SELAMA satu minggu, hujan disertai angin keras itu terus menyerbu, siang malam. Baru pada Kamis pagi 21 Februari matahari mulai menyembul. Penduduk Mataram, Lombok, pun mulai bisa tersenyum. Tapi di perkampungan sekitar Bukit Sigarenten, 25 km sebelah utara Mataram, hujan yang berkepanjangan itu rupanya membuat mereka enggan pergi ke ladang. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, dan bencana itu datang. Penduduk semula mengira itu suara pesawat terbang yang naik turun di pelabuhan udara Selaparang. Ternyata, perbukitan yang dihuni dua puluhan rumah itu longsor diiringi tumbangnya pepohonan. Lima rumah terhantam hancur dan teruruk tanah. Mahnim, 35, sempat lari keluar ketika gemuruh yang dahsyat itu menerjang. Ia selamat. Tapi ibu, kakak, istri, dan dua anaknya tewas. Jumlah korban yang meninggal 13 orang. Dua jam kemudian tanah longsor itu menyerbu lagi. "Tanah di daerah itu memang labil dan mudah longsor. Karena itu, pemerintah melarang penghunian daerah bahaya itu," kata Dandim Lombok Barat Letkol Bibing Subari. Tapi imbauan itu tak bersambut. "Tak mungkin kami meninggalkan gantungan hidup di sini," ujar Sayunah, 34, penduduk Kampung Manggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Barat. Ia luka berat tertimpa longsoran, tapi memutuskan untuk mempertahankan ladangnya. Hujan lebat, disertai angin ribut, Kamis pekan lalu juga menerpa beberapa daerah di Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah. Lima kecamatan di Rembang segera terendam banjir. Empat orang tewas tertindih bangunan yang roboh diterjang bah. Di Juana, Pati, ratusan rumah diserbu banjir pada hari yang sama. Hampir seribu orang terpaksa mengungsi. Sekalipun tercampak dari rumahnya, para pengungsi itu tak menampakkan wajah sedih. "Kami sudah biasa dilanda banjir tiap tahun. Jadi, tidak kaget," kata Suwardi, penduduk Desa Doropayung, Juana. "Mereka sudah bersahabat dengan banjir. Sehingga setiap kali ditawari untuk bertransmigrasi, tidak ada yang bersedia," kata Susilo, dari tim posko bencana alam, Juana. Banjir juga menyerbu Kota Semarang. Hujan yang mengucur sejak Kamis sampai Jumat pagi pekan lalu, seperti biasa, menggenangi kota. Kali Ini agak parah. Hampir dua pertiga kota tergenang. Namun, buat warga Cina di Semarang, hujan itu rupanya dianggap membawa berkah, karena hampir bersamaan dengan Tahun Baru Imlek. Banjir di Semarang pekan lalu itu membawa seorang korban, yang tersengat aliran listrik akibat kabel basah. Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, hujan yang membawa berkah memang tidak turun pada hari Tahun Baru Imlek. Tapi dihari pertama Tahun Kerbau itu, Rabu malam pekan lalu, yang datang menyerbu adalah angin ribut. Tiga kecamatan yang terletak di barat Magetan Plaosan, Panekan, dan Poncol - di lereng Gunung Lawu, paling menderita. Hampir semua rumah di 25 desa di tiga kecamatan ini roboh. "Saya diseret cucu lari keluar. Kalau tidak, saya pasti tertimpa rumah yang roboh," kata Sonah, wanita berusia 80 tahun, yang menyaksikan rumahnya runtuh disapu angin. "Suara angin itu seperti kapal terbang. Datang, memutar, hilang. Datang lagi, memutar, dan menghilang," | tutur Mbah Sonah. Bersama cucunya, Sonah memasang kembali atap rumahnya, tanpa dinding dan tiang, untuk tempat tinggal darurat. Bencana itu memang parah. Setelah dihitung, 4.199 rumah rusak. Sembilan balai desa rusak dibangun kembali. Ada 29 gedung SD yang roboh atau rusak. Ditaksir sekitar dua juta pohon, antara lain cengkih dan bambu, tumbang. Entah bagaimana cara menghitungnya. "Jumlah kerugian ditaksir Rp 1,2 milyar," kata bupati Magetan, H.M. Sihabudin. Menurut Sajuri, kepala desa Sidamulya, desa yang terserang paling parah, suasana malam itu seperti masa perang. "Semua penduduk keluar rumah. Lari kocar-kacir ketakutan. Tangis anak-anak terdengar di mana-mana. Kentongan berdentam-dentam. Semua orang panik. Angin bagaikan slklon yang menghantam semua yang dilewati. Malam itu Sajuri mengumpulkan warganya di gardu-gardu jaga dan di perempatan jalan desa, menghindari pohon besar. "Suara pohon tumbang dan patah berentetan bagai senjata api yang ditembakkan beruntun," tutur Sajuri. Esoknya Bupati Sihabudin hampir tidak bisa meninjau lokasi bencana, karena semua jalan tertutup pohon tumbang. Angin berputar itu memang dahsyat. Hampir semua pohon di sepanjang 40 km jalan antara Magetan dan Sarangan bertumbangan. Gergaji sangat laris seusai bencana itu. Yang juga laris adalah genting. "Kini persediaan genting di seluruh Magetan habis. Terpaksa kami minta suplai dari Madiun," kata Sihaibudin. Desa Sidamulya saja telah mendatangkan 116 truk genting. Musibah yang menimpa Desa Getasanyar tragis. Tahun lalu, desa ini memenangkan hadiah Kalpataru, karena berhasil menghijaukan lagi bukit di lereng Lawu tersebut. Kini semua pohon yang ditanam itu roboh. "Padahal, sebagian waktu kami, selama bertahun-tahun, habis untuk menanam pohon itu," kata seorang warga. Soal pangan, katanya, tak terlalu merisaukan, karena penduduk umumnya mempu-nyai cadangan. Angin ribut telah pula menyergap kawasan Gunung Cikuray, yang terletak di Jawa Barat bagian selatan, Rabu pekan lalu. "Waktu itu suasananya seperti akan kiamat saja," kata Rusdi, 28, penanggung jawab stasiun relay televisi Cikuray, Garut. Sejak pagi angin kencang telah bertiup. Malam harinya angin kian menggila. Bersama kedua temannya, Rusdi lari keluar dari stasiun. Setengah jam setelah itu, antena pemancar yang tingginya 59 m tumbang menimpa bangunan kantor. Baru pada hari Sabtu, bantuan dari Jakarta dan LEN (Lembaga Elektroteknika Nasional) datang. Sebuah menara darurat, setinggi 15 m, didirikan. "Dan alhamdulillah, malam harinya kami dapat merelay final kompetisi sepak bola PSSI ke daerah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, meski mutu gambarnya tidak begitu baik," ujar Rusdi. Ada empat kecamatan di Kabupaten Garut yang terserang angin ribut. Kerugian diperkirakan Rp 2 milyar. Tiga kampung di Kecamatan Cilawu tampaknya paling parah. Di Kampung Cireuday Pasir, misalnya,tidak satu rumah pun yang berdiri utuh. Ibu Amah, 56, janda yang tinggal di Kampung Cireuday Tengah, bercerita tentang bencana yang menimpa. "Malam hari itu saya kira gerombolan DI menyerbu lagi. Soalnya, suasananya mirip sekali rumah-rumah roboh dan terbakar, orang-orang menjerit-jerit minta tolong. Saya benar-benar takut," katanya di depan reruntuhan rumahnya. Angin ribut 20 Februari lalu itu ternyata melanda sebagian wilayah Jawa Barat. Kawasan Puncak juga terserang. Banyak pohon yang tumbang ke jalan. Kebun Raya Cibodas pekan lalu terpaksa ditutup sementara untuk membersihkan pepohonan yang tumbang. Selain itu, Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Subang, dan Bandung juga terserempet angin. Ratusan rumah roboh. Terjadinya angin kencang dan hujan lebat di beberapa wilayah Indonesia pekan lalu itu akibat pengaruh siklon tropis yang terjadi di Samudra Hindia. "Siklon itu tak melalui Indonesia, tapi selalu mempengaruhi keadaan Indonesia," kata Soehadi, kepala Bidang Ramalan dan Jasa Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan. Siklon tropis terjadi akibat penurunan tekanan pada daerah tertentu (depresi). Bila terjadi hingga tekanan terkecil, semua udara di daerah lain akan masuk ke situ. Letak daerah yang menjadi tumpuan tekanan udara itu biasanya di lautan. Bila aliran itu masuk daratan, bisa terjadi bencana. Siklon tropis bisa terjadi setiap bulan, dan jumlahnya bisa diperkirakan. "Misalnya, selama Februari, menurut rata-rata yang diperkirakan, akan terjadi siklon tropis sebanyak tiga kali. Tetapi yang terjadi sekarang ini sudah lima kali," kata Soehadi. Siklon-siklon itu diberi nama. Yang terjadi pada 12 Feb-ruari, misalnya, diberi nama Hubert. Pada 13 Februari: Isobell. Yang terakhir, 23 Februari, namanya Rebecca. Terjadinya lima siklon tropis dalam, bulan Februari ini, kata Soehadi, meru-pakan peristiwa yang jarang terjadi. Pada 1984 hanya terjadi enam kali siklon tropis, tapi waktunya tak berdekatan, dan biasanya selesai di laut. Kecepatan angin di pusat siklon bisa mencapai 100 knot. "Dan itu bisa memecahkan kapal," kata Soerjadi staf meteorologi. Bila sampai ke darat kecepatannya berkisar antara 30 knot dan 40 knot, yang bisa menumbangkan pohon. Kecepatan angin normal sekitar 8 knot. Siklon tropis seperti yang terjadi pekan lalu, menurut Soerjadi, masih mungkin terjadi. "Cuma, kapan terjadinya itu yang sulit ditentukan. Soalnya, timbulnya baru bisa kelihatan sekitar satu dua hari," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini