BUKU-BUKU itu ditaruh dalam bakul. Digendong lewat
pematangsawah, digelar di pasar, atau ditawarkan kepada ibu-ibu
di pintu dapur. Ini adalah gambaran penyebaran buku agama sampai
ke pelosok-pelosok, satu kegiatan diam-diam yang mencapai omzet
sangat besar. Memang benar pendapat ang menyatakan bahwa di
desa-desa, kecuali buku bacaan SD yang jumlahnya sangat sedikit,
sebenarnya tidak ada bacaan apa pun kecuali buku agana.
Sebab buku jenis ini merupakan kebutuhan yang hampir identik
dengan makan-minum, atau sembahyang. Hampir tidak ada rumah
orang Islam yang tidak menyimpan buku kecil seperti urah Yasin,
Juz' Amma, cara merawat jenazah, shalat ghaib, pelajaran fiqih
praktis, berbagai macam doa dan wirid dan sebangsanya, di
samping tentu saja kitab Qur'an lengkap. Dan untuk jenis seperti
itu, raja penerbitan boleh disebut sebagai tak lain PT Al
Ma'arif, Bandung - sebagai yang terbesar dibanding
rekan-rekannya seperti Menara Kudus atau Bulan Bintang,
misalnya.
Sebagai wakil, boleh diterakan bahwa omzet penerbit ini dalam
rupiah per bulan, adalah Rp 60 juta (dengan harapan bahwa akhir
tahun ini, dengan penambahan mesin, omzet bisa mencapai Rp 100
juta). Selama ini tiap tahun berhasil dipasarkan tak kurang dari
10 juta buku. Dari jumlah ini 15% (atau 75% dari omzet rupiah)
adalah pencetakan Qur'an. Kitab ini dicetak sejumlah 5.000 buah
sehari. Risalah-risalah kecil (dari tuntunan sembahyang sampai
ta'bir mimpi) sebanyak 407O (57O omzet rupiah), buku-buku
berbahasa Arab untuk pesantren dan madrasah 15% (10% omzet
rupiah), dan sisanya (40% oplah) berujud buku-buku Islam
universitas (100 judul), buku anak-anak dan lain-lain.
Dari seluruh jenis itu, 500 judul tak pernah berhenti dicetak -
sejak penerbit ini didirikan oleh HM Baharthah, dibantu oleh
Abubakar MA dan ulama besar A. Hassan tahun 1949. Ini metnang
penerbit swasta terbesar di Indonesia atau Asia Tenggara, dan
agaknya hanya bisa ditandingi oleh Penerbit Gramedia - dari segi
omzet rupiah dan bukan oplah.
Yang lebih menarik: tidak pernah ada buku agama yang sisa.
Bahkan Baharthah menyatakan bahwa omzet selama ini belum
memenuhi permintaan masyarakat. Qur'an misalnya, Ma'arir hanya
bisa mencetak 150.000 per bulan ditambah sedikit dari Departemen
Agama lewat penerbit-penerbit yang dipilihnya (560.000 ex selama
dua Pelita!). Padahal daya serap di Indonesia diperkirakan bisa
menampung setidaknya 300.000 ex per bulan. Sampai-sampai Ma'arif
bisa mengenakan sistim inden - untuk menutupi kekurangan modal -
dengan kemiringan harga lebih 10% (sambil mengingat bahwa tidak
ada produksi dalam negeri yang bisa pakai sistim inden).
Itu dimungkinkan terutama oleh harga buku Ma'arif yang terkenal
murahnya. Sebagai bandingan: Qur'an dan terjemahnya yang oleh
satu penerbit biasa dikalkulasikan di atas Rp 2.000, menurut
Ma'arif bisa hanya dengan Rp 1.250. Untuk Qur'an biasa Ma'arif
mengenakan harga di bawah Rp 500 -- hanya Rp 325 (560 halaman,
alias 60 sen perpagina). Rata-rata buku keluaran Ma'arif punya
kemiringan harga 30-50% di bawah "harga normal."
Yasin & Tarjamahnya misalnya, keluar dari percetakan dengan
harga Rp 9 (eceran Rp 17). Teks Yasin saja, yakni yang paling
banyak oplahnya, Rp 2 (eceran Rp 5). Baharthah sendiri (73
tahun), tokoh kelahiran Yaman yang tak pernah masuk sekolah apa
pun, bekas kuli yang akhirnya kawin dengan wanita Aceh dan
kemudian dengan nyonya Belanda, menyatakan bahwa cita-citanya
sedari muda ialah: menerbitkan buku yang benar-benar bisa
dijangkau rakyat, "yang tidak lebih mahal dari harga sebuah
kerupuk."
Untuk itu ia tidak terlalu mementingkan mutu, memang. la
mengakui bahwa kekurangannya memang dalam hal disain - di
samping tak pernah melakukan promosi. Tapi juga dalam hal
penjilidan. Untuk yang terakhir ini alasannya: buku agama tak
perlu sangat awet. Tiap orang, dan tiap anak, ingin memiliki
buku-agamanya sendiri, sehingga jarang diwariskan. Kalau rusak,
mereka beli lagi yang baru, makin banyak makin afdol. Tak ada
buku agama yang sampai dikilokan.
Afrika Timur
Itulah antara lain sebabnya mengapa dunia buku agama merupakan
ladang yang tak juga kecukupan air. Apalagi Al Ma'arif juga
menempuh bidang yang terhitung unik: menerbithan sendiri
bukubuku berbahasa Arab, klasik maupun modernj yang selama
beratus tahun diimpor dari Beirut atau Kairo. Kitab-kitab klasik
hasil impor berharga Rp 6.000 misalnya, disingkirkannya dengan
menerbitkan sendiri kopi yang sama dengan harga Rp 2.500.
Dan target penerbitan "semua kitab berbahasa Arab yang dipakai
di seluruh pesantren dan madrasah" ini makin lama akan makin
terpenuhi. Tak mengherankan bila importir, kalangan resmi maupun
"setengah resmi" merasa dimatikan.
Ia bahkan mulai mengekspor, setelah meratakan penyebaran di
tanah air -meskipun baru Malaysia dan Singapura. Menurut
perkiraan Baharthah, Direktur sebenarnya Malaysia saja bisa
menyerap 3,5 juta buku per bulan -- "tapi kita tak punya modal."
Seandainya bank, seperti dikatakannya, merupakan partner yang
baik bagi penerbit, dan seandainya pemerintah tidak
memperlakukan bea-masuk kertas buku sebagai barang luks,
Baharthah menyatakan sudah melihat kemungkinan ekspor kita ke
negeri-negeri Afrika khususnya Afrika Timur.
Yakni buku-buku berbahasa Arab. "Bukan hanya buku-buku yang
dikarang orang Arab. Tapi juga buku-buku ulama kita sendiri bisa
ditulis dalam Bahasa Arab, dan Indonesia berangkat menjadi
pengekspor buku yang bisa menyaingi Kairo dan Beirut." Dan
sebagai imbangan, Ma'arif menyatakan sudah membelanjakan
"berjuta-juta rupiah" bagi penterjemahan buku-buku klasik
berbahasa Arab yang merupakan puncak-puncak keilmuan Islam, dan
menyimpan naskah-naskah itu untuk masa-masa mendatang -- di
samping mengidamkan penerbitan majalah kanak-kanak dan majalah
remaja "yang tidak usah bercap Islam."
Monopoli & Modal
Dengan mesin-mesin bikinan sebelum 1920 plus mesin-mesin modern
seharga Rp 250 juta, dengan penambahan bangunan seluas « Ha yang
diharap selesai 1979 seharga Rp 500 juta, ditambah « Ha lagi buat
perumahan karyawan, dan dengan bersikeras mempertahankan jumlah
buruh 1.000 orang (sementara menurut kalkulasi, perusahaan
penerbitan, percetakan dan penjilidan itu bisa dilayani hanya
oleh 70-100 tenaga -- dengan mesin modern), dan dengan staf yang
muda seperti Mustafa Makhdamy, Husein Bajerei dan Mahbub
Djunaidi, ditambah satu-dua orang doktor agama serta lepasan
IAIN, penerbit ini seakan tidak takut saingan apa pun. Kecuali
misalnya oleh satu kekuatan monopoli yang didukung oleh
kekuasaan, atau uang yang lebih besar.
Tak bisa dipungkiri bahwa Ma'arif sendiri sebenarnya sudah
menempuh monopoli dengan cara "mematikan persaingan sebelum
lahir," yakni dengan menekan harga serendah dapat dilakukan.
"Tetapi harga rendah itulah pokok kepentingan rakyat, dan di
situlah ibadah saya," kata Baharthah, "dan kalau mau bersaing
silakan atas dasar ini." Toh ia tampak menguatirkan kemungkinan
usaha penerbit lain yang akan menguasai SD-SD dengan jalan
menjual buku kepada mereka dengan sistim angsuran -- "dalam
keadaan ketika tak ada penerbit lain yang bisa melakukan hal
yang sama karena kekurangan modal, padahal arga buku dari
penerbit itu sebenarnya tellalu tinggi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini