TUBUH bis itu robek-robek. Lalu tersangkut di pagar jembatan.
Dari 50 orang penumpang, 23 orang di antaranya meninggal.
Sisanya luka berat dan ringan.
Itu terjadi awal bulan ini, ketika bis Turangga jurusan
Jakarta-Bandung menabrak pagar jembatan Sungai Cikundul, di
jalan raya Cimacan, Cianjur, Jawa Barat. Menurut beberapa
penumpang yang selamat, kecelakaan itu terjadi karena persneling
tak berfungsi dan rem blong, tepat di jalan menurun.
Namun tak dapat disangkal, saat-saat menjelang kejadian itu bis
tadi berlari dengan kencang. (Lihat box). Sehingga musibah itu
mengklopkan tiga faktor penyebab kecelakaan -- sopir yang
ngebut, kendaraan yang tak memenuhi syarat dan tempat yang
kurang menguntungkan -- seperti diungkapkan Kapolri Awaloedin
Djamin pada seminar lalulinus pertengahan Maret di Yogya.
Dalam seminar itu, Pangkopkamtib Sudomo bahkan menyebut faktor
manusia (sopir) sebagai penyebab utama. Memperkuat pendapat
ini, Kapolri menambahkan pengemudi yang berusia 17 - 35 tahun
paling banyak mengalami kecelakaan lalu-lintas. Hal itu menurut
Awaloedin karena mereka lebih agresif. "Selain kurang matang,
ada tekanan kejiwaan pada waktu mereka berada di belakang
kemudi," kata Awaloedin.
Undang-Undang
Statistik yang diungkapkan Kapolri memang mendukung jumlah
kecelakaan yang banyak terjadi. Dalam lima tahun terakhir,
jumlah kendaraan bermotor rata-rata meningkat 18% setahun, tanpa
disertai penambahan panjang jalan yang relatif seimbang. Karena
itu kecelakaan setiap tahun rau-rata meningkat 8% -- setiap
hari rata-rata 30 orang meninggal di jalan karena kecelakaan
lalu-lintas.
Dari pihak lain, undang-undang lalulintas yang ada ternyata
masih mengandung berbagai kelemahan. Menurut Kapolri, UU No.
3/1965 tentang lalulintas dan angkutan jalan raya sedikit
sekali mengatur segi keamanan. Peraturan pelaksanaannya pun
buatan tahun 1936. "Situasi lalu-lintas pada waktu itu tentu
berbeda dengan keadaan dewasa ini," kata Awaloedin.
Di beberapa daerah kekurangan se perti itu masih ditambah
dengan kekurangan tenaga polantas. Daerah Istimewa Yogyakarta
yang terdiri dari satu kotamadya dan empat kabupaten hanya
ditangani 49 Polantas. Di Sumatera Utara hanya tersedia 44
polantas. Meskipun di setiap daerah, polantas selalu dibantu
oleh banpol (pembantu polisi), masih tetap belum mencukupi.
Gambaran kekurangan tenaga polantas di Sumatera Barat lebih
jelas lagi. Di Kodak III ini hanya ada 238 polantas untuk
sekitar 7.000 kendaraan yang berlalu-lalang di jalan-jalan
sepanjang hampir 2.000 kilometer. Di daerah ini berarti seorang
polantas wajib mengurus 300 lebih kendaraan dan mengawasi jalan
sekitar tujuh kilometer. Padahal di provinsi ini tak kurang dari
10 tempat rawan yang sering menimbulkan kecelakaan lalu-lintas.
Di Sum-Bar pula, kecepatan tinggi merupakan faktor penyebab
kecelakaan. Tahun lalu seperempat dari jumlah kecelakaan yang
terjadi di sana disebabkan sopir yang ngebut. Kecelakaan jenis
ini pula yang meminU paling banyak korban meninggal. "Dan itu
jelas karena faktor pengemudi juga," kata Kepala Seksi Lantas
Kodak III, Mayor Pol. Drs. Agus Saleh.
Selain pengemudi, kecelakaan dapat pula disebabkan kecerobohan
pengusaha bis. Misalnya terlambat melakukan uji coba terhadap
bisnya, satu hal yang sebenarnya mudah dilakukan dengan biaya
ringan.
Tapi kalau terjadi kecelakaan, biasanya memang sopir juga yang
menjadi kambing hitam. "Padahal banyak juga sopir yang baik,
meskipun tak sedikit yang suka seenaknya sendiri," kata B.
Tobing, sopir bis yang selama 10 tahun menjalani trayek
Medan-Padang. Selama ini ia belum pernah celaka. "Resepnya yakin
dan berhati-hati," katanya.
Berbuat Lagi
Seorang pengemudi truk di Padang, Ikrar, mengakui memang
sopirlah biang keladi kecelakaan. "Sopir yang ngebut mula-mula
tidak menyadari bahaya. Apalagi kalau kendaraannya baru dan
jalan pun mulus. Tapi begitu berhadapan dengan bahaya, baru
sadar. Namun bisanya di belakang hari lupa, lalu berbuat lagi,"
katanya.
Sopir bis Bintang Terang F-44-FY yang berpangkalan di Terminal
Cililitan, Jakarta, merasa tidak pernah ngebut. Menjalani trayek
Jakarta-Leuwiliang (sekitar 70 km) ia mengaku selalu membawa bis
dengan kecepatan 60 km per jam.
Ia mengakui jalan jurusan Jakarta-Bandung memang paling sering
terjadi kecelakaan. "Itu bukan karena sopir ngebut, tapi karena
kondisi jalannya berbahaya. Naik-turun," katanya. "sopir yang
tidak berpengalaman pasti main rem terus, hingga lama-lama rem
panas dan bisa blong. Saya selalu main persneling saja."
Pak Ompong, 62 tahun, sopir bis Mandala Sari, mengaku belum
pernah mengalami kecelakaan. Sejak berusia 20 tahun ia sudah
bertugas di belakang kemudi bis dan berkali-kali pindah
perusahaan. Pernah menjalani trayek Jakarta-Bandung dan trayek
Medan dan sekitarnya. "Di sekitar Medan jalannya lebih berbahaya
daripada Jakarta-Bandung, tapi saya tidak apa-apa," katanya.
Mandala Sari yang dibawanya sekarang mengambil jurusan
Jakarta-Pemalang, yang ditempuh selama 6 jam. Menurut Pak
Ompong, sesungguhnya tidak ada sopir yang mengantuk. "Begitu
duduk di belakang kemudi, rasa kantuk itu hilang. Di luar bis
saya malah ngantuk," tambahnya. Mengapa banyak kecelakaan karena
rem blong? "Biasanya kalau sudah terjadi, ada-ada saja
alasannya," jawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini