RAMALAN Menteri Pekerjaan Umum Dr ir. Purnomosidi Hajisarosa
agak jitu juga. Akhir Desember lalu sehabis melihat beberapa
daerah di Sumatera yang dilanda banjir menteri mengatakan
"giliran banjir selanjutnya adalah daerah pantai utara Pulau
Jawa." Sampai pekan lalu hal itu sudah terbukti di propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Barat.
Di Jawa bukti pertama muncul di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Tiga hari terakhir 1978 hujan memang lebat di sana. Pembantu
Bupati Nganjuk di bekas Kewedanaan Lengkong, Masduki, mengaku
sudah cemas ketika dalam dua hari hujan tidak berhenti. Penduduk
di sekitar Sungai Widas katanya sudah diperingatkan untuk siap
mengungsi. Tapi mereka tenang saja. Mereka biasa 'bermain'
banjir setiap musim hujan.
Tepat sekitar pergantian tahun air sungai melompati tanggul di
dekat muara Sungai Widas. Esok paginya tanggul itu bobol.
'Untung banjir itu datang pagi hari. Coba kalau malam, kerugian
akan lebih besar," kata pembantu Bupati Masduki.
Banjir di Kabupaten Nganjuk kali ini lain daripada yang dianggap
biasa oleh penduduk selama ini. Kerugian cukup terasa. Di
samping seorang meninggal dunia dan 25 ribu orang terpaksa
mengungsi. Nyaris 6000 hektar sawah rusak. Begitu pun 31 rumah
dan sejumlah tanaman palawija di hampir 300 hektar kebun.
Kerugian akibat banjir di Nganjuk lebih dari Rp 150 juta. Jauh
leblh besar ketimbang angka kerugian akibat musibah serupa yang
dialami beberapa kabupaten lain di propinsi yang sama hari-hari
sebelumnya. Yakni Kabupaten Lumajang, 20 Desember, sebagai
luapan sungai Besuk di Desa Sumberurip Kecamatan Pronojiwo.
Lantas di Kabupaten Pasuruan, khususnya Kecamatan Bangil 3 hari
sesudahnya. Juga di Tuban, Gresik, Bojonegoro, Jombang, Kediri
dan Sidoarjo terjadi pada hari-hari sesudah itu. Kabupaten
Bangkalan masih propinsi Jawa Timur juga kena musibah. 109 rumah
rusak -- di antaranya 53 sampai ambruk sama sekali dan seorang
penduduk luka-luka tertimpa -- karena angin puyuh.
Kota Cirebon di Jawa Barat termasuk daerah yang langka mengalami
musibah banjir. Soleh, seorang tua di Kampung Benda Kerep
Lingkungan Kalijaga di kota ini bahkan mengatakan ia mengalami
banjir di daerahnya 70 tahun lalu ketika ia masih berumur 8
tahun. Maka banjir hari Minggu pertama bulan ini dikatakannya
sebagai banjir kedua yang dialaminya selama hidupnya sampai saat
ini.
Biaya, Biaya
Adakah musibah banjir di beberapa tempat di Jawa bahkan di
beberapa daurah di Indonesia bagian barat pada musim hujan
sekali ini lebih hebat dari masa sebelumnya? Agaknya memang
begitu. Namun lebih hebat atau tidak yang menyebabkan banjir
tidak hanya soal hujan. Sekalipun curah hujan di bulan Januari
ini misalnya dikatakan orang Pusat Meteorologi dan Geofisika di
Jakarta memang di atas normal. Menurut pejabat di lembaga yang
mengumpulkan dan enganalisa data cuaca tapi enggan disebut
namanya itu "walau airnya cuma sedikit kalau selokannya
tersumbat, banjir toh akan terjadi."
Maka yang tentunya terpojok adalal orang-orang Departemen
Pekerjaan Umum. Sebab hujan besar atau kecil ternyata juga tak
jadi masalah. Toh urusan yang ditangani departemen ini sudah
bukan kelas selokan melainkan kelas sungai. Dan tentang ini
kembali masalahnya kepada soal biaya. "Pemerintah belum
mempunyai dana yang cukup besar untuk menanggulangi banjir,"
kata Suprojo Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pengairan.
Jelasnya, "dunia yang ada di Ditjen Pengairan selama 8ni relatif
kecil dibanding dengan kebunlllan untuk pengamanan sungai
tersebut," tambah Suprojo.
Ada 1.200 sungai di Indonesia yall harus dikendalikan, sekitar
50 di antaranya ada di Jawa. Namun dengan biaya amat terbatas
sudah mulai ditangani sugai-sungai Berantas, Bengawan Solo.
Citanduy dan Cimanuk. Sebab daerah-daerah di sekitar sungai ini
merupaka daerah intensif Bimas dan Inmas sert. padat
penduduknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini