Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berpacu ke Pucuk Tanah Rencong

Delapan pasangan bertarung dalam pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan Aceh Merdeka pecah. Inilah peta kekuatan para kandidat.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima ribu orang tumpah di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Menumpang bus, mobil, sepeda motor, dan becak bermesin, mereka datang dari berbagai pelosok ke Ibu Negeri Rencong. Hari itu, Kamis pekan lalu, delapan pasang calon gubernur mendeklarasikan kampanye damai.

Semua calon berdiri di panggung. Ada yang memakai jas lengkap dengan dasi. Ada yang membalut tubuh dengan busana adat ala raja-raja Aceh, lengkap dengan kopiah meukutop serta rencong terselip di pinggang.

Sesudah perang berpuluh tahun—dan berakhir dengan damai di Helsinki 15 pada Agustus 2005—bumi Aceh memasuki babak baru: melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pada 11 Desember nanti.

Diperkirakan, 2,6 juta pemilih akan bergerak ke bilik-bilik suara di seantero provinsi untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Seribu pengamat, termasuk dari luar negeri, bersiaga di sana sejak tiga pekan lalu. Simaklah sosok-sosok di bawah ini serta partai yang mendukungnya. Mereka telah bersiap merebut posisi terpucuk di provinsi paling barat Indonesia:

  • Malik Raden dan Sayed Fuad Zakaria (Golkar)
  • Humam Hamid dan Hasbi Abdullah (PPP)
  • Azwar Abubakar dan M. Nasir Djamil (PAN dan Partai Keadilan Sejahtera)
  • Iskandar Hoesin dan Saleh Manaf (Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, PNI Marhaen dan Partai Persatuan Daerah)
  • Tamlicha Ali dan Harmen Nuriqmar (Partai Bintang Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia)
  • Djali Yusuf dan Syaukas Rahmatillah (calon independen)
  • Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (calon independen)
  • Ghazali Abbas dan Salahauddin Al Fata (calon independen).

Pemilu ini akan berkiblat ke Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Calon independen silakan bertarung asal didukung oleh 120.931 pemilih. Jumlah itu setara dengan tiga persen dari 4 juta lebih penduduk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Total calon ada delapan pasang. Ini jumlah tertinggi dalam sejarah pemilihan gubernur di Indonesia.

Sulit memastikan siapa bakal menjadi juara, walau di atas kertas ada tiga pasangan kuat. Dengan catatan, mesin partai yang menopang mereka mampu bekerja efektif. Mereka adalah Malik Raden dan Sayed Fuad Zakaria, Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, serta Azwar Abubakar dan Nasir Djamil.

Malik Raden dan Sayed berpeluang menang karena disokong penuh oleh Partai Golkar. Dalam pemilihan umum legislatif pada April 2004, Partai Beringin ini bertakhta di peringkat pertama. Sekitar 15,59 persen pemilih Aceh menusuk Beringin dan membikin Golkar berjaya di 10 dari 21 kabupaten yang ada.

Satu kantong massa tersubur Golkar adalah Kabupaten Aceh Tenggara. Maka Malik dan Sayed bertekad merebut dua pertiga dari 114.880 pemilih di kabupaten itu. Selain bernaung di bawah Beringin, pasangan ini juga didukung penuh Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Soal uang tak jadi masalah. Sejumlah pengusaha kader Golkar siap menyawer. Golkar pusat pun turut menyumbang.

Sayed menuturkan, Golkar pusat mengirim dana stimulus Rp 50 juta kepada setiap kabupaten dan Rp 200 juta ke para pengurus provinsi. Walau tidak berani menyebut persentase, Sayed memastikan, ”Kami akan mendulang suara terbanyak dalam pemilihan gubernur.”

Calon lain yang diperkirakan mampu bertahan hingga ke pucuk adalah Humam Hamid dan Hasbi Abdullah. Humam punya latar belakang akademis yang lumayan. Dia doktor sosiologi dari Kansas State University, Amerika Serikat. Kini dia mengajar di Universitas Syiah Kuala. Nah, Hasbi Abdullah adalah tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus adik kandung Zaini Abdullah, yang kini bermukim di Swedia.

Mereka disokong penuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan para tetua GAM. Partai berlambang Ka’bah terbilang kuat di Aceh. Dia berada di posisi kedua dalam pemilu legislatif pada 2004.

Humam menghitung, sokongan suara mereka bakal mengalir dari basis tradisional PPP. Salah satunya Kabupaten Pidie. Warga kabupaten ini menempatkan Partai Ka’bah di posisi pertama—dengan 20,58 persen suara—dalam pemilu dua tahun lalu. Posisi kedua ditempati Partai Amanat Nasional.

Pidie mencatatkan 314.796 pemilih yang bakal meramaikan bilik suara pada 11 Desember nanti. Kabupaten ini memang menyimpan jumlah pemilih terbesar dibanding semua kabupaten lain di Provinsi NAD. ”Kami bisa menang besar di Pidie,” kata Humam kepada Tempo.

Tapi soal bisa menjadi lain bila kesetiaan terhadap partai rontok gara-gara pemilih Pidie lebih suka menyokong putra asli daerah itu untuk kursi gubernur. Oh ya, Humam memang bukan anak Pidie. Dia berasal dari Samalangga, Kabupaten Bireuen. Alhasil, banyak yang meramal Pidie bakal menjadi wilayah pertarungan paling panas.

Lima putra daerah Pidie maju ke gelanggang pemilihan. Ada Sayed Fuad Zakaria, Muhammad Nazar, Djali Yusuf, Hasbi Abdullah, Ghazali Abbas. Humam tidak habis akal. Dia memilih Hasbi Abdullah, berdarah asli Pidie, sebagai wakilnya.

Hasbi juga tokoh yang disegani di kalangan GAM serta disokong penuh para petinggi Gerakan Aceh Merdeka di Swedia. Dengan menggandeng Hasbi, Humam yakin mampu meraih dua pertiga dari jumlah suara dari kabupaten yang kaya pemilih itu.

Humam-Hasbi juga diperkirakan mampu menyedot suara dari Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini dijuluki pula basis tradisional PPP. Setidaknya, itu yang terpancar dari hasil pemilu 2004. Partai Ka’bah mencatat posisi teratas, disusul Golkar. Kurang lebih ada 305.652 warga Aceh Utara yang akan mencoblos pada 11 Desember nanti. Humam yakin, pasangannya bakal meraih suara terbanyak. Ancaman buat mereka di daerah ini adalah pasangan dari Golkar.

Toh, masih ada lumbung suara lain bagi duo Humam-Hasbi, yakni Kabupaten Bireuen, tanah kelahirannya. Pada 2004, PPP memang cuma duduk di posisi kedua di bawah Partai Amanat Nasional. Tapi Humam punya kelebihan lain. Dia putra asli Bireuen, anak Syekh Abdul Hamid, kawan karib Abu Daud Bereueh yang begitu terpandang dalam sejarah Aceh. Kakak kandung Humam, Farhan Hamid—kini anggota legislatif pusat—adalah tokoh pendiri PAN.

Itu sebabnya Humam yakin betul, mayoritas dari 239.241 pemilih di Bireuen bakal mencoblos mereka. Apalagi ada topangan kuat dari petinggi GAM. Walau tentunya harus berbagi dengan pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (lihat Tinju dan Pelukan dalam Sehari).

Calon lain yang berpeluang merebut kursi gubernur adalah pasangan Azwar Abubakar dan Nasir Djamil. Keduanya diusung oleh Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Prestasi PAN dalam pemilu 2004 di Aceh memang hanya di posisi ketiga. Tapi sokongan PKS membuat duet Azwar-Nasir tak bisa diremehkan.

Nasir menuturkan, pemilih terbanyak mereka ada di wilayah perkotaan di Banda Aceh, Lhok Seumawe, Aceh Barat, Bireuen, serta sejumlah daerah lain. ”Kami menghitung bisa mendapatkan 29-30 persen suara,” kata Nasir.

Ada sejumlah kalangan menilai pemilih Aceh kini tengah merindukan calon independen di kursi gubernur. Tapi, karena calon independen dalam pemilihan kali ini ada tiga pasang, suara pemilih sudah pasti terbelah. ”Kalau hanya satu pasang, mereka pasti menang,” kata Thamren Ananda, Ketua Komite Persiapan Partai Rakyat Aceh. Ini sebuah partai lokal di Aceh yang mengaku netral dari semua kandidat. Dalam perhitungan Thamren, ”Pasangan Irwandi-Nazar berpeluang masuk tiga besar.”

Dua pekan menjelang pemilihan, Aceh kian riuh oleh kehadiran tamu dari jauh. Mereka adalah pengamat lokal serta asing ataupun yang sekadar berkunjung untuk menyaksikan pilkada perdana di provinsi itu dari dekat. Komite Independen Pemilu Aceh telah merancang pemungutan suara dalam dua tahap.

Pada tahap pertama harus ada calon yang mampu menyedot 25 persen plus satu suara. Atau setara dengan 659 ribu suara. Jika tidak, Komite akan berpaling kepada Undang-Undang Nomor 11. Di situ diatur bahwa pemilu tahap kedua harus digelar jika jumlah suara minimum tak dapat diraih dalam pemilu pertama. Di tahap kedua hanya ada dua calon yang beradu, yaitu dua pemenang teratas dari pemilu tahap pertama.

Jika itu yang terjadi, peta kekuatan bisa bergeser lagi.

Wenseslaus Manggut, Nurlis Meuko, dan Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus