Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
Pencalonan Presiden

Berita Tempo Plus

Bola Buntet untuk Sang Maradona

Kiai khos NU mendukung pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Siapa "putra mahkota" yang disiapkan sebagai alternatif jika ia terganjal?

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Bola Buntet untuk Sang Maradona
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ACARA belum rampung benar ketika Kiai Ahmad Sofyan keluar dari ruang pertemuan. Paras kecut tampak di wajah kiai asal Situbondo, Jawa Timur itu. Jelas ada kegundahan di hatinya. Namun sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya ketika para kuli tinta merubung dan meminta komentarnya seputar isi pertemuan. Dikawal santri dan banser, dengan langkah gontai Kiai Sofyan langsung menuju mobil dan segera meninggalkan kompleks pesantren.

Selasa pekan lalu itu, di lantai dua kediaman K.H. Abdullah Abbas, Buntet, Cirebon, Jawa Barat, tengah berlangsung sebuah pertemuan mahapenting. Dari pagi hingga petang, 27 kiai waskita—yang dipercaya memiliki maqam (tingkat pemahaman ilmu agama—Red) paling tinggi—berkumpul untuk sebuah rapat penting. Berdatangan dari pelosok Jawa, Makassar, Kalimantan, dan Sumatera, mereka tengah berikhtiar untuk satu urusan krusial: mencari calon presiden yang pas buat warga nahdliyin dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Acara yang dikemas dengan tajuk "Silaturahmi Para Masyich (Guru)" itu dibuka dengan doa khusyuk yang langsung dipimpin Kiai Mutohar Abdurrahman, ulama paling tua dan guru tarekat asal Mranggen, Demak, Jawa Tengah.

Urusan satu ini memang terasa mendesak buat warga NU. Pemilihan presiden sudah dekat. Para kandidat dari partai di luar PKB sudah gencar "mengalap" berkah para kiai. Ada Siti Hardijanti Rukmana yang dicalonkan Partai Karya Peduli Bangsa, ada Wiranto dan Akbar Tandjung dari Golkar yang pada dua pekan lalu telah menyambangi Pondok Pesantren Al-Asy'arriyah, Wonosobo, Jawa Tengah. Sementara itu, ulama NU belum juga satu suara.

Karena itulah, 40 juta lebih "kaum sarungan" menunggu hasil pertemuan Buntet dengan penuh debar. Mereka menanti siapa presiden yang jadi pilihan kiai panutan mereka.

Jika tak ada kata pasti dari para aulia, kaum santri bisa terombang-ambing. Apalagi belakangan ini situasi seperti tak menentu. NU terbelah di antara dua kubu: yang mendukung pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden, dan yang tak menghendaki Gus Dur maju terus. Sampai-sampai kini beredar sebuah anekdot: para kiai NU tak bisa satu suara untuk urusan kursi politik, padahal selalu guyub rukun dalam soal ayat kursi.

Kubu pertama populer dengan sebutan Poros Buntet. Sedangkan faksi kedua menyebut dirinya Poros Lirboyo-Ploso. Nama yang terakhir diambil dari daerah asal para penggagasnya, yakni Kediri, Jawa Timur.

"Kami memang tidak harus selalu bersama. Lain Kiai Noer, lain Gus Dur," kata Noer Iskandar Sq., karib Gus Dur yang sekarang bersimpang jalan. Setelah pertemuan Buntet, Poros Lirboyo menggelar pertemuan "tandingan" di pondok pesantren Kiai Idris Marzuki, di Lirboyo, Jawa Timur. Dihadiri 25 kiai dari seantero Jawa, calon presiden yang datang bertandang bukanlah Abdurrahman Wahid, tapi Jenderal (Purn.) Wiranto.

Meski begitu, banyak yang meyakini keputusan Buntetlah yang akan menjadi penentu arah suara warga NU. Namun musyawarah di rumah Kiai Abdullah Abbas itu tidak serta-merta berlangsung mulus mengusung nama Abdurrahman. Di antara para kiai, yang duduk bersila di atas karpet merah ditemani penganan kue nagasari dan onde-onde, sempat terjadi perdebatan sengit. Kiai muda seperti Akrom Malibary dari Banten kukuh berpendapat bahwa Abdurrahman tak layak maju lagi dalam pentas berikut.

Namun akhirnya mayoritas suara tetap menggelinding ke arah Abdurrahman Wahid, cucu pendiri NU Mbah Hasyim Asy'ari—yang siang itu datang terlambat. Dukungan buat Gus Dur tak tertahankan lagi setelah restu disuarakan dua kiai karismatik, Abdullah Abbas sang tuan rumah dan Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Maka lahirlah deklarasi Buntet, "Calon presiden dari PKB NU pilihan ulama khos adalah Gus Dur." Tapi bunyinya tak langsung titik di situ. Sebuah kalimat "sekoci" juga disisipkan, "Jika ternyata Gus Dur mendapat ganjalan karena berbagai alasan, misalnya karena kesehatan atau Gus Dur sendiri tidak mau, ulama khos memberikan mandat ke Gus Dur untuk menentukan calon presiden."

Keputusan ini mengingatkan kembali pertemuan para kiai khos dengan pentolan Poros Tengah pada 27 September 1999. Saat itu Amien Rais dan Fuad Bawazier datang berembuk dan memohon restu para kiai untuk mencalonkan Gus Dur sebagai calon presiden. "Suasana pertemuan mirip dengan tahun 1999," ujar Anas Arsad, ketua panitia pertemuan.

Ketua Pengurus Besar NU Ahmad Bagja menjelaskan fenomena ini tak bisa dilepaskan dari tradisi NU, bahwa para kiai khos tak mau memberikan kesan tidak mendukung Abdurrahman Wahid. Penyebabnya, hampir semua pernah menjadi santri Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur. "Jadi, sekali jadi santri, selamanya tetap santri," ujar Bagja.

Lantas, siapakah nama "sang putra mahkota" yang bakal ditunjuk Abdurrahman? Beberapa nama, kata A.S. Hikam, rupanya sudah dikantongi Gus Dur. Mereka antara lain Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang baru mundur, Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan Ketua Umum PKB Alwi Shihab. "Ketiga nama itu sudah muncul sejak Musyawarah Nasional PKB Mei 2003," kata Hikam.

Sejumlah pertanda telah ditunjukkan. Belakangan, Abdurrahman kerap terlihat runtang-runtung dengan SBY—panggilan akrab Yudhoyono. Tak lama setelah SBY mengajukan surat pengunduran diri, Gus Dur pun langsung mengajaknya bertemu di Hotel Darmawangsa, Kamis malam lalu. Menurut sumber TEMPO di NU, peristiwa ini tak lepas dari hasil Pertemuan Buntet.

Anas Arsad, ketua panitia Pertemuan Buntet, pun belakangan kian akrab dengan SBY. Ditanya soal ini, meski tak tegas mengiyakan, Anas tidak membantah. Menurut dia, Pertemuan Buntet tak lebih untuk beristikharah (salat minta petunjuk) dan bermusyawarah mencari figur pemimpin terbaik. "Hadisnya: tak ada sesal di kemudian hari bagi orang yang bermusyawarah dan beristikharah," katanya.

Gus Dur lebih blak-blakan bersikap. Bolak-balik ia muji Yudhoyono. "Tiap hari saya telepon-teleponan dengan dia," katanya. Kalau Hasyim Muzadi, yang kerap diberitakan sebagai rival politiknya sekarang, dan telah disebut Taufiq Kiemas sebagai calon wakil presiden untuk disandingkan dengan Megawati? Abdurrahman mengatakan selama ini ia tak punya persoalan serius dengan Hasyim. "Bahkan, dalam setiap pertemuan, Pak Hasyim selalu mengatakan bahwa sayalah calon presiden dari kalangan NU," ujarnya.

Bola kini sudah dioper ke kaki Abdurrahman. Dan mengutip pendapat Kiai Noer Iskandar, "Gus Dur itu Maradona NU. Bisa saja pada waktu yang tepat bola itu lalu dia umpankan ke SBY, Hasyim Muzadi, atau malah langsung dia golkan sendiri."

Edy Budiyarso (Jkt) Ivansyah (Cirebon, Jawa Barat) Sunudyantoro (Surabaya)


Di Antara Dua Poros

Poros Buntet-Langitan

K.H. Abdullah Faqih
(Langitan, Tuban, Jawa Timur)

K.H.Abdullah Abbas
(Buntet, Cirebon, Jawa Barat)

K.H. Endin Fachruddin Masturo
(PP Al-Masturiyah, Sukabumi)

K.H. Anis Fuad Hasyim
(Buntet, Cirebon, Jawa Barat)

K.H.R. Cholil As'ad Syamsul Arifin
(Situbondo, Jawa Timur)

Mbah K.H. Muhaiminan Gunardo
(Parakan, Temanggung, Jawa Tengah)

K.H. Abdurrahman Khudlori
(Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah)

Mbah K.H. Muntaha
Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah)

K.H. Mukhtar Muda Nasution
(Sibuhuan, Medan, Sumatera Utara)

K.H. Turmudzi Badruddin
(Bagu, Lombok, Nusa Tenggara Barat)

K.H. Sanusi Baco
(Makassar, Sulawesi)

Poros Lirboyo-Ploso

K.H Ahmad Idris Marzuki
(Lirboyo, Kediri, Jawa Timur)

K.H. Cholil Bisri dan Mustofa Bisri
(Rembang, Jawa Tengah)

K.H. Mas Subadar
(Pasuruan, Jawa Timur)

K.H. Noer Muhammad Iskandar Sq.
(Jakarta)

K.H. Mutawakkil Alallah
(Genggong, Probolinggo, Jawa Timur)

K.H. Anwar Iskandar
(Jawa Timur)

K.H. Muchit Muzadi
(Jember, Jawa Timur)

K.H. Tawaid As'ad
(Situbondo, Jawa Timur)

K.H. Sahal Mahfud
(Kajen, Pati, Jawa Tengah)

K.H. Warsun Munawir
(Krapyak, Yogyakarta)

K.H. Djaenuddin Zazuli
(Ploso, Kediri, Jawa Timur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus