Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didik Durianto hampir tak pernah lepas dari depan layar komputer. Ada kerja besar yang sedang ia kebut, yaitu merevisi buku karangannya, pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas 2 dan 3 SMP. Ia berharap bisa mengejar tenggat penilaian buku teks pelajaran yang diselenggarakan Departemen Pendidikan, pertengahan Mei mendatang.
Editor buku asal Yogyakarta itu rupanya ketagihan setelah buku Aktif Berbahasa Indonesia untuk kelas 1 SMP, yang ditulisnya dengan Dewi Indrawati, lolos seleksi akhir tahun lalu. Hak ciptanya dibeli pemerintah. Kocek Didik bertambah Rp 50 juta, 25 kali lebih besar dibanding honor yang biasa ia terima. Itu sebabnya ia bergegas memperbaiki buku yang tahun lalu tidak lolos seleksi.
Upaya Didik itu untuk menjawab tantangan pemerintah, yang sejak akhir tahun lalu menggelar program pembelian hak cipta buku pelajaran sekolah dasar hingga lanjutan atas. Buku-buku itu nantinya akan dipampangkan di situs Pusat Perbukuan, www.sibi.or.id, dan boleh diunduh gratis.
Bahan pelajaran ini juga bisa dicetak dan diperdagangkan, tapi penerbit harus membayar royalti ke pemerintah. Setelah memperhitungkan biaya cetak, kertas, distribusi, dan keuntungan penerbit, Departemen Pendidikan akan menentukan semacam harga eceran tertinggi setiap buku. ”Menurut perhitungan kami, harga sampai ke konsumen hanya sekitar sepertiga dari buku biasa. Ini merupakan upaya pemerintah menyediakan buku yang lebih murah,” kata Kepala Pusat Perbukuan, Sugijanto.
Harga buku pelajaran memang menjadi masalah bertahun-tahun. Orang tua mengeluh karena diharuskan membeli banyak buku setiap tahun ajaran baru. Itu karena, untuk satu mata pelajaran, murid kadang perlu membeli tiga jenis buku: buku pokok, penunjang, dan lembar kerja siswa. Umumnya, buku itu juga hanya sekali pakai, sehingga tidak dapat digunakan oleh adik atau tetangganya pada tahun ajaran berikutnya. Padahal, sebelum tahun 1980-an, buku bisa digunakan sampai lebih dari empat tahun. Karena itu, setiap tahun ajaran baru orang tua minimal harus mengeluarkan Rp 200 ribu untuk pembelian buku.
Dalam setahun terakhir, pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) membeli buku untuk murid. Dengan jumlah BOS Rp 80 ribu per anak, setiap tahun hanya bisa dibeli tiga buku. ”Uang sebesar itu bisa untuk membeli sembilan buku dari program hak cipta,” kata Sugijanto. Jika proyek hak cipta ini jalan, buku pelajaran yang disediakan pemerintah itu bakal seperti obat generik. Kualitas sama, tapi harga di bawah buku buatan penerbit swasta.
Upaya pemerintah ini disambut baik oleh para penulis buku. Dalam seleksi pertama, tahun lalu, lebih dari 300 naskah buku masuk dan yang lolos 37 judul untuk pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dari SD sampai SMA. Pemerintah membeli hak cipta buku-buku itu selama 15 tahun dengan harga Rp 40 juta sampai Rp 60 juta. Selain Didik, beberapa penulis lain juga kecipratan rezeki. Penulis asal Bandung, Asep Dadi Permana, 30 tahun, yang bersama tiga kawannya menulis Bersahabat dengan Matematika, kebagian Rp 45 juta.
Tahun ini Pusat Perbukuan kembali menggelar seleksi pada Mei nanti untuk menjaring buku berbagai mata pelajaran, mulai dari pendidikan kewarganegaraan, bahasa Inggris, sampai pendidikan jasmani SD hingga sekolah kejuruan. Targetnya, ketika diresmikan Presiden pada Agustus mendatang, Pusat Perbukuan sudah bisa menyiapkan 300 judul.
Harga uang ganti hak cipta pun ditambah menjadi Rp 100 juta hingga Rp 175 juta. ”Jumlah ini kira-kira sama dengan royalti yang diterima penulis dari penerbit selama 15 tahun,” kata Sugijanto. Untuk proyek ini, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 28 miliar.
Meski honor yang dijanjikan seharga mobil, tidak semua penulis tergiur menyertakan bukunya. Ponijan dan Yayat Supriyatna, guru SD Pondok Kelapa 10, Jakarta Timur, menilai jumlah itu tidak lebih baik dari uang hasil royalti beberapa buku yang diterbitkannya. ”Setahun bisa mencapai Rp 50 juta,” kata Ponijan, yang bersama sejumlah temannya menulis buku pelajaran bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan sosial, dan kewarganegaraan.
Walau ada suara seperti Ponijan, pemerintah tetap optimistis akan banyak penulis dan penerbit yang mendaftarkan bukunya. ”Saya kira jumlahnya akan banyak, karena waktu persiapan sekarang lebih panjang dan honornya cukup atraktif,” kata Djemari Mardapi, Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang digandeng Pusat Perbukuan untuk menilai naskah.
Menurut Djemari, BSNP dalam menyeleksi naskah melibatkan pakar dari universitas, lembaga pendidikan, dan guru. Hasil penilaian mereka kemudian dikaji oleh tim supervisi, sebelum diputuskan layak-tidaknya. ”Untuk menjaga obyektivitas, selama penilaian tim dilarang berkomunikasi dengan pihak luar,” ujarnya.
Upaya pemerintah menyediakan buku gratis ini mendapat dukungan, hujatan, sekaligus menimbulkan kebingungan. Pengamat pendidikan Ahmad Rizali menilai terobosan itu bagus untuk mendukung pendidikan murah bagi masyarakat. ”Tapi masalahnya dari dulu kan di pelaksanaannya,” ujar Ketua Dewan Pembina Center for the Betterment of Education Jakarta ini. Ia memberikan contoh, pemerintah melarang penjualan buku oleh pihak sekolah, tapi prakteknya tetap saja sekolah menjual buku. ”Sekarang pemerintah harus bisa menjamin buku yang dipilih benar-benar bermutu, bukan hasil kongkalikong,” katanya.
Sejumlah guru kebingungan bagaimana nanti cara menggandakannya. Kalau difotokopi, harganya bisa lebih mahal dari buku di pasaran. Beberapa kalangan juga meragukan masalah kesiapan teknologi, terutama di daerah terpencil yang belum mempunyai akses Internet.
Menurut Sugijanto, penggandaan memang tidak dianjurkan dengan fotokopi, tapi dicetak, karena bisa lebih murah. ”Untuk daerah terpencil, penggandaannya bisa melalui kantor dinas pendidikan kabupaten, yang pasti sudah menggunakan Internet,” katanya.
Jika semua siap, sekolah mempunyai cukup pilihan jenis buku dalam satu mata pelajaran. Misalnya, untuk pelajaran bahasa Indonesia di SMP, setidaknya ada tiga versi buku yang sudah lolos seleksi dan siap diunduh mulai bulan depan.
Program buku generik ini tak ayal akan memukul banyak penerbit, karena itu Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menudingnya sebagai tindakan monopoli pemerintah dalam pengadaan buku. ”Kalau cuma ingin menyediakan buku murah, bisa dengan banyak cara. Misalnya mengurangi pajak buku atau mensubsidi harga kertas,” kata ketua Ikapi Setia Dharma Madjid.
Memang, pemerintah memberikan kesempatan ke penerbit untuk membuat buku proyek hak cipta itu. ”Tapi kami pasti kalah bersaing dengan percetakan yang juga bisa mengajukan diri sebagai penerbit buku pemerintah, karena umumnya penerbit tidak punya percetakan sendiri,” katanya.
Menurut Sugijanto, sebenarnya penerbit tetap bisa melanjutkan bisnisnya. ”Cetak saja buku bermutu, sekolah kan tetap bebas memilih. Kalau memang mutunya lebih bagus dari yang disediakan pemerintah, pasti laku,” katanya.
Apa pun keberatan Ikapi, lewat program buku generik ini rakyat sekarang punya pilihan untuk mendapat pendidikan yang lebih murah.
Yudono Yanuar, Erick P. Hardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo