Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kurang Kuat untuk Pelanggaran HAM Berat

Dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi Kanjuruhan dinyatakan oleh Komnas HAM sejak awal. Namun indikasi pelanggaran HAM berat belum ditemukan.

26 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polisi menembakkan gas air mata usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang menemukan indikasi pelanggaran HAM dalam tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober lalu. Namun bukti-bukti yang ditemukan belum mengarah ke pelanggaran HAM berat. “Progresif boleh, namun kudu kuat. Kalau enggak, hanya jadi pepesan kosong dan (seperti) ngasih gula-gula ke korban,” kata komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, kemarin. “Itu menyakitkan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Anam, tuduhan pelanggaran HAM berat secara sistematis dan masif harus dibuktikan dari perencanaan pengamanan. Termasuk bila ditemukan mobilisasi pasukan yang menggunakan gas air mata. Namun argumentasi itu sangat mudah dipatahkan. Juga bila dugaan pelanggaran HAM berat hanya didasari argumentasi bahwa polisi tidak menggunakan water canon dan memilih gas air mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komnas HAM, kata Anam, bakal melakukan berbagai cara untuk menuntaskan tragedi Kanjuruhan. Tidak tertutup kemungkinan Komnas HAM membawa kasus ini ke Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Kami ada mekanisme itu dan memikirkan akan menggunakan mekanisme itu,” ucap Anam. Adapun dasar hukum yang dijadikan pijakan adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pendukung mengevakuasi penonton yang terkena gas air mata seusai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 2 Oktober 2022. REUTERS/Stringer

Kericuhan di Stadion Kanjuruhan meletus setelah pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya berakhir. Polisi awalnya menembakkan gas air mata untuk menghalau penonton yang masuk ke lapangan. Belakangan, tembakan juga dilepaskan ke tribun. Penonton panik dan berebut keluar dari stadion. Korban pun berjatuhan. Hingga kemarin tercatat sedikitnya 135 orang meninggal akibat insiden itu.

Berdasarkan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), pasukan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Samapta Kepolisian Resor Malang terus melesatkan tembakan gas air mata ke lapangan dan ke arah tribun penonton. Pada pukul 22.40 WIB, suporter berupaya membalas tembakan tersebut dengan tindakan anarkistis. Suporter juga meneriakkan kata-kata kasar kepada petugas.

Kericuhan di dalam stadion kemudian merembet ke luar stadion. Suporter merusak sedikitnya 13 kendaraan polisi. Tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil menemukan perusakan kendaraan tersebut terjadi lantaran polisi juga menembakkan gas air mata kepada penonton yang berada di luar stadion. Kondisi tersebut kian memperparah situasi. Terutama ketika penonton yang berupaya keluar dari Stadion Kanjuruhan justru dihadang dengan gas air mata. Akhirnya, banyak suporter terjebak di pintu-pintu stadion. Mereka berdesak-desakan karena polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Disusul tembakan gas air mata dari luar stadion.

Aktivis hak asasi manusia sekaligus ahli hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan tidak perlu terburu-buru menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat dalam tragedi itu. Sebab, argumentasi untuk pelanggaran itu harus dibangun dengan bukti yang kuat dan lengkap. “Terutama membuktikan adanya tindakan sengaja dan sistematis dalam pembunuhan ratusan warga sipil itu,” kata Asfinawati.

Dosen hukum pidana di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Rony Saputra, berpendapat penembakan gas air mata merupakan upaya sistematis kepolisian untuk melokalisasi massa. “Bukankah polisi tahu, ketika gas air mata ditembakkan ke arah tribun, suporter akan lari ke bawah dan keluar dari stadion,” katanya. “Tapi di luar stadion mereka juga ditembaki gas air mata.”

Karena itu, kata Rony, patut diduga polisi memang sengaja menyerang suporter secara masif dan sistematis. Apalagi polisi semestinya sudah mengetahui bahwa gas air mata tak boleh ditembakkan di dalam stadion. Ketika gas air mata terpaksa digunakan, seharusnya polisi wajib memberikan ruang bagi suporter untuk meninggalkan stadion. Namun, yang terjadi, polisi justru menyerang suporter secara brutal dari segala penjuru.

Menurut Rony, hingga hari ini, polisi belum menemukan pelaku yang memantik pelatuk senjata pelontar gas air mata ke arah lapangan dan tribun stadion. Polisi bahkan berupaya menutupi insiden itu dengan meniadakan adegan penembakan gas air mata ke tribun dalam rekonstruksi kejadian.

Rony mendesak Komnas HAM bertindak progresif dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ihwal pelanggaran HAM berat. Dia merujuk pada Pasal 7 dan 9 perihal kejahatan terhadap kemanusiaan secara sistematis dan masif. “Di dalamnya terdapat sepuluh item ketentuan dan bisa diukur kategori mana yang layak diterapkan untuk kasus Kanjuruhan.”

Petugas medis memindahkan jenazah korban Tragedi Kanjuruhan di RSUD Saiful Anwar, Kota Malang, jawa Timur, 2 Oktober 2022. ANTARA/R D Putra

Dari bukti-bukti yang sudah ditemukan Komnas HAM, Rony yakin lembaga itu semestinya dapat merekomendasikan kasus ini sebagai tragedi luar biasa atau kejahatan pelanggaran HAM berat. Apalagi diketahui bahwa polisi kerap menggunakan metode serangan gas air mata dalam pengamanan pertandingan lain atau penanganan demonstrasi.

Dalam penanganan kerusuhan, polisi juga dinilai mengabaikan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penanganan Huru-hara. Polisi tiba-tiba menembakkan gas air mata sebelum menjalankan tahapan awal, yakni perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, dan kendali senjata tumpul. “Kenapa tidak menembakkan water cannon lebih dulu?” kata Rony.

Pendapat serupa disampaikan oleh dosen hukum pidana di Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi. Menurut dia, Markas Besar Polri tidak serius mengusut tragedi yang menewaskan 135 suporter itu. “Sampai sekarang pelaku penembakan juga enggak ditangkap,” kata Fachrizal.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, menjelaskan, penyelidikan tragedi Kanjuruhan masih berjalan. Teranyar, polisi sudah memeriksa enam tersangka. “Insya Allah dalam waktu dekat berkas perkara akan segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum. Nanti akan diteliti Kejaksaan Tinggi Jatim,” kata Dedi.

Para tersangka juga telah ditahan. Penahanan dilakukan setelah pemeriksaan 93 saksi, termasuk 11 saksi ahli, 1 saksi pidana, 8 orang dari kedokteran, dan 2 ahli dari Laboratorium Forensik. Sebelumnya, polisi menetapkan enam tersangka. Di antaranya Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita; ketua panitia pelaksana pertandingan Arema FC, Abdul Haris; dan security officer Suko Sutrisno.

Tersangka lainnya adalah Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim, Ajun Komisaris Hasdarman; Kabag Ops Polres Malang, Komisaris Wahyu S.S.; dan Kasat Samapta Polres Malang, Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi. Mereka dijerat dengan Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kelalaian yang mengakibatkan orang meninggal.

AVIT HIDAYAT | EKA YUDHA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus