bulan suci itu sama sekali tak ada hari libur.
"Pemerintah tetap menghormati tradisi yang sudah lama berlaku
dalam masyarakat," kata Daoed. Di ruang tunggu Lapangan Udara
Adisutjipto Kamis awal Mei ini katanya kepada TEMPO: "Awal bulan
Ramadhan ada libur 3 hari untuk memberi kesempatan mereka yang
hendak mengunjungi makam. Lalu sekitar Hari Raya Idulfitri ada
libur 7 hari. Itu sudah lebih banyak daripada sekolah-sekolah
agama lain, misalnya Katolik yang hanya libur dua hari."
Tapi ada juga keterangan Daoed yang mengejutkan pihak MUI. "Ini
bukan masalah agama tapi masalah politik. Yang saya sayangkan
agama dipakai sebagai alasan untuk masalah dl bidang politik,"
katanya.
Menteri Agama Alamsyah sendiri agaknya setuju kalau sekolah
tetap masuk pada bulan Puasa. Katanya kepada TEMPO "Kita tidak
usah prinsip-prinsipan, tidak usah dipolitisir." Dan lanjutnya:
"Kepentingan pendidikan ternyata menghendaki sekolah tidak
diliburkan pada bulan Ramadhan, untuk mengejar
ketinggalan-ketinggalan kita selama ini." Untuk sekolah-sekolah
di bawah Dep. Agama, "kalau memang jadwal telah berakhir
menjelang Ramadhan, buat apa dipaksakan sekolah," tambahnya.
Belajar Keras, Bekerja Keras
Kasman Singodimedjo, dari MUI, yang juga ikut menemui Menteri P
& K, mengatakan akan tetap meliburkan sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- Majlis Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan lewat surat edaran bertanggal 7 Maret
1979 malahan telah memutuskan "kegiatan mengajar di seluruh
Perguruan/Perguruan Tinggi Muhammadiyah diliburkan." Tanggapan
Daoed Joesoef memang agak keras: "Silakan, tapi saya akan
meninjau kembali subsidi untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah,"
begitu tutur Hamka.
Ada yang mengatakan libur Puasa mendidik anak-anak belajar
menjalankan ibadah puasa. Sebab, suasana masyarakat kita tidak
membantu anak-anak yang sedang belajar berpuasa. Jaab Daoed:
"Maka dari itu kepada anak-anak didik kita, harus kita tanamkan
tidak hanya bekerja keras tapi juga helajar keras. Sebab
nantinya sebagai orang dewasa mereka harus tetap bekerja keras
dalam bulan Ramadhan dan mulai sekarang harus belajar keras di
samping beribadah puasa."
Bagaimana sikap MUI kini? Menurut Buya Hamka, MUI kini tinggal
menunggu harapan kebijaksanaan Presiden saja. Dia tetap yakin
bahwa "dalam negara demokrasi ini pemerintah tidak akan berkeras
melaksanakan kehendaknya sendiri. Tapi tetap memperhatikan
suara-suara masyarakat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini