Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mata Asing di Serambi Mekah

Mereka berharap pesta demokrasi di Aceh menjadi cara berdamai di daerah konflik lainnya di dunia.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah pemilihan kepala daerah yang menarik mata dunia dengan daya seperti magnet. Dalam satu hari, 2,6 juta rakyat memilih secara langsung gubernur dan 19 bupati serta wali kota. Dan itu terjadi di Provinsi Aceh, daerah yang bertahun didera perang, diluluh-lantakkan bencana tsunami pada akhir 2004, dan menutup konflik dengan perjanjian damai Helsinki setahun lalu.

Dengan situasi seperti itu, para pemantau asing pun berebut mencari tiket masuk ke bumi Aceh. Anfrel (Asian Networking for Free Election), lembaga pemantau pemilihan umum yang bermarkas di Thailand, salah satunya. Begitu menariknya Aceh sampai Anfrel membatalkan rencana mengawasi pemilu di Madagaskar. ”Baru sekarang kami memantau pemilihan setingkat provinsi di daerah konflik,” ujar Somsri Ananuntasuk, direktur eksekutifnya.

Somsri punya alasan penting lain mengapa ia perlu ke Aceh: pemilihan ini akan menjadi teladan penyelesaian konflik di Asia. Misalnya, untuk mendamaikan konflik Macan Tamil di Sri Lanka dan konflik di Thailand Selatan—negerinya.

Anfrel kini sudah mengantongi karcis dari Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Izin masuk serupa telah didapat lembaga pemantau Uni Eropa, European Union Election Observation Mission, yang diundang oleh pemerintah Indonesia dan KIP. Lembaga pemantau lain masih antre menunggu akreditasi KIP, seperti dari Republican Institute (Amerika Serikat) dan perwakilan konsulat Amerika.

Berbekal izin itu, menurut data KIP, sekitar 300 personel Uni Eropa dan Anfrel telah berdatangan ke Aceh sejak akhir Oktober lalu. Jumlah mereka masih mungkin bertambah seiring dengan lolosnya lembaga yang diakreditasi KIP. Bahu-membahu mereka akan mengawasi pelaksanaan pemilihan langsung ini bersama pemantau lokal seperti Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat, Forum LSM Aceh, dan Aceh Recovery Program, ”Jumlah total pemantau di Aceh bisa mencapai seribu lebih,” ujar Ketua Kelompok Kerja KIP Aceh, Ichwanussufa.

Seperti Anfrel, bagi tim pemantau Uni Eropa, pesta demokrasi di Aceh amat penting bagi dunia. Glyn Ford, pemimpin tim Uni Eropa, yakin bahwa pemilihan ini bakal menjadi contoh bagi negara lain untuk menyelesaikan konflik dengan damai. ”Terutama dengan adanya calon gubernur independen, yang membuat pemilihan ini unik dan menjadi kunci penting dalam kesuksesan pemilihan,” ujar Ford.

Lembaga pemantau yang pernah memantau pemilihan presiden di Indonesia dua tahun lalu itu kini sudah menjejakkan kaki di bumi Serambi Mekah. Bermarkas di Swiss Belhotel, sebuah hotel bintang empat di Banda Aceh, mereka bekerja sampai Januari tahun depan. Hasil pemantauan akan mereka umumkan tiga hari seusai pencoblosan, walau laporan tertulis baru selesai sebulan kemudian.

Menurut Ford, sejak kampanye dimulai pada akhir pekan lalu, semua anggotanya telah disebarkan ke 19 daerah kabupaten dan kota. Di setiap wilayah mereka menempatkan dua personel, kecuali di Lhok Seumawe dan Aceh Utara yang dirangkap oleh satu orang.

Tugas anggota tim adalah mencatat pelanggaran, pertikaian, ataupun sengketa para calon di wilayah yang diawasinya, untuk dilaporkan ke markas di Swiss Belhotel, panitia pengawas, dan KIP. ”Mereka mata-mata kami di daerah,” kata anggota Komite Kebijakan Luar Negeri, Hak Asasi Manusia, serta Pertahanan dan Keamanan Parlemen Eropa ini.

Para pemantau asing dan lokal ini bakal memelototi 12 ribu tempat pencoblosan di seluruh Aceh yang luasnya lebih dari 57 ribu kilometer persegi. Ini membuat Ichwanussufa deg-degan. Kejadian buruk sudah meletup pekan lalu. Seorang anggota KIP dipukul salah satu kandidat ketika digelar debat calon gubernur di Media Center Banda Aceh. Lalu di Kota Bireun, bus berpenumpang rombongan salah seorang kandidat dihajar massa.

Karena itu, Ichwanussufa mewanti-wanti agar para pemantau asing secara teratur berkonsultasi dengan kepolisian dan pemantau perdamaian Aceh (Aceh Monitoring Mission). Ia juga berharap masyarakat turut mengamankan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung yang pertama di Aceh dan terbesar di Indonesia ini.

Pemilihan kepala daerah ini, ucapnya, adalah sejarah penting— tidak hanya untuk Indonesia. Baru setahun perdamaian di Aceh, namun telah menuai demokrasi. Ini dapat menjadi proyek percontohan penyelesaian damai untuk daerah konflik di berbagai penjuru bumi. ”Kalau di Aceh konflik bisa selesai melalui pemilihan kepala daerah, wilayah konflik lain juga punya peluang,” katanya. Alhasil, dunia bisa belajar dari Aceh.

Eduardus Karel Dewanto, Maimun Saleh, dan Adi Warsidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus