Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bintang-bintang yang digeser

Hasil dewan kehormatan militer. enam perwira tinggi dijajaran kolakops tim-tim dijatuhi hukuman. empat perwira akan diajukan ke mahkamah militer. dan lima perwira lainnya akan diperiksa.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINTONG Panjaitan, mayor jenderal berkumis tebal itu, akhirnya sampai juga di hole ke-18, di tengah gerimis yang terus mengguyur. Di padang golf Jaya Ancol, Jakarta, Jumat pekan lalu, jenderal berbintang dua yang tengah menjadi pusat perhatian banyak orang itu ikut main, meramaikan peringatan hari ulang tahun Kostrad yang ke-31. Bertanding hampir lima jam, bekas panglima Kodam Udayana ini sama sekali tak kelihatan lelah, kendati usianya tahun ini sudah setengah abad. Namun, ia merahasiakan berapa handicapnya. Sesekali terdengar ia tertawa riang. Barangkali, kegembiraan Sintong sore itu lantaran ia bermain bersama sahabatnya, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Wismoyo Arismunandar. Mereka berdua adalah teman seangkatan di AMN Magelang, dan sama-sama lulus tahun 1963. "Dia ini sahabat saya," ujar Wismoyo berkali-kali, sembari merangkul Sintong. Anak Tarutung, Sumatera Utara ini hanya tersenyum. Dan pada acara lucky draw, ternyata nasib Sintong mujur: ia mendapat hadiah mesin cuci. Tampaknya, pada hari ulang tahun kesatuannya, Wismoyo Arismunandar ingin menghibur Sintong dengan mengundangnya main golf. Maklum, sehari sebelum acara golf tadi, KSAD Jenderal Edi Sudradjat mengumumkan hasil kerja Dewan Kehormatan Militer, yang antara lain memberi hukuman "tambahan" pada Sintong Panjaitan, setelah ia diberhentikan dari jabatan Pangdam Udayana, menyusul meletusnya insiden Dili. Sesungguhnya, hari itu Mayor Jenderal Feisal Tanjung, Ketua DKM yang memeriksa Sintong, juga diundang, tapi tak bisa datang. Apa boleh buat, pertemuan antara pemeriksa dan yang diperiksa itu pun gagal. Maka, ketika wartawan TEMPO Iwan Qodar Himawan bertanya soal keputusan DKM, Sintong tak mau berkomentar. "Sudahlah. Saya tak ingin membuat statement apa pun. Saya ingin istirahat dulu," ujarnya. Ada kabar, perwira tinggi ABRI ini akan segera menempuh pendidikan di salah satu universitas terkenal di AS. Tapi Sintong dengan tersenyum mengelak, "Isu dari mana pula itu?" Sintong Panjaitan adalah salah satu dari "enam perwira terperiksa" yang dikenai hukuman dalam keputusan DKM yang diumumkan KSAD di Markas Besar Angkatan Darat, Kamis pekan lalu. Sehari sebelumnya, KSAD melaporkan hasil DKM ini pada Presiden Soeharto di di Jalan Cendana, Jakarta. Kabarnya, KSAD baru meninggalkan Cendana menjelang tengah malam. Atas hasil dan rekomendasi DKM yang dinilai Jenderal Edi sebagai hasil yang "patut dan benar", Presiden pun setuju. "Beliau pun menerima dan membenarkah putusan itu," kata jenderal berbintang empat ini dalam wawancara khusus dengan TEMPO di Surabaya (lihat Jangan Semut Menjadi Gajah). Palu keputusan pun diketok, hukuman dijatuhkan. Dari enam perwira yang merupakan pejabat tinggi di jajaran Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Tim-Tim, tiga diberhentikan dari dinas militer, dua dipindahkan dari jabatan struktural AD, tapi tetap dalam dinas aktif, dan seorang perwira untuk sementara tidak ditempatkan dalam jabatan struktural tapi tetap aktif berdinas. Selain enam perwira, para komandan di lingkungan Kolakops Tim-Tim yang dipandang bertanggung jawab langsung atas kejadian di lapangan juga kena tindakan keras. Lalu, pasukan yang dianggap bertindak di luar batas etika dan disiplin militer juga dihukum berat. Dari kelompok ini, ada empat perwira, tiga orang bintara, dan seorang tamtama yang akan diajukan ke pengadilan militer. Delapan orang ini juga telah dipecat dari dinas militer. Keputusan DKM lain: lima perwira yang sampai sekarang masih bertugas di Dili akan segera diperiksa lebih lanjut oleh sebuah tim TNI Angkatan Darat, yang diketuai Asisten Pengamanan Mayor Jenderal Soerjadi. Kelompok perwira yang akan diperiksa ini dianggap tidak merasa terpanggil untuk melakukan tindakan yang seharusnya diambil ketika pecah insiden Dili, 12 November 1991, sampai jatuh korban sekitar 50 orang. Inilah sebuah keputusan besar yang mengejutkan. Setidaknya, sepanjang sejarah Orde Baru, baru pertama kali sebuah peristiwa berdarah mengakibatkan sejumlah perwira ABRI dihukum, dipecat, dan bahkan diseret ke pengadilan. Dan baru pertama kali pula sebuah DKM sampai perlu merekomendasikan pemecatan dan pengadilan, yang kemudian disetujui oleh KSAD. Dewan-dewan kehormatan yang pernah dibentuk sebelum ini bekerja hampir tanpa "korban" dan tanpa diumumkan hasilnya. Misalnya, DK yang dibentuk setelah Perang Gerilya II pada 1949. Dewan ini hanya bekerja sebentar untuk kasus-kasus tertentu. Pada 1952, Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX juga membentuk dewan kehormatan. Tujuannya, menyelesaikan kasus surat Kolonel Bambang Soepeno yang dikirim ke presiden, DPR, dan lembaga tinggi lainnya, berisi mosi tidak percaya kepada KSAD A.H. Nasution. DK ini pun cuma bekerja sesaat, dan urusan surat tadi kemudian diambil alih DPR. Tak lama setelah itu, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD. Jadi, boleh dibilang, pembentukan DK di masamasa lalu tak membawa "korban" sebanyak DKM sekarang. Siapa saja mereka yang dihukum? Jenderal Edi enggan menjawab. "Tulis saja nama saya di situ," selorohnya dalam jumpa pers di MBAD. Sebuah sumber TEMPO menduga, Sintong Panjaitan termasuk yang disebut dalam kategori "untuk sementara tidak ditempatkan dalam jabatan struktural, tapi masih dalam dinas aktif". Ke mana Sintong? "Kalau Pak Sintong sekarang tidak menjabat suatu jabatan, ya, pantas-pantasnya waktunya diisi apa saja yang bermanfaat. Sekolah, itu salah satu. Bisa saja selain itu," kata Jenderal Edi pada TEMPO. Alkisah, yang disebutsebut menerima hukuman "diberhentikan dari dinas militer" konon adalah Komandan Kodim 1627 Letnan Kolonel Wahyu Hidayat, Komandan Sektor C Kolonel Binsar Aruan, serta Asisten Intelejen Kolakops merangkap Dan Satgas Intel Kolonel Gatot Purwanto. Sedangkan untuk bekas Pangkolakops Tim-Tim Brigjen. R.S. Warouw dan wakilnya, Kolonel J.P. Sepang, dikabarkan bentuk hukumannya adalah "tidak ditempatkan lagi dalam jabatan struktural TNI AD, tapi masih dalam dinas aktif". Bentuk hukuman terakhir ini kalau benar begitu bisa saja berupa pemindahan dua perwira Dili tadi ke tugas-tugas nonstruktural seperti menjadi staf ahli KSAD atau menjalani tugas kekaryaan di luar lingkungan ABRI. Siapa empat perwira yang segera akan diajukan ke mahkamah militer? Ada dugaan, dua di antaranya berasal dari komandan peleton Batalyon 303, seorang komandan peleton Brimob Dili, dan kabarnya juga komandan kompi gabungan. Ketika pecah insiden Dili, pasukan yang diturunkan ke pekuburan Santa Cruz berasal dari berbagai satuan yang ada di ibukota Tim-Tim itu. Di antaranya, dua peleton dari Batalyon 303 Kostrad, dan satu peleton dari Brimob Dili. Pasukan gabungan ini bergerak di bawah komando Letnan Dua Moersanif, yang menjabat asisten politik Kodim Dili. Selain itu, ada lima perwira yang segera akan diperiksa oleh tim yang diketuai Mayor Jenderal Soerjadi. Konon, kata sebuah sumber, lima perwira ini sekarang seluruhnya masih bertugas di Dili. Di antaranya asisten operasi dan asisten teritorial Kolakops Tim-Tim, serta kepala staf Korem Wira Dharma. "Bukan tak mungkin mereka juga diajukan ke pengadilan militer. Tergantung hasil pemeriksaan nanti," kata Soerjadi pada TEMPO. Menurut Edi Sudradjat, peristiwa Dili seharusnya sudah dapat diperkirakan. Sebab, katanya lagi, tanda-tanda dan persiapannya sudah tampak beberapa hari sebelumnya. Salah satunya adalah bentrok berdarah di depan Gereja Motael, Dili, pada 28 Oktober, sekitar dua minggu sebelum meledaknya peristiwa berdarah itu. Sangat disesalkan, kata Jenderal Edi, komando setempat tidak melakukan langkah-langkah dan tindakan semestinya. Kendati tak menunjuk langsung, bisa ditafsirkan bahwa yang ditunjuk adalah satuan tugas intel. Jaringan intelijen diperkirakan tak berjalan sebagaimana mestinya, hingga upaya mengantisipasi pengamanan sebelum pecah insiden Dili terlambat. Jajaran intelijen di Dili kemudian dibenahi. Misalnya, belum lama ini Pangkolakops Tim-Tim Brigadir Jenderal Theo Syafei membubarkan Satuan Tugas Elang yang merekrut tenaga-tenaga asli daerah sebagai informan. Konon, orang-orang Elang tadi sering salah info, dan ada keluhan masyarakat mereka suka asal tangkap. Toh bukan berarti insiden Dili pecah hanya gara-gara soal intelijen. Ada penjelasan sebuah sumber, sehari sebelum 12 November lalu, Warouw sudah menerima laporan soal kemungkinan adanya demo. Konon, Warouw, yang tengah repot menerima kunjungan Komisi Hak Asasi PBB yang diketuai Prof. Kooijmanns beranggapan bahwa upaya pengamanan yang disiapkan sudah dianggap memadai. Tapi yang agaknya menjadi soal besar, yang merembet sampai ke mancanegara, adalah meledaknya peristiwa berdarah di pekuburan Santa Cruz itu. Suatu peristiwa, kata seorang pengamat, yang bak peluru tak terkendali, yang tak diketahui oleh siapa pun, dari mana datangnya. Dan terjadilah tindakan yang disebut Jenderal Edi sebagai "perbuatan di luar batas-batas kepatutan yang mengarah kepada tindakan pidana." Untuk menggali fakta yang kemudian dilaporkan pada Jenderal Edi, DKM yang dipimpin Mayor Jenderal Feisal Tanjung bekerja keras. Sejak 2 Januari, selama 50 hari, DKM mewawancarai 51 orang di Dili dan Jakarta, juga merekonstruksi kejadian di lapangan. Di Jakarta, DKM -- beranggotakan 10 mayjen., 8 brigjen., dan 6 kolonel -- telah memeriksa enam perwira Kolakops di MBAD. Setiap pemeriksaan dipimpin langsung oleh Feisal. Anggota inti DKM memantau jalannya pemeriksaan dari ruangan lain, melalui jaringan TV, yang kabarnya bisa dilihat sampai di ruang kerja KSAD. Pemeriksaan di Jakarta makan waktu sekitar tiga minggu, sejak 15 Januari. Yang pertama diperiksa adalah Komandan Kodim Dili Letkol. Wahyu Hidayat, lalu Komandan Sektor C Kol. Binsar Aruan. Kemudian tiba giliran Asintel Kolakops Kol. Gatot Purwanto, yang disambung oleh Wapangkolakops Kol. J.P. Sepang. Dua hari di akhir Januari itu, Warouw kabarnya mulai diperiksa, disertai sejumlah saksi. Termasuk Kepala Seksi Operasi Korem Wira Dharma, dan Komandan Detasemen Pasukan Antihuru-hara di Dili. Mayjen. Sintong Panjaitan juga kebagian dua hari diperiksa, awal Februari lalu. Yang tampil sebagai saksi, selain Brigjen. Warouw adalah tiga orang bawahan Sintong di Kodam Udayana. Selama pemeriksaan, para perwira ini kabarnya menginap di mes Udayana, di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Kecuali Sintong, Warouw, dan Gatot Purwanto, yang punya tempat tinggal di Jakarta. Mereka kabarnya datang sendiri ke MBAD selama proses pemeriksaan. Sekalipun ada juga yang diantarjemput dari Wisma Kodam Udayana, seperti Binsar Aruan dan Sepang. Hingga akhir pekan lalu, tampaknya mereka belum tahu pasti hukuman yang akan dijatuhkan. Konon, mereka saling menghubungi dan saling menghibur. "Saya mengira dia yang kena. Eh, taunya dia malah menghibur saya karena mengira saya yang diberhentikan," kata salah seorang setengah berkelakar. Dua hari setelah KSAD mengeluarkan pengumuman, Sintong tampak membaca koran di beranda rumahnya di Cijantung. Seperangkat golf club disiapkan. "Maaf, saya tak bisa bicara," katanya sembari membaca. Tak lama kemudian dia berangkat untuk main golf. Kalau saja pengalaman tempur Sintong Panjaitan dibukukan, barangkali akan sangat "berwarna". Ia pernah terlibat dalam beberapa operasi yang tergolong prestisius. Adalah Sintong bersama peletonnya yang membebaskan RRI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, yang pada 1 Oktober 1965 sore masih dikuasai oleh Gerakan 30 September. Sebagai komandan Kopassandha, ia membebaskan sandera pesawat Garuda Woyla di bandara internasional Don Muang, di Bangkok, pada tahun 1982. Ia juga punya pengalaman tempur di Irian. Selama menangani Tim-Tim, kabarnya, tak kurang dari 300 anak buahnya yang dikenai hukuman. Para perwira lain juga menolak berkomentar soal sanksi yang belum persis mereka ketahui itu. Apa pun sanksinya, bagi J.P. Sepang, bekas wakil Pangkolakops dan Danrem Wira Dharma, agaknya tak ada masalah. Ia berkata singkat, "Saya rasa keputusan pimpinan selalu yang terbaik. Saya terima dan terima kasih." Di Dili, di tengah ramainya isu soal jadi atau tidaknya rencana kedatangan kapal Portugal Lusitania Expresso, hasil DKM diterima dengan rasa waswas oleh sebagian perwira AD. "Apakah saya akan juga dimahmilkan atau diperiksa?" tanya seorang perwira senior di Dili. Perwira lainnya menyambung, "Sebagai prajurit, saya tetap tak rela ada yang mengibarkan bendera lain di republik tercinta ini. Saya tak akan membiarkan itu terjadi. Ya, kalau tindakan DKM sudah dikenakan, itulah nasib." Sambutan terhadap hasil DKM juga datang dari seorang pejabat tinggi negara. Katanya, langkah DKM merupakan, "Sebuah terobosan baru. Kalau tidak dilaksanakan secara konsekuen bisa menimbulkan masalah." Salim Said, doktor lulusan Universitas Ohio, AS, dengan tesis soal hubungan sipil dan militer, mengaku terkejut dengan pengumuman hasil DKM. "Memang sebuah kejutan karena ada perwira tinggi yang dihukum," katanya. Ia menjelaskan bahwa sepanjang sejarah Orde Baru, memang baru kali inilah peristiwa seperti ini terjadi. Namun, untuk menyebut bahwa ini sebuah tindakan drastis terhadap militer, Salim merasa sulit untuk menilai begitu saja, antara lain karena proses persidangannya yang tertutup. "Kita tidak tahu magnitude dari kesalahan, juga apa yang dituduhkan, dan hanya tahu ujungnya," katanya. Salim juga beranggapan, orang masih belum tahu seberapa jauh "dimensi politik berperan" dalam DKM. Acungan jempol datang dari kantor Menlu AS di Washington, D.C. "Kami semakin yakin, pemerintah Indonesia makin serius melakukan upaya dalam menyelesaikan apa yang diakuinya sebagai penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh unit militer lokal," kata juru bicara kementerian luar negeri AS, Richard Boucher, Kamis lalu. Hasil DKM ini, oleh banyak pihak di luar negeri, dinilai sebagai satu lagi bukti betapa pemerintah RI memang serius menangani peristiwa Dili. Akhir Desember lalu, KPN sudah pula mengumumkan hasil temuannya, termasuk angka korban sekitar 50 orang yang merupakan semacam "revisi" atas angka 19 korban sebelumnya, yang diumumkan oleh Pangab Jenderal Try Sutrisno di DPR. Dua hari saja setelah KPN menghadap Presiden, tujuh pejabat tinggi negara menerima penugasan khusus dari Kepala Negara. Di antaranya, tugas kepada KSAD Edi Sudradjat untuk membentuk DKM. Dan dengan pengumuman hasil DKM ini, sebuah "PR" dari Presiden Soeharto yang tergolong sangat penting, dan peka, sudah terlampaui. Toriq Hadad, Sandra Hamid (Jakarta), Rubai Kadir (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus