Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melaju dari arah Medan, bus yang ditumpangi Humam Hamid, singgah di warung Siang Malam, Matang Geulumpang Dua, ibu kota Kecamatan Peusangan. Sekelompok orang datang menghadang begitu Humam turun dari kendaraan. Seorang pria berbadan kekar menghardik: ”Untuk apa mobil H2O (Humam-Hasbi Oke) kemari? Ini wilayah Irwandi (calon gubernur),” seorang saksi mata menirukannya kepada Tempo.Si kekar lalu meninju Humam.
Dia dan kawan-kawannya juga merusak bus dan membakar atribut H2O. Kasus yang terjadi pada Rabu pekan lalu itu ditangani Polres Kabupaten Bireuen yang mencakup wilayah Peusangan. ”Saya selamat karena dilindungi warga,” kata Humam kepada wartawan majalah ini.
Humam adalah calon gubernur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai pemenang Pemilu 2004 di Aceh. Namun, dia bukan aktivis PPP. Namanya muncul setelah partai itu menjaring sejumlah calon pemimpin yang akan diusung partai berlambang ka’bah itu.
Latar belakang Humam cocok dengan PPP yang berbasis Islam. Lahir di Ulee U, Tanjongan, Samalanga, 31 Maret 1956, dia adalah putra Syekh Abdul Hamid Idris Samalanga yang akrab disebut Ayah Hamid. Bersama Teungku Muhammad Daud Beureueh (Abu Beureueh), pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Ayah Hamid mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh pada 1937.
Humam tak hanya mengenyam pendidikan pesantren. Dia belajar pula di sekolah umum hingga menuai gelar doktor di Amerika Serikat. Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, ini mendirikan Yayasan Peduli HAM pada 1999. dia juga tercatat sebagai Ketua Harian Dewan Pembina Panglima Laot Aceh.
Pada akhir 2005, PPP meminangnya. Dan Juni lalu, dia resmi dicalonkan sebagai calon gubernur dari partai tersebut. Pasangannya, Hasbi Abdullah, anggota Dewan Pakar partai yang sama. Hasbi, 60 tahun, adalah tokoh GAM. Dia bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976 dan dia sering keluar-masuk penjara. Sedikitnya, 13 tahun badannya terkurung di beberapa bui di Aceh.
Kendati demikian, Hasbi mampu menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Dia ditunjuk menjadi anggota Dewan Pakar PPP pada 1989. Sepuluh tahun kemudian, barulah ayah empat anak ini bisa mengecap hidup normal. Salah satu kegiatannya sekarang mengajar di Unsyiah.
Karena Hasbi pula, sebagian besar elite GAM berada di belakang H2O (Humam-Hasbi Oke). Dukungan ini tentu saja berbenturan dengan pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar (Irna) yang menempuh jalur independen sejak 27 Agustus lalu.
Masalahnya, Irwandi, 47 tahun, juga pentolan GAM. Pria asal Bireuen ini menjadi aktivis GAM sejak 1998. Dia juga dekat dengan dunia akademik. Selain mengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, dia menjadi staf khusus Psy-war Komando Pusat GAM. Pada 2003, dia ditangkap dan divonis sembilan tahun penjara.
Bencana tsunami, 26 Desember 2004, meloloskan dia dari penjara Keudah, Banda Aceh. Dia mengungsi ke Finlandia dan baru kembali ke Aceh pada Agustus 2005.
Di Aceh Monitoring Mission (AMM), lembaga pemantau perdamaian Aceh, Irwandi duduk sebagai Senior Representative GAM
Mitra Irwandi adalah Nazar—dia duduk dalam presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Semula Nazar, 33 tahun, dicokok aparat keamanan setelah menggelar aksi kolosal rakyat Aceh menuntut referendum pada 8 November 1999. Dia bebas pada 2002. Di tahun yang sama, di Aceh kembali diberlakukan Darurat Militer. Nazar ditangkap lagi. Kali ini dia diasingkan ke Pulau Jawa hingga 31 Agustus 2005.
Karena ada dua pasangan berbasis massa GAM, maka terjadilah gesekan. Mula-mula menghangat di kalangan rakyat jelata, yang memanas hingga ke level fisik: Humam dihajar dengan tinju. Kepada Tempo, Irwandi mengatakan tak tahu-menahu soal itu. ”Di situ tak terlibat orang GAM,” katanya. ”Saya juga malu dengan peristiwa itu.”
Irwandi menjamin tak akan terjadi bentrokan gara-gara sistem. Di pihak lain, Humam menyatakan tak ingin memperpanjang perkara. ”Saya telah memaafkan. Ini sesuai dengan komitmen pilkada damai,” katanya.
Humam dan Irwandi, Kamis pekan lalu, telah berangkulan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Alhasil, bogem dan pelukan hanya berselang waktu sehari.
Nurlis E. Meuko dan Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo