INILAH unjuk rasa yang tak lazim. Perhelatan perkawinan di rumah Kiai Musallim Ridlo di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat malam lalu, didatangi sekitar 50 anak muda NU. Mereka ingin menyampaikan protes. Tentu saja sasaran protes itu bukan perkawinan putri tunggal ulama NU itu. Yang jadi persoalan bagi anak-anak muda dari Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama tadi adalah berkumpulnya sejumlah kiai NU dan politikus asal NU yang kini duduk di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perhelatan tadi dianggap hanya kedok untuk sebuah rapat para kiai guna mematangkan langkah NU merebut kursi orang nomor satu Partai Bintang, yang kini dipegang Ismail Hasan Metareum dari unsur Muslimin Indonesia (MI). "Kami ingin para kiai tetap memegang teguh khitah 1926," ujar Imam Tabroni, pemimpin rombongan tadi. NU memang sudah menyatakan tak akan bermain politik sejak Muktamar Situbondo 1984. Ketika itu dinyatakan pula bahwa NU kembali ke garis (khitah) seperti ketika NU didirikan pada 1926: sebagai organisasi sosial keagamaan. Rupanya, para pemuda NU itu mencium bau politik di balik kemeriahan pesta kawin itu. Dan begitu acara ijab kabul usai, mereka menerobos masuk halaman rumah Kiai Ridlo untuk membacakan petisi. "Kami ingin menyampaikan aspirasi kami pada para kiai," kata Tabroni lagi. Namun, niat itu akhirnya tak kesampaian. Mereka dicegat panitia perkawinan. Tampaknya, ini gejala yang tak biasa di NU: anak muda memprotes para kiai yang biasa mereka ikuti. Tapi Kiai Ridlo, sahibul bait, membantah ada pertemuan di rumahnya. "Para tamu menghadiri perkawinan anak saya. Kalau ada orang PPP di sini, itu juga saya yang mengundang," kata anggota DPR RI dari PPP ini. Kiai Cholil Bisri, ulama kondang NU dari Rembang, juga mendukung Kiai Ridlo. Katanya, anak-anak muda itu cuma syuudhon (buruk sangka). NU tetap setia pada khitah. Tapi kalau ada anggota NU berpolitik, itu tak melanggar khitah. "Yang berpolitik kan bukan NU-nya," kata pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ini. Selain Kiai Cholil, di antara 200 undangan ada Hamzah Haz, Ketua Fraksi PP di DPR RI. Sejumlah nama yang hadir itu barangkali mengundang tanda tanya. Karena, dalam sebuah pertemuan di Taman Mini Indonesia Indah, April lalu, nama-nama tadi disebut sebagai "aktor" penting yang bertugas memuluskan jalan bagi calon NU ke kursi puncak PPP. Kiai Cholil dan Kiai Ridlo adalah dua dari lima anggota Majelis Bimbingan dan Penasihat NU yang dibentuk di Taman Mini. Tugas majelis itu: menyukseskan muktamar. Termasuk, "Soal yang penting, yaitu Ketua Umum PPP," tambah Kiai Nadhir Muhammad, keponakan kiai ternama almarhum Achmad Siddiq dari Jember, yang kali ini tak datang ke Purwokerto. Kiai Nadhir termasuk anggota majelis "Taman Mini" tadi. Tapi di akhir pertemuan ini, berembus kisah bahwa telah terjadi beda pandangan di antara hadirin yang susah disatukan. Maka, pertemuan "Taman Mini" akan disambung di Rembang, Juni mendatang, dan kemudian dilanjutkan di Pondok Tebu Ireng, Jombang. Desakan agar NU memegang tampuk pimpinan PPP terdengar makin nyaring setelah Megawati Soekarnoputri tampil di pucuk pimpinan Partai Demokrasi Indonesia, Januari lalu. Sejak itu muncul pendapat bahwa Ketua Umum PPP harus di tangan tokoh asal NU. Sekjen Dewan Pengurus Pusat PPP Matori Abdul Djalil, misalnya, berkeyakinan, kalau NU -- sebagai unsur terbesar PPP -- yang memimpin PPP, partai berlambang bintang ini akan menjadi lebih besar. Dalam Pemilu 1992, PPP hanya mendapat kenaikan satu kursi di DPR, sedangkan PDI naik 16 kursi -- walau jumlah total kursi PPP masih lebih besar ketimbang PDI. Tapi harap dicatat pula, dalam dua pemilu sebelumnya, saat PPP dipimpin oleh J. Naro, kursi PPP terus berguguran. Itu terutama karena aksi penggembosan yang dilakukan tokoh-tokoh NU. Toh sejauh ini para kiai belum punya kata sepakat tentang siapa "jago" NU kelak. Pertemuan sekitar 75 kiai NU di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Juni mendatang, barangkali akan menelurkan siapa figur NU yang akan maju "menantang" Buya Ismail Hasan Metareum. "Sekarang ini para kiai sedang istikharah, hasilnya nanti dibahas di Rembang," kata Kiai Cholil Bisri, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan. Yang jelas, ujar Kiai Cholil, Ketua Umum PPP hendaknya punya basis massa yang kuat. "Dia juga harus mendapat dukungan dari atas, dari tengah, dan dari bawah. Jadi, lebih baik Ketua Umum PPP dari NU, yang kuat di atas dan punya massa di bawah," ujarnya. Kiai Nadhir Muhammad punya kriteria yang menarik. Sang calon harus orang yang a'lam (berilmu) atau yang fasih, senior, dan segar pemikirannya. "Dia harus yang paling mungkin di antara yang baik. Tapi bukannya lantas seperti bedhes diraupi (monyet yang dibasuh mukanya)," kata Nadhir. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi (Jakarta), Heddy Lugito (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini