Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Buku agama seharga kerupuk

Penyebaran buku-buku agama islam kepelosok desa, menghasilkan omzet besar karena dijual murah. kebutuhan bacaan masyarakat desa, sama dengan makan, minum, sembahyang.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU-BUKU itu ditaruh dalam bakul. Digendong lewat pematangsawah, digelar di pasar, atau ditawarkan kepada ibu-ibu di pintu dapur. Ini adalah gambaran penyebaran buku agama sampai ke pelosok-pelosok, satu kegiatan diam-diam yang mencapai omzet sangat besar. Memang benar pendapat ang menyatakan bahwa di desa-desa, kecuali buku bacaan SD yang jumlahnya sangat sedikit, sebenarnya tidak ada bacaan apa pun kecuali buku agana. Sebab buku jenis ini merupakan kebutuhan yang hampir identik dengan makan-minum, atau sembahyang. Hampir tidak ada rumah orang Islam yang tidak menyimpan buku kecil seperti urah Yasin, Juz' Amma, cara merawat jenazah, shalat ghaib, pelajaran fiqih praktis, berbagai macam doa dan wirid dan sebangsanya, di samping tentu saja kitab Qur'an lengkap. Dan untuk jenis seperti itu, raja penerbitan boleh disebut sebagai tak lain PT Al Ma'arif, Bandung - sebagai yang terbesar dibanding rekan-rekannya seperti Menara Kudus atau Bulan Bintang, misalnya. Sebagai wakil, boleh diterakan bahwa omzet penerbit ini dalam rupiah per bulan, adalah Rp 60 juta (dengan harapan bahwa akhir tahun ini, dengan penambahan mesin, omzet bisa mencapai Rp 100 juta). Selama ini tiap tahun berhasil dipasarkan tak kurang dari 10 juta buku. Dari jumlah ini 15% (atau 75% dari omzet rupiah) adalah pencetakan Qur'an. Kitab ini dicetak sejumlah 5.000 buah sehari. Risalah-risalah kecil (dari tuntunan sembahyang sampai ta'bir mimpi) sebanyak 407O (57O omzet rupiah), buku-buku berbahasa Arab untuk pesantren dan madrasah 15% (10% omzet rupiah), dan sisanya (40% oplah) berujud buku-buku Islam universitas (100 judul), buku anak-anak dan lain-lain. Dari seluruh jenis itu, 500 judul tak pernah berhenti dicetak - sejak penerbit ini didirikan oleh HM Baharthah, dibantu oleh Abubakar MA dan ulama besar A. Hassan tahun 1949. Ini metnang penerbit swasta terbesar di Indonesia atau Asia Tenggara, dan agaknya hanya bisa ditandingi oleh Penerbit Gramedia - dari segi omzet rupiah dan bukan oplah. Yang lebih menarik: tidak pernah ada buku agama yang sisa. Bahkan Baharthah menyatakan bahwa omzet selama ini belum memenuhi permintaan masyarakat. Qur'an misalnya, Ma'arir hanya bisa mencetak 150.000 per bulan ditambah sedikit dari Departemen Agama lewat penerbit-penerbit yang dipilihnya (560.000 ex selama dua Pelita!). Padahal daya serap di Indonesia diperkirakan bisa menampung setidaknya 300.000 ex per bulan. Sampai-sampai Ma'arif bisa mengenakan sistim inden - untuk menutupi kekurangan modal - dengan kemiringan harga lebih 10% (sambil mengingat bahwa tidak ada produksi dalam negeri yang bisa pakai sistim inden). Itu dimungkinkan terutama oleh harga buku Ma'arif yang terkenal murahnya. Sebagai bandingan: Qur'an dan terjemahnya yang oleh satu penerbit biasa dikalkulasikan di atas Rp 2.000, menurut Ma'arif bisa hanya dengan Rp 1.250. Untuk Qur'an biasa Ma'arif mengenakan harga di bawah Rp 500 -- hanya Rp 325 (560 halaman, alias 60 sen perpagina). Rata-rata buku keluaran Ma'arif punya kemiringan harga 30-50% di bawah "harga normal." Yasin & Tarjamahnya misalnya, keluar dari percetakan dengan harga Rp 9 (eceran Rp 17). Teks Yasin saja, yakni yang paling banyak oplahnya, Rp 2 (eceran Rp 5). Baharthah sendiri (73 tahun), tokoh kelahiran Yaman yang tak pernah masuk sekolah apa pun, bekas kuli yang akhirnya kawin dengan wanita Aceh dan kemudian dengan nyonya Belanda, menyatakan bahwa cita-citanya sedari muda ialah: menerbitkan buku yang benar-benar bisa dijangkau rakyat, "yang tidak lebih mahal dari harga sebuah kerupuk." Untuk itu ia tidak terlalu mementingkan mutu, memang. la mengakui bahwa kekurangannya memang dalam hal disain - di samping tak pernah melakukan promosi. Tapi juga dalam hal penjilidan. Untuk yang terakhir ini alasannya: buku agama tak perlu sangat awet. Tiap orang, dan tiap anak, ingin memiliki buku-agamanya sendiri, sehingga jarang diwariskan. Kalau rusak, mereka beli lagi yang baru, makin banyak makin afdol. Tak ada buku agama yang sampai dikilokan. Afrika Timur Itulah antara lain sebabnya mengapa dunia buku agama merupakan ladang yang tak juga kecukupan air. Apalagi Al Ma'arif juga menempuh bidang yang terhitung unik: menerbithan sendiri bukubuku berbahasa Arab, klasik maupun modernj yang selama beratus tahun diimpor dari Beirut atau Kairo. Kitab-kitab klasik hasil impor berharga Rp 6.000 misalnya, disingkirkannya dengan menerbitkan sendiri kopi yang sama dengan harga Rp 2.500. Dan target penerbitan "semua kitab berbahasa Arab yang dipakai di seluruh pesantren dan madrasah" ini makin lama akan makin terpenuhi. Tak mengherankan bila importir, kalangan resmi maupun "setengah resmi" merasa dimatikan. Ia bahkan mulai mengekspor, setelah meratakan penyebaran di tanah air -meskipun baru Malaysia dan Singapura. Menurut perkiraan Baharthah, Direktur sebenarnya Malaysia saja bisa menyerap 3,5 juta buku per bulan -- "tapi kita tak punya modal." Seandainya bank, seperti dikatakannya, merupakan partner yang baik bagi penerbit, dan seandainya pemerintah tidak memperlakukan bea-masuk kertas buku sebagai barang luks, Baharthah menyatakan sudah melihat kemungkinan ekspor kita ke negeri-negeri Afrika khususnya Afrika Timur. Yakni buku-buku berbahasa Arab. "Bukan hanya buku-buku yang dikarang orang Arab. Tapi juga buku-buku ulama kita sendiri bisa ditulis dalam Bahasa Arab, dan Indonesia berangkat menjadi pengekspor buku yang bisa menyaingi Kairo dan Beirut." Dan sebagai imbangan, Ma'arif menyatakan sudah membelanjakan "berjuta-juta rupiah" bagi penterjemahan buku-buku klasik berbahasa Arab yang merupakan puncak-puncak keilmuan Islam, dan menyimpan naskah-naskah itu untuk masa-masa mendatang -- di samping mengidamkan penerbitan majalah kanak-kanak dan majalah remaja "yang tidak usah bercap Islam." Monopoli & Modal Dengan mesin-mesin bikinan sebelum 1920 plus mesin-mesin modern seharga Rp 250 juta, dengan penambahan bangunan seluas « Ha yang diharap selesai 1979 seharga Rp 500 juta, ditambah « Ha lagi buat perumahan karyawan, dan dengan bersikeras mempertahankan jumlah buruh 1.000 orang (sementara menurut kalkulasi, perusahaan penerbitan, percetakan dan penjilidan itu bisa dilayani hanya oleh 70-100 tenaga -- dengan mesin modern), dan dengan staf yang muda seperti Mustafa Makhdamy, Husein Bajerei dan Mahbub Djunaidi, ditambah satu-dua orang doktor agama serta lepasan IAIN, penerbit ini seakan tidak takut saingan apa pun. Kecuali misalnya oleh satu kekuatan monopoli yang didukung oleh kekuasaan, atau uang yang lebih besar. Tak bisa dipungkiri bahwa Ma'arif sendiri sebenarnya sudah menempuh monopoli dengan cara "mematikan persaingan sebelum lahir," yakni dengan menekan harga serendah dapat dilakukan. "Tetapi harga rendah itulah pokok kepentingan rakyat, dan di situlah ibadah saya," kata Baharthah, "dan kalau mau bersaing silakan atas dasar ini." Toh ia tampak menguatirkan kemungkinan usaha penerbit lain yang akan menguasai SD-SD dengan jalan menjual buku kepada mereka dengan sistim angsuran -- "dalam keadaan ketika tak ada penerbit lain yang bisa melakukan hal yang sama karena kekurangan modal, padahal arga buku dari penerbit itu sebenarnya tellalu tinggi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus