KEPULAUAN Mentawai masih merana. Terpencil, sepi dan diam
karena mungkin sudah jemu berteriak. Sebagian besar dari sekitar
38.000 jiwa penduduknya masih hidup di zaman batu, tersebar di
pulau-pulau seluas 7.000 kmÿFD di Samudera Indonesia.
Tak sedikit penduduk kepulauan ini yang punya cara sendiri untuk
mengubur mayat saudaranya yang meninggal. Jenazah masih
diremas-remas di sungai hanya tinggal tulang untuk disimpan di
rumah. Malaria terus mengganas sepanjang tahun, penyakit
muntaber selalu mengancam.
Wilayah Kepulauan Mentawai adalah medan yang berat. Peckampungan
yang berarti hanya ada di ibukota kecamatan. Selebihnya penduduk
tetap tersebar di pedalaman tanpa dapat dimukimkan kembali dalam
jumlah berarti. Begitu juga pemukiman baik oleh Departemen
Sosial maupun dengan bantuan Presiden baru melibatkan sebagian
kecil dari penduduk.
Dalam waktu bersamaan kayu di pulau-pulau itu ditebang terus,
sekaligus menjadi bahan ekspor terpenting bagi Propinsi Sumatera
Barat. Tak kurang dari 400.000 hektar hutan produksi telah habis
dibagi-bagi di antara para pemegang konsesi. Tapi lebih dari
semua itu masih diragukan sudah berapa banyak warga kepulauan
ini yang sadar bahwa di daratan Sumatera sana ada Otorita Proyek
Khusus Kepulauan Mentawai (OPKM) -- sebuah badan resmi yang
mengurusi mereka.
Sebab selama 2 kali masa Pelita, lewat APBD Sumatera Barat,
investasi pembangunan di Kepulauan Mentawai hanya bernilai Rp
208 juta. Karena itu tak heran jika prasarana jalan merupakan
problem utama di sini. Di Muara Sikabaluan, ibukota kecamatan,
hanya ada jalan selebar 2 meter sepanjang km. Begitu juga di
Muara Siberut dan Sioban ibukota Kecamatan Sipora. Maka jalan
satu-satunya untuk memasuki pedalaman kawasan ini adalah melalui
anak sungai dengan motor tempel (speed boat).
Inipun tak banyak menolong. Sebab di Siberut Utara diperlukan
waktu lebih seminggu untuk mencapai satu kampung. "Kami
memerlukan waktu 10 hari lebih untuk mencapai titik pusat
berjangkitnya muntaber pertengahan tahun lalu," ungkap dr.
Firman dari Puskesmas Muara Sikabaluan. Waktu itu tim kesehatan
berkali-kali harus berganti motor tempel, naik turun bukit dan
hutan berjalan kaki sambil memanggul obat-obatan, makanan dan
kemah.
Kesulitan perhubungan begini merata hampir di seluruh kepulauan
ini. Penduduk Sipora yang ingin ke Muara Siberut harus ke Padang
dulu. Dari sini baru naik kapal perintis Babut (60 ton) yang
sejak beberapa bulan lalu beroperasi ke kota-kota kecamatan (di
Mentawai) PP dari Padang. Kapal ini membawa barang-barang
keperluan penduduk di pinggir pantai. Untuk penduduk di
pedalaman "Nyaris tak ada samasekali," kata seorang pejabat
Propinsi Sumatera Barat yang baru-baru ini menyertai rombongan
Ketua OPKM drs. Burhanuddin.
Penduduk Mentawai biasa menyambut kedatangan pejabat-pejabat
pemerintah dengan "selamat datang bajak-bajak." Artinya
bapak-bapak. Jadi bukan karena ingin mengesankan bahwa
pejabat-pejabat itu datang membawa suatu yang kurang mereka
senangi. Kesan begini biasanya mereka pendam saja. Sebab siapa
penduduk yang berani menantang jika seorang camat mengancam
"siapa yang menghalangi anakanaknya sekolah akan
dikerja-paksakan sekian hari" -- satu ancaman yang tak asing di
telinga mereka.
Kebalikan dari itu adalah cara halus yang dilakukan misi-misi
zending penyebar agama di sana. Karena itu dengan kesadaran
mereka mengirim anak-anak belajar di sekolah zending yang ada di
tiap kecamatan.
Presiden Mengangguk
Rasa kurang senang terhadap para pendatang bukan hanya karena
sikap yang dianggap mereka kurang bersahabat. Tapi juga hutan
dan hasilnya selalu dikuras pendatang (pedagang). Ini lagi: para
pejabat pemerintahan yang bertugas di sini biasanya berfungsi
ganda. Bertugas dan berdagang. Penduduk diberi rokok, pakaian
dan keperluan lain dengan imbalan hasil hutan mereka.
Pembangunan fisik di Mentawai sepanjang 2 kali Pelita baru
berujud kantor-kantor kecamatan, rumah dinas camat dan
kantor-kantor angkatan. Di pedalaman yang bisa dijangkau motor
tempel ada didirikan SD Inpres dengan keadaan yang serba
kekurangan. Selebihnya belum terjamah. Terutama di pantai barat,
tempat bermukim Suku Sakudai yang dianggap masih sangat ganas.
Kepulauan Mentawai berada di bawah kordinasi Bupati Padang
Pariaman. Sejak awal 1970 pengembangan wilayah ini ditangani
OPKM. Harun Zain ketika hendak mengakhiri masa jabatannya
sebagai Gubernur Sumatera Barat pernah mengusulkan agar Mentawai
berdiri sendiri, dengan seoran kepala daerah yang bermukim dan
terus berada di tengah penduduk kepulauan itu. Barangkali karena
itu drs. Burhanuddin, Ketua OPKM sekarang, sejak memangku
jabatannya Nopember 1978 telah 2 kali menjenguk wilayah ini
berikut pejabat-pejabat dari berbagai dinas.
Kepada Presiden dan Wakil Presiden ketika berkunjung ke Padang
belum lama ini Burhanuddin juga meminta agar Mentawai ditangani
secara khusus. Artinya tidak mungkin hanya mengandalkan dari
APBD, tapi perlu bantuan APBN. "Presiden memang
mengangguk-angguk, diharapkan beliau menyetujuinya," tutur
Burhanuddin. Tapi satu hal pasti, di Rokot (Sipora) sekarang
sedang disiapkan sebuah lapangan terbang perintis. Ini tentu
sebagian kecil permulaan saja. Kelanjutannya terserah
bajak-bajak di daratan Sumatera itu juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini