SRI Bintang Pamungkas, 50 tahun, masih menjadi bintang di Partai Persatuan Pembangunan. Selasa pekan lalu, anggota DPR yang dikenal bersuara lantang itu akhirnya menemui Ketua Fraksi PPP Hamzah Haz di ruang pimpinan fraksi, setelah beberapa hari sebelumnya berkeras tak mau datang kendati sudah dipanggil. Pertemuan itu membahas sikap Bintang yang dinilai menyinggung para menteri yang menjadi mitra kerja DPR -- seperti walk out dari ruang sidang tanpa menunggu pertanyaannya dijawab menteri. Bintang juga dituduh telah mengeluarkan sejumlah pernyataan politik yang melenceng dari garis partai, misalnya soal dwifungsi ABRI. Begitu keluar dari ruangan yang, konon, suasananya seperti ''pengadilan'' itu, Bintang tampak santai. Pegawai negeri yang berkarier sebagai dosen di UI itu hanya sempat berkomentar, sebagai kader partai, pernyataan politik yang dibuatnya seharusnya tak membahayakan partai. ''Tapi saya tak merasa dikebiri. Dan saya juga harus meningkatkan citra partai,'' kata doktor ekonomi lulusan Iowa State University itu. Lalu, apa sebenarnya pendapat Bintang tentang partainya, lembaga DPR, dan dwifungsi ABRI, yang sempat bikin geger pimpinan PPP itu? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan TEMPO Nunik Iswardhani, di kediamannya, Jumat petang pekan lalu: Anda dikatakan telah melanggar rambu partai hingga dipanggil pimpinan fraksi. Maksudnya apa? Dalam pertemuan itu sebenarnya tak jelas juga disebut. Bagi saya, sebenarnya rambu itu ya AD/ART. Tapi belakangan saya mendapat background yang intinya bahwa rambu itu adalah dua hal yang selama ini saya singgung dengan keras, yaitu soal dwifungsi dan presiden. Kalau soal itu, sejak kampanye pemilu lalu sebenarnya sudah saya langgar. Saya tak tahu kalau ''rambu'' itu sudah ada dalam muktamar partai. Waktu kampanye lalu saya bilang calon presiden mesti lebih dari satu, dan militer harus berdiri di atas semua golongan. Malam harinya ada surat dari partai yang menyatakan bahwa saya dilarang kampanye hingga selesai pemilu. Saya pikir, pemerintah saja tak mencekal, kok partai justru melakukan. Setelah pemanggilan itu, apakah Anda kecewa akan pimpinan partai Anda? Sejak awal, saya sudah tahu nantinya akan menghadapi berbagai kendala. Jadi, bagi saya, ini wajar-wajar saja. Dalam hal ini saya selalu mencita-citakan agar kedua wadah saya, partai dan DPR, bisa berubah. Lewat pengalaman, saya jadi sadar bahwa orang di partai saya, termasuk pimpinannya, masih terpaku pada pola pikir masa kini dan masa lalu. Begitu juga dengan mereka yang ada di eksekutif dan legislatif. Ada yang menginginkan perubahan, tapi masih setengah-setengah. Partai saya tampaknya belum canggih dalam menciptakan mekanisme untuk menyelesaikan masalah beda pendapat. Contohnya, ya, kasus saya. Masa, pemanggilan dilakukan lewat koran. Saya sih tidak kecewa. Kedua, saya melihat ada tekanan dari pihak luar terhadap partai. Ketiga, di dalam partai pun ada perbedaan kepentingan antara pemikiran masa lalu, masa kini, dan yang berorientasi ke masa depan. Ya, semacam kesenjangan antargenerasi lah. Mengapa Anda bicara keras, bahkan pernah walk out, dalam sidang-sidang di DPR? Ya, coba lihat saja. Kita ini semua serius, eh, Mar'ie Muhammad hanya ketawa-ketawa. Dia pikir semuanya itu enteng saja. Masa, hanya dengan Rp 20 juta untuk tiap desa tertinggal, kemiskinan bisa dientaskan. Itu kan sama saja menggarami laut. Soal walk out, saya melihatnya sebagai sikap politik. Jadi, tak akan mengaitkan dengan adat ketimuran dan sopan santun segala macam. Saya lihat, kedaulatan tak lagi di tangan rakyat, tapi di tangan penguasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini