TELUR busuk tampaknya kini merupakan komoditi terbaru di pasar politik nasional. Adalah Naro, Ketua Umum PPP, yang pertama kali melansir julukan yang diperuntukkan bagi warganya yang hengkang dari partai. "Biar saja telur busuk itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang (PPP) yang baik ini malah akan merusakkan telur-telur lain yang masih bagus," ujar Naro ketika berpidato di resepsi HUT ke-14 PPP di Bandung, Minggu pekan silam. Istilah telur busuk awal-nya dicetuskan di Medan ketika Naro berpidato di ibu ' kota Sum-Ut minggu pertama bulan ini. Hingga pekan ini sudah tiga kali pidato Naro di Palembang, Bandung, dan Surabaya bertopik serupa. Agaknya ia merasa sudah saatnya untuk menangkal besarnya arus warganya yang berpindah keranjang. Soalnya, telur-telur yang mencari induk baru itu kini justru disponsori organisasi yang sebelumnya merupakan unsur pendukung PPP. NU, sejak Muktamar Situbondo 1985, telah bersikap mengapungkan massa pendukungnya. Tekad membebaskan warganya dari ikatan organisatoris dengan PPP juga ditempuh SI (Syarikat Islam) dan MI (Muslimin Indonesia) bulan lalu. Banyak kalangan menduga, gejala pembelotan sistematis ini akan sangat mempengaruhi perolehan kursi PPP dalam pemilu mendatang. NU merupakan organisasi yang paling getol mengajak warganya mencari kiblat baru. Misalnya yang terjadi pekan silam. Tiga ribu warga PDI di Gelanggang Remaja Surabaya pekan lalu menyambut hangat kehadiran Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, di "pengajian" mereka. Didampingi Ketua Umum PDI Soerjadi, Gus Dur yang disambut lagu salawat Nabi menegaskan, "NU sudah ucul-cul, sudah lepas-pas dari PPP. Hubungan itu itu kini sudah pisah-sah, sudah pegat-gat." Warga banteng bertepuk riuh dan berkali-kali meneriakkan, "Hidup Gus Dur ... Hidup Gus Dur ... Hidup PDI." Memperjelas maksudnya, Abdurrahman mengutip fatwa Rais Am Syuriah K.H. Achmad Siddiq yang tak mewajibkan warganya mencoblos NU, tak haram nusuk Golkar, dan boleh pilih PDI. "Kalau ada warga NU yang aktif di PDI, saya pribadi mendukung," katanya yang disambut tempik sorak membahana. "Pembusukan" telur seperti itu jelas tak disukai kalangan PPP. Meski tak diakui, lemparan "telur busuk" Naro memang diarahkan ke NU. "Yang dimaksud Naro telur busuk itu yang mana?" ujar Mahbub Djunaidi, salah seorang ketua PB NU. Yang keluar dari Daftar Calon DPR atau yang hengkang dari partai. "Bila yang dimaksud orang yang keluar dari PPP, alangkah banyaknya telur busuk itu. Sebab, yang keluar itu warga NU," ujar kolumnis itu. Naro tentu tak sependapat dengan Mahbub. Ia memperkirakan jumlah "telur husuk" itu, "Hanya sekitar 200 ribu orang. Cuma setengah kursi DPR pusat." Benarkah? Kalau pemantauan PBNU Sum-Ut boleh dipegang, agaknya Naro terlalu optimistis. Menurut Marah Halim Siregar, Ketua Umum NU wilayah Sum-Ut, dari sejuta warganya yang terdaftar di bagian utara Sumatera itu diperkirakan 600 ribu menyatakan keluar dari PPP. Di Jawa Timur daerah basis NU, diduga jutaan warga NU berbondong-bondong hengkang meninggalkan PPP. Tentu saja PPP berusaha menahan eksodus itu dengan berbagai cara. Misalnya dengan mencalonkan para ulama, yang sempat ramai dengan kasus K.H. Syansuri Badawy dari Pondok Tebuireng. Salah satu cara yang menjengkelkan orang NU adalah dibawanya nama K.H. As'ad Syamsul Arifin, Mustasyar Am (Penasihat) NU. "Juru pidato PPP mengatakan seolah-olah Kiai masih PPP. Mereka bahkan menyebar cerita, Kiai bertemu dengan Rasullullah dan sebelah dadanya ada gambar bintangnya. Ini sudah keterlaluan," ujar seorang tokoh NU yang anti-Naro. Di sela-sela perang telur busuk itu, muncul suara bijaksana dari kubu ulama di Jember. Akhir pekan lalu 15 anggota pengurus teras Syuriah dan Tanfidziah beserta dua orang mustasyar NU mengevaluasi proses hasil Muktamar Situbondo. Menurut Rais Am K.H. Achmad Siddiq, dari rapat yang seru dan perbedaan paham antara yang anti dan pro PPP maupun Golkar itu, pertemuan menyimpulkan, "Dalam menentukan pilihan dalam pemilu besok, tak boleh mengganggu persatuan dan kesatuan nasional." Inilah suara NU yang terdengar lebih netral dibanding sebelumnya. Abdurrahman Wahid sendiri cenderung membagi "telur" NU bagi yang lemah. "Golkar 'kan pasti menang, tak perlu dibantu," ujarnya. PDI? "Partai ini 'kan kecil, kayak anak yatim. Wajar kalau mengharap warga NU mendukung PDI." A. Luqman, Laporan Choirul Anam (Surabaya) & Aji Abdul Gofar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini