Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wastomi Suhari, Ketua Organisasi Angkutan Darat Surabaya, memperlihatkan selembar salinan permintaan visum et repertum yang ditujukan ke Puskesmas Sedati, Sidoarjo. Tertanggal 13 Juli 2013 dan diteken kepala kepolisian sektor setempat, visum itu dibutuhkan untuk melengkapi bukti pengaduan Semedi, 43 tahun, petugas lapangan Orenz Taxi, Surabaya.
Dalam laporannya ke polisi, Semedi mengaku dipukul dengan tangan kosong oleh petugas keamanan Taksi Prima di depan terminal kedatangan domestik Bandar Udara Internasional Juanda. Akibat bogem mentah itu, bagian belakang telinga kirinya robek. Namun, hingga lima bulan berselang, tindak lanjut laporan itu tidak kunjung jelas. "Polisi seperti ewuh pakewuh menindaklanjuti karena kejadiannya di wilayah Angkatan Laut," kata Wastomi, Selasa pekan lalu.
Menurut Wastomi, saat itu Semedi hendak menaikkan Iwan Hermawan, penumpang yang menjabat Branch Manager Orenz Taxi. Lantaran Semedi dianggap menyerobot antrean, petugas keamanan Taksi Prima naik pitam dan berujung pada aksi kekerasan.
PT Serasi Transportasi Nusantara, selaku perusahaan yang menaungi Orenz Taxi, sempat dua kali mengirim surat ke General Manager PT Angkasa Pura I Trikoraharjo. Isi surat, ya, melaporkan kekerasan yang dialami Semedi tadi. Namun upaya itu tak memperoleh tanggapan. "Kami sudah mengadu ke aparat berwenang, tapi tidak ada tindakan," ujar Hendro Hadimantoro, juru bicara Orenz Taxi sekaligus Ketua Kelompok Kerja Unit Taksi Organda Surabaya.
Gesekan antar-pengemudi taksi gara-gara berebut penumpang di Bandara Juanda bukan kali ini saja. Pada awal Desember lalu, misalnya, seorang lelaki bertubuh tegap yang diduga pengemudi Taksi Prima mematahkan spion kanan taksi Blue Bird. Pemicunya, "si burung biru" menaikkan penumpang di area bandara.
Aksi solidaritas sesama pengemudi Blue Bird pun pecah. Mereka memarkir taksinya di dekat pintu masuk bandara. Berbeda dengan Orenz Taxi yang mendapat keabsahan masuk bandara, Blue Bird tak termasuk taksi "resmi" bandara. Protes mereda setelah pengelola Taksi Prima berjanji mencari dan menindak sopir yang telah berbuat kasar itu. "Siapa sih yang tidak marah lahannya direbut orang lain?" kata seorang pengemudi Taksi Prima yang tak mau disebut namanya, membela tindakan rekannya.
Kepada Tempo yang menemui di ruang kerjanya, Trikoraharjo menjamin para pelaku kekerasan terhadap sopir taksi sudah ditindak. Ia meminta semua taksi mematuhi prosedur standar operasi yang dibikin Angkasa Pura sebagai panduan bekerja di bandara. Prosedur itu, antara lain, mengatur soal perizinan taksi dan rent car, tarif, sampai posisi parkir. "Kalau semua dipa-tuhi, tidak akan ada keributan," kata Tri.
Sebelum Bandara Juanda baru di Sidoarjo diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006, pengelolaan taksi bandara dimonopoli oleh Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) sejak 1979 melalui PT Prima Bahari Juanda. Primkopal mengoperasikan Taksi Prima dan Wing, yang berjumlah sekitar 500 unit.
Pada tahun itu pula Wastomi, mewakili Organda Surabaya, mengirim surat permohonan ke Angkasa Pura. Isinya permintaan agar taksi-taksi non-bandara diberi kesempatan yang sama mencari penumpang. Menurut dia, bandara baru Juanda berada di kawasan umum sehingga boleh dimasuki taksi dari luar. "Kalau bandara lama, saya maklum dengan monopoli Primkopal. Sebab, areanya termasuk kawasan basis pertahanan militer," ujar Wastomi.
Sebelum mengirim surat ke Angkasa Pura, ia mengaku telah melakukan kajian tentang kebutuhan moda transportasi di bandara. Bila disimpulkan, 20 persen penumpang pesawat yang turun di Juanda dijemput oleh keluarga dan 80 persen sisanya naik taksi atau mobil sewa. Jika dirata-rata dengan jumlah penumpang, tiap satu unit taksi harus melayani 12 rit. Namun, umumnya, taksi tersebut hanya mampu melayani delapan rit, sehingga empat rit sisanya belum terakomodasi. "Saya menghitungnya satu taksi dinaiki dua penumpang. Idealnya Juanda butuh sekitar 1.200 taksi," katanya.
Untuk mengakhiri monopoli, Wastomi mengajukan gugatan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebagai terlapor adalah PT Angkasa Pura I (terlapor I) dan Primkopal (terlapor II). Pada 30 Maret 2010, majelis hakim KPPU yang diketuai Tajuddin Noer Said memutuskan menerima gugatan Organda Surabaya. Walhasil, Angkasa Pura dan Primkopal diperintahkan membuka diri terhadap masuknya operator taksi lain.
Angkasa Pura dan Primkopal menempuh upaya kasasi ke Mahkamah Agung, tapi ditolak. Untuk melakukan putusan itu, Angkasa Pura menerapkan sistem lelang. Hasilnya, tiga perusahaan, yakni PT Serasi Transportasi Nusantara (Orenz), Merpati Wahana Taksi (Bosowa), dan Uni Ratna Gading (Gold), menjadi pemenang. Pada 1 Juli 2013, mereka mulai masuk Juanda.
Namun implementasi di lapangan tak mulus. Selain membatasi hanya 10 unit untuk tiap operator, manajemen bandara menerapkan sistem antrean. Artinya, sebelum taksi yang di depan mendapat penumpang, taksi di belakangnya tak boleh mengambil penumpang. Sistem antrean ini diprotes Organda karena dinilai tidak adil. Maklum, urut-urutannya bikin gondok juga: dua taksi terdepan adalah Prima dan Wing, baru disambung Gold, Bosowa, dan Orenz.
Bila ada penumpang yang memilih taksi urutan belakang, dia akan disuruh turun dan wajib naik taksi terdepan. Sistem antrean juga dinilai menyulitkan karena posisi tiga taksi tersebut sering di belakang bus Damri, yang juga menanti penumpang pesawat. "Penumpang tetap tidak bebas memilih," kata Abdul Halim, pembina lapangan Orenz di Bandara Juanda.
Masalah lain yang sering memicu gesekan ialah adanya taksi non-bandara yang masuk karena membawa penumpang. Menurut prosedur, taksi itu tak boleh membawa penumpang ke luar. Tapi, dengan alasan sayang menolak rezeki, mereka tetap membawa penumpang. Akhirnya timbul perselisihan, seperti yang dialami Taksi Blue Bird.
Wastomi menambahkan, terhadap taksi non-bandara yang ketahuan membawa keluar penumpang, hukuman petugas keamanan cukup keras. Selain kekerasan fisik berupa pemukulan, ada sopir yang disuruh berkeliling hingga bensinnya habis. "Dia anggota Organda, kejadiannya belum lama," katanya. Namun salah seorang petugas pengawas Taksi Prima, sebut saja Harsono, mengaku belum pernah mendengar ada hukuman keliling bandara seperti yang dikatakan Wastomi.
Kepala KPPU Perwakilan Daerah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Dendy Rahmad Sutrisno, memuji kesediaan pengelola Bandara Juanda melaksanakan putusan KPPU pusat dengan membuka diri terhadap taksi di luar Prima dan Wing. KPPU menganggap hal itu merupakan sikap legawa yang layak diapresiasi. "Itu luar biasa," katanya.
Ihwal pembatasan 10 unit dari tiga operator di luar Prima, Trikoraharjo berdalih hal itu dilakukan karena mempertimbangkan Taksi Prima yang jumlahnya sudah banyak dan lama bekerja sama dengan Juanda. Ia tak menutup kemungkinan jumlah taksi di luar Prima akan ditambah jika dibutuhkan.
Masuknya taksi non-Prima di Bandara Juanda, meski dalam jumlah terbatas, jauh lebih baik dibanding kondisi di Bandara Abdulrachman Saleh, Malang. Di bandara ini, Taksi Garuda yang dikelola Pusat Koperasi TNI Angkatan Udara berkuasa penuh. Monopoli ini dikeluhkan sejumlah pengemudi taksi di luar bandara.
Tempo belum berhasil meminta penjelasan Suharno, Kepala UPT Bandara Abdulrachman Saleh, karena ia sedang di luar kota. Pejabat pengelola bandara tak ada yang bersedia memberi penjelasan. Melalui pesan pendek, Suharno menyatakan, "Pengelolaan taksi diserahkan ke koperasi TNI AU."
Kukuh S. Wibowo, Agita S. Listyanti, M. Syaraffa (Surabaya), Eko Widianto (Malang), Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo