Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Yang Terkuras Dan Kerja Paksa

Sebagai daerah pengekspor kayu, nasib kepulauan Mentawai merana. Sarana perhubungan sulit, pembangunan fisik minim. Kesehatan & pendidikan penduduk masih rendah. (dh)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPULAUAN Mentawai masih merana. Terpencil, sepi dan diam karena mungkin sudah jemu berteriak. Sebagian besar dari sekitar 38.000 jiwa penduduknya masih hidup di zaman batu, tersebar di pulau-pulau seluas 7.000 kmÿFD di Samudera Indonesia. Tak sedikit penduduk kepulauan ini yang punya cara sendiri untuk mengubur mayat saudaranya yang meninggal. Jenazah masih diremas-remas di sungai hanya tinggal tulang untuk disimpan di rumah. Malaria terus mengganas sepanjang tahun, penyakit muntaber selalu mengancam. Wilayah Kepulauan Mentawai adalah medan yang berat. Peckampungan yang berarti hanya ada di ibukota kecamatan. Selebihnya penduduk tetap tersebar di pedalaman tanpa dapat dimukimkan kembali dalam jumlah berarti. Begitu juga pemukiman baik oleh Departemen Sosial maupun dengan bantuan Presiden baru melibatkan sebagian kecil dari penduduk. Dalam waktu bersamaan kayu di pulau-pulau itu ditebang terus, sekaligus menjadi bahan ekspor terpenting bagi Propinsi Sumatera Barat. Tak kurang dari 400.000 hektar hutan produksi telah habis dibagi-bagi di antara para pemegang konsesi. Tapi lebih dari semua itu masih diragukan sudah berapa banyak warga kepulauan ini yang sadar bahwa di daratan Sumatera sana ada Otorita Proyek Khusus Kepulauan Mentawai (OPKM) -- sebuah badan resmi yang mengurusi mereka. Sebab selama 2 kali masa Pelita, lewat APBD Sumatera Barat, investasi pembangunan di Kepulauan Mentawai hanya bernilai Rp 208 juta. Karena itu tak heran jika prasarana jalan merupakan problem utama di sini. Di Muara Sikabaluan, ibukota kecamatan, hanya ada jalan selebar 2 meter sepanjang km. Begitu juga di Muara Siberut dan Sioban ibukota Kecamatan Sipora. Maka jalan satu-satunya untuk memasuki pedalaman kawasan ini adalah melalui anak sungai dengan motor tempel (speed boat). Inipun tak banyak menolong. Sebab di Siberut Utara diperlukan waktu lebih seminggu untuk mencapai satu kampung. "Kami memerlukan waktu 10 hari lebih untuk mencapai titik pusat berjangkitnya muntaber pertengahan tahun lalu," ungkap dr. Firman dari Puskesmas Muara Sikabaluan. Waktu itu tim kesehatan berkali-kali harus berganti motor tempel, naik turun bukit dan hutan berjalan kaki sambil memanggul obat-obatan, makanan dan kemah. Kesulitan perhubungan begini merata hampir di seluruh kepulauan ini. Penduduk Sipora yang ingin ke Muara Siberut harus ke Padang dulu. Dari sini baru naik kapal perintis Babut (60 ton) yang sejak beberapa bulan lalu beroperasi ke kota-kota kecamatan (di Mentawai) PP dari Padang. Kapal ini membawa barang-barang keperluan penduduk di pinggir pantai. Untuk penduduk di pedalaman "Nyaris tak ada samasekali," kata seorang pejabat Propinsi Sumatera Barat yang baru-baru ini menyertai rombongan Ketua OPKM drs. Burhanuddin. Penduduk Mentawai biasa menyambut kedatangan pejabat-pejabat pemerintah dengan "selamat datang bajak-bajak." Artinya bapak-bapak. Jadi bukan karena ingin mengesankan bahwa pejabat-pejabat itu datang membawa suatu yang kurang mereka senangi. Kesan begini biasanya mereka pendam saja. Sebab siapa penduduk yang berani menantang jika seorang camat mengancam "siapa yang menghalangi anakanaknya sekolah akan dikerja-paksakan sekian hari" -- satu ancaman yang tak asing di telinga mereka. Kebalikan dari itu adalah cara halus yang dilakukan misi-misi zending penyebar agama di sana. Karena itu dengan kesadaran mereka mengirim anak-anak belajar di sekolah zending yang ada di tiap kecamatan. Presiden Mengangguk Rasa kurang senang terhadap para pendatang bukan hanya karena sikap yang dianggap mereka kurang bersahabat. Tapi juga hutan dan hasilnya selalu dikuras pendatang (pedagang). Ini lagi: para pejabat pemerintahan yang bertugas di sini biasanya berfungsi ganda. Bertugas dan berdagang. Penduduk diberi rokok, pakaian dan keperluan lain dengan imbalan hasil hutan mereka. Pembangunan fisik di Mentawai sepanjang 2 kali Pelita baru berujud kantor-kantor kecamatan, rumah dinas camat dan kantor-kantor angkatan. Di pedalaman yang bisa dijangkau motor tempel ada didirikan SD Inpres dengan keadaan yang serba kekurangan. Selebihnya belum terjamah. Terutama di pantai barat, tempat bermukim Suku Sakudai yang dianggap masih sangat ganas. Kepulauan Mentawai berada di bawah kordinasi Bupati Padang Pariaman. Sejak awal 1970 pengembangan wilayah ini ditangani OPKM. Harun Zain ketika hendak mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Sumatera Barat pernah mengusulkan agar Mentawai berdiri sendiri, dengan seoran kepala daerah yang bermukim dan terus berada di tengah penduduk kepulauan itu. Barangkali karena itu drs. Burhanuddin, Ketua OPKM sekarang, sejak memangku jabatannya Nopember 1978 telah 2 kali menjenguk wilayah ini berikut pejabat-pejabat dari berbagai dinas. Kepada Presiden dan Wakil Presiden ketika berkunjung ke Padang belum lama ini Burhanuddin juga meminta agar Mentawai ditangani secara khusus. Artinya tidak mungkin hanya mengandalkan dari APBD, tapi perlu bantuan APBN. "Presiden memang mengangguk-angguk, diharapkan beliau menyetujuinya," tutur Burhanuddin. Tapi satu hal pasti, di Rokot (Sipora) sekarang sedang disiapkan sebuah lapangan terbang perintis. Ini tentu sebagian kecil permulaan saja. Kelanjutannya terserah bajak-bajak di daratan Sumatera itu juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus