SATU lagi tugas dari Presiden Soeharto yang berkaitan dengan peristiwa Dili tuntas sudah. Masih segar dalam ingatan bagaimana Pak Harto dengan jelas membagi-bagikan tugas itu. Hanya dalam waktu dua hari setelah menerima laporan Komisi Penyelidik Nasional, 28 Desember 1991, tujuh pejabat tinggi segera dikumpulkan di Istana Merdeka. Saat itulah lima penugasan yang berkaitan dengan tragedi Dili diberikan kepada mereka. Tugas yang pertama diberikan kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Edi Sudradjat. Yang bersangkutan diminta membentuk Dewan Kehormatan Militer untuk menyelidiki segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa itu di dalam tubuh Angkatan Darat. Hasilnya sudah disampaikan Edi kepada Presiden Rabu malam pekan lalu, di Jalan Cendana. Tugas kedua dari Pak Harto yang saat ini sedang dikerjakan adalah pekerjaan yang dibebankan kepada Jaksa Agung, Singgih, S.H. Kala itu Pak Harto meminta agar semua orang yang terbukti melanggar hukum yang berlaku agar diproses sebagaimana mestinya. Pekan lalu, Singgih melaporkan perkembangan pekerjaannya ini kepada Kepala Negara di Bina Graha. Dari hasil penyidikan yang dilakukan Kejaksaan akhirnya diberkas 13 perkara yang segera diajukan ke pengadilan akhir bulan ini juga. Delapan di antaranya di Dili, lima sisanya akan disidangkan di Jakarta. Lima tersangka di Jakarta ini adalah para mahasiwa asal Tim-Tim dari berbagai kota di Jawa, yang sempat menggelar demonstrasi di depan Gedung Perwakilan PBB, tak lama setelah insiden Dili meletus. Dua di antara mereka bakal dikenai tuduhan subversi, yang ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati. Sementara itu, persidangan di Dili bisa jadi bakal ramai. Sebab, perhatian orang di sana sebenarnya sudah sejak bulan lalu tertuju ke pengadilan. Saat itu kabar akan diadilinya tokoh-tokoh demonstran sudah marak di Dili. Tapi belakangan persidangan itu ditunda, sampai akhirnya diumumkan Singgih pekan lalu itu. "Tak ada apa-apa, hanya soal teknis, supaya semuanya bisa dilaporkan pada Pak Harto," kata sebuah sumber TEMPO di Dili tentang penundaan itu. Yang jelas, seperti dipaparkan Singgih, dua di antara delapan terdakwa di Dili juga akan dikenai pasal-pasal subversi. Satu di antaranya adalah Gregorio Da Cunha Saldana, yang dianggap sebagai salah satu pentolan kelompok antiintegrasi (TEMPO, 18 Januari 1992). Sebenarnya, para tersangka yang ditahan Kejaksaan jauh lebih besar dari itu jumlahnya. Sampai Singgih menghadap Presiden, tercatat 56 orang masih mendekam di tahanan dalam kaitan dengan berbagai peristiwa Dili. Rinciannya, 22 di Jakarta, 2 di Denpasar, dan 32 di Dili. Mengapa cuma 13 yang akhirnya diberkas perkaranya, menurut Singgih, "43 orang sisanya ditangguhkan penahanannya." Artinya, untuk sementara mereka bisa bebas karena sejauh ini belum ditemukan bukti-bukti bahwa mereka pantas diseret ke depan meja hijau. Namun, bisa saja mereka yang sudah dibebaskan itu nanti diperiksa kembali seandainya didapat bukti baru yang cukup kuat. Kehati-hatian Singgih ini tampaknya sejalan dengan pesan Pak Harto yang menghendaki agar dipisahkan betul orang-orang yang benar-benar terlibat dan yang hanya sekadar ikut-ikutan. Dan Jumat pekan lalu, 17 tersangka di Jakarta yang mendapat status penangguhan penahanan sudah dibebaskan Kejaksaan. Tugas ketiga dari Pak Harto diberikan kepada Menteri Dalam Negeri Rudini. Tugas ini cukup berat, Rudini diminta mengatur kembali aparat pemerintah daerah di Tim-Tim yang dinilai lemah. Salah satu ukurannya adalah banyaknya pegawai negeri di situ yang ternyata terungkap menganut paham antiintegrasi. Dari delapan tersangka yang akan diadili di Dili, misalnya, tujuh di antaranya adalah pegawai negeri. Mereka saat ini sedang dalam status dikenai hukuman skors. Untuk mengatasi ini, Rudini sudah membentuk tim yang dipimpin Sekjen Departemen Dalam Negeri, Nugroho. Tim ini sekarang sudah menyelesaikan inventarisasi seluruh pegawai negeri yang ada di Tim-Tim. "Tugas ini dikerjakan oleh 56 orang yang dikirim dari Jakarta selama dua minggu," kata Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri, Amur Muchasim. Hasilnya memang cukup memprihatinkan. Dari sekitar 25.000 pegawai yang tercatat, 4.000 di antaranya buta huruf. Persoalannya sekarang, mau dikemanakan mereka yang buta huruf ini. Sumber-sumber TEMPO di Dili menyebut, para pegawai negeri yang buta huruf ini direkrut karena alasan politis. Mereka, misalnya, adalah para pemuka adat atau bekas pentolan partai yang sejak zaman perang saudara dulu, 1975-1977, sudah menyatakan niatnya bergabung dengan Indonesia. "Tak ada pegawai yang dipercepat pensiunnya," kata Rudini. Maka, yang bisa dilakukan sekarang adalah meningkatkan latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Untuk tahap pertama, 800 orang akan "disekolahkan". Tapi ada cerita, salah seorang pejabat dari kantor gubernur sempat dikirim dua bulan ke Amerika Serikat. "Namun, sepulangnya, sepotong bahasa Inggris pun dia tetap tak bisa," kata seorang pejabat di Departemen Dalam Negeri. Di luar soal pembenahan oleh tim itu, ada satu soal penting yang berkaitan dengan Pemda Tim-Tim sekarang ini. Soal calon gubernur. Tahun ini Gubernur Carrascalao akan mengakhiri masa jabatannya yang kedua sebagai gubernur. Sesuai dengan undang-undang, ia tak bisa lagi memangku jabatan itu untuk yang ketiga kalinya. Inilah yang sekarang menjadi topik pembicaraan hangat. Namun, ada kabar, pergantian gubernur di Tim-Tim tak akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Dikhawatirkan, soal ini akan ikut menghangatkan suasana yang sudah reda. Konon, pergantian ini baru akan dilakukan jika situasi sudah reda betul. Itu berarti, ada kemungkinan Carrascalao akan meneruskan mandat sebagai pejabat gubernur sampai situasi dianggap memungkinkan. Tugas keempat yang tak kurang berat dibebankan oleh Pak Harto kepada Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Ali diminta menangkal tindakan maupun berita negatif di luar negeri sehubungan dengan peristiwa ini. Belakangan ini kampanye yang dilancarkan Portugal memang semakin seru di berbagai forum internasional. Misalnya saja dengan rencana mengirim kapal Lusitania Expresso, yang sekarang dikabarkan batal itu. Belum lagi dukungan yang diberikan oleh pihak yang mengaku dirinya independen, seperti wartawan Amerika Alan Nairn dan Amy Goodman, yang aktif menggergaji citra Indonesia di berbagai forum. Maka, begitu Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN usai akhir bulan lalu, Menteri Alatas segera melanglang buana. Kebetulan ada konperensi tingkat menteri negara Nonblok di Nikosia. Dari sini Alatas segera terbang ke Eropa menemui beberapa koleganya untuk menjelaskan soal itu. Tak cukup dengan itu, Alatas bahkan sekali lagi melakukan muhibah setelah utusan khusus PBB untuk soal Tim-Tim, Amos Wako, mengakhiri kunjungannya di Jakarta pertengahan Februari lalu. Dalam sebuah misi yang disebut sebagai diplomasi yang ofensif, Alatas terbang ke Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat. Misi ini bahkan langsung disambung ke daratan Eropa. Swiss, Inggris, Belgia, Jerman, Spanyol, dan tentu saja Belanda, adalah negara yang termasuk dalam daftar lawatannya. Hasilnya cukup melegakan. Lewat diplomasi Alatas, banyak negara mulai bisa diyakinkan bahwa peristiwa Dili adalah sebuah insiden yang sangat disesalkan oleh pemerintah Indonesia. Di Amerika Serikat, misalnya, di mana kunjungan Alatas pekan lalu dinilai sukses, perdebatan masalah Tim-Tim tampaknya tak menarik perhatian. Baik itu anggota Kongres maupun media massa. Itu bisa dilihat dari acara dengar pendapat tentang masalah Tim-Tim yang disponsori oleh Senator Claiborne Pell dari Negara Bagian Rhode Island, yang banyak dihuni penduduk keturunan Portugis. Dengar pendapat yang di antaranya mengajukan Alan Nairn sebagai saksi ini ternyata hanya dihadiri oleh seorang senator, Claiborne Pell sendiri. Ada juga 10 wartawan yang meliput, tapi esoknya tak satu pun koran yang memuat berita soal itu. Bahkan ingar-bingar kapal Lusitania Expresso pun tak mendapat porsi di media Amerika. "Sori, kami lebih sibuk meliput Perundingan Damai Timur Tengah," kata seorang staf kantor berita Federal News Service. Tampaknya, sebentar lagi seluruh cerita tentang Dili akan memasuki epilog. Tinggal satu lagi tugas dari Pak Harto kepada Panglima ABRI, Jenderal Try Sutrisno, yang masih belum diumumkan hasilnya. Pekerjaan ini memang terhitung sulit, mencari tahu nasib 90 orang yang dinyatakan hilang oleh Komisi Penyelidik Nasional. Yopie Hidayat, Bambang H.S. (Jakarta), Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini