Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH nyaman kuliah di Singapura. Kampusnya bersih, fasilitasnya pun komplet. Ini dirasakan oleh Christopher Kasidi, 23 tahun, yang belajar teknik kimia di National University of Singapore (NUS). Kampus yang dibangun di atas lahan lebih dari 3 juta meter persegi ini cukup mewah. Perpustakaan, labo-ratorium, dan asrama di sana dilengkapi peralatan yang serba canggih. Semua ruang kelasnya pun berpenyejuk udara.
Untuk pergi kuliah, Kasidi tinggal mencegat bus kampus yang melintas tak jauh dari tempat tinggalnya. Di kampus, ia bisa mengakses Internet secara gratis dari mana saja: ruang kelas, perpustakaan, bahkan kantin. Dosen mereka juga bukan orang sembarangan. Sebagian besar bergelar profesor yang ahli di bidangnya. Semua kenyamanan ini bisa dinikmati dengan cuma-cuma. "Saya malah mendapat uang saku S$ 6.000 (sekitar Rp 29 juta) per tahun," ujarnya.
Kasidi, yang sudah belajar di Negeri Singa sejak duduk di SMA, amat beruntung. Karena prestasinya bagus, begitu lulus sekolah menengah, ia mendapat beasiswa dari Sembawang Corporation Singapore Technology, sebuah perusahaan pemerintah. Hanya, kelak jika Kasidi sudah lulus dari NUS, ia wajib bekerja di Sembawang Corporation selama enam tahun.
Mahasiswa seperti Kasidi amat banyak di Singapura kendati tidak semua mendapat beasiswa penuh. Selain di National University of Singapore, ada pula yang kuliah di Nanyang Technological University (NTU). Apalagi, sejak 1998, Singapura memang membuka lebar-lebar pintunya bagi siswa dari negara lain untuk bersekolah di sana. Secara aktif, setiap menjelang tahun ajaran baru, NTU dan NUS gencar berpromosi untuk merekrut siswa dari negara lain. Mereka umumnya berburu siswa ke Malaysia, Cina, India, Vietnam, dan juga Indonesia. "Setiap tahun kami menerima siswa asal Indonesia lebih dari 100 orang," kata Victor Choa, salah seorang staf pengajar NTU.
Itulah cara Singapura menutupi kekurangan mahasiswa di universitasnya, yang juga berbuntut pada kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Hanya, kata Choa, ini bukanlah tujuan utama. "Kami juga ingin menjalin hubungan baik dengan negara tetangga," ujarnya.
Tim rekrutmen dari NTU dan NUS malah sudah memegang daftar sekolah terbaik di Indonesia. Di antaranya sejumlah SMA di Jakarta seperti SMA Kristen BPK Penabur, SMA Marsudirini, SMA Kanisius, SMAN 8 Jakarta, dan SMA Taruna Nusantara Magelang. Dari sanalah universitas-universitas di Singapura mendapatkan siswa dengan beasiswa penuh ataupun sistem pinjaman.
Lewat jalur pinjaman, mahasiswa juga dibebaskan dari uang kuliah, tapi mereka harus membayarnya setelah lulus. Dalam satu tahun, biaya pendidikan di Singapura untuk program S-1 adalah S$ 24 ribu atau sekitar Rp 117 juta. Dari jumlah ini, pemerintah Singapura memberikan subsidi S$ 18 ribu per tahun. Sisanya, S$ 6.000, dibayarkan pihak universitas lewat program pinjaman.
Untuk biaya hidup, mahasiswa juga boleh mengajukan tambahan pinjaman S$ 300 atau sekitar Rp 1,4 juta per bulan. "Tapi, kalau merasa bisa menutup biaya hidupnya dengan uang sendiri, tak perlu meminjam," kata Stevin Snellius, 21 tahun, mahasiswa asal Indonesia yang belajar di NTU lewat program pinjaman.
Stevin mengetahui ada program pinjaman di NTU dari sekolahnya, SMA Kristen 3 BPK Penabur Jakarta. Pada akhir tahun 2000 lalu, perwakilan NTU mengadakan seminar di sekolahnya. Ia langsung melamar dan diterima. Sejak 2001, Stevin pun resmi menjadi mahasiswa NTU.
Kelak, kalau sudah lulus, Stevin mesti membayar utangnya. Lamanya pendidikan program S-1 di Singapura adalah empat tahun. Jadi, ia punya kewajiban membayar 4 x S$ 6.000. Jika Stevin meminjam uang saku S$ 300 per bulan, ini pun harus dilunasinya nanti.
Caranya lewat mengangsur. Jumlah cicilan bisa disepakati antara pihak universitas dan mahasiswa. Angsuran minimal per bulan adalah S$ 100 dan pinjaman harus dilunasi tak boleh lebih dari 20 tahun. Mereka juga diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun.
Sistem itu ternyata tidak terlalu memberatkan mahasiswa. Alison Subiantoro, misalnya, malah bisa melanjutkan pendidikan ke program S-2. Pemuda 23 tahun ini beruntung karena, begitu lulus dari jurusan mekanik dan produksi di NTU tahun lalu, ia langsung mendapatkan beasiswa program master. Utangnya saat menempuh pendidikan S-1 ia cicil dengan menyisihkan uang saku dari program beasiswa S-2.
Kini kewajiban yang belum Alison tunaikan adalah bekerja selama tiga tahun di perusahaan di Singapura. "Waktu saya tersita di kampus. Nanti, setelah saya lulus S-2, barulah saya mulai bekerja," katanya.
Meski belajar dengan fasilitas lengkap dan tak perlu pusing memikirkan biaya, baik Alison, Stevin, maupun Kasidi mengakui kuliah di Singapura sangat berat. "Penuh tekanan," kata Kasidi. Hampir seluruh waktunya tersita untuk kuliah, mengerjakan tugas, dan mengikuti paduan suara di kampus. "Jadi, waktu bebas saya itu cuma 2 jam sehari, setelah dikurangi waktu tidur yang biasanya 5 sampai 6 jam sehari," katanya.
Kendati begitu, mereka tetap bisa berprestasi dengan baik. Ambil contoh Alison. Lulusan SMA Marsudirini Jakarta ini salah satu lulusan terbaik di kampusnya. Karena itu, tak sulit baginya untuk mendapatkan beasiswa S-2.
Menurut Alison, belajar di Singapura amat enak karena fasilitasnya lengkap. Jika memerlukan buku apa saja, ia cukup datang ke perpustakaan. Para dosennya pun tak segan membantunya, bahkan sampai urusan pribadi.
Hal itu dibenarkan Victor Choa. Kadang ada mahasiswa yang menurun prestasinya. "Biasanya jika mereka kangen kampung halaman atau putus dengan pacarnya," kata Choa. Nah, Choa atau staf pengajar lain akan dengan senang hati mendekati mahasiswa ini dan menghiburnya.
Rian Suryalibrata (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo