Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buku Suci Herawati

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU kotak-kotak berkolom aktiva-pasiva itu ibarat kitab suci bagi Herawati, istri calon wakil presiden Boediono. Di lembaran buku praktek akuntansi sekolah itulah setiap hari dia mencatat lalu lintas keuangan keluarganya. ”Ibu rajin mencatat rinci perputaran keuangan di buku itu,” kata M. Ikhsan, ekonom yang dikenal dekat dengan keluarga Boediono. Di buku itu jejak perputaran harta Boediono terekam. ”Termasuk obligasi,” kata Ikhsan.

Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat harta Boediono naik 18,3 persen dalam setahun terakhir, dari Rp 18,6 miliar menjadi Rp 22,06 miliar. ”Kenaikannya wajar, tak signifikan,” kata M. Yasin, salah satu Ketua Komisi. ”Kenaikan didapat dari harga aset rumah, surat berharga, dan giro.”

Jumlah kekayaan Boediono itu akumulasi dari harta tak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp 6,4 miliar. Juga harta bergerak berupa tiga buah mobil: Rp 737,5 juta. Harta bergerak lainnya: Rp 147,5 juta. Surat berharga: Rp 1,2 miliar. Giro: Rp 13,5 miliar dan US$ 15 ribu. ”Yang penting pokok-pokoknya saja,” kata Yasin.

Dari penelusuran Tempo, melejitnya harta Boediono berasal dari kenaikan nilai jual obyek pajak sebesar Rp 600 juta serta kenaikan harga perhiasan Rp 60 juta dan deposito Rp 1,3 miliar. Juga mobil Kijang Innova baru seharga Rp 225 juta serta Obligasi Retail Indonesia (ORI) senilai Rp 1,2 miliar. ”ORI itu yang oleh KPK disebut surat berharga dan saham. Padahal saham enggak punya,” kata Ikhsan.

Soal Boediono bermain saham, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah mengaku sulit mendeteksinya. Pemain saham biasanya berinvestasi melalui broker. ”Saya tak tahu Pak Boed punya atau tidak,” kata Erry.

Sumber duit Boediono bervariasi. Menurut Ikhsan, yang paling mencolok berasal dari 17 bulan gaji Gubernur Bank Indonesia, yang mencapai Rp 3,2 miliar, dan bunga bank Rp 150 juta. Juga dari honor mantan Menteri Koordinator Perekonomian, honor mengajar di Universitas Gadjah Mada, dan royalti buku yang ditulisnya. Buku yang populer di kalangan mahasiswa di antaranya seri sinopsis yang terdiri atas Ekonomi Makro, Ekonomi Mikro, Ekonomi Moneter, Ekonomi Internasional, dan Pertumbuhan Ekonomi.

Faktor yang bikin duit Boediono awet, saat menjabat Gubernur Bank Indonesia, ia tak mengeluarkan biaya hidup sepeser pun. Rumah, listrik, dan telepon ditanggung kantornya. Untuk memenuhi kebutuhan kecil-kecil, Boediono mendapat fasilitas kartu kredit. ”Gajinya utuh. Orangnya juga hemat dan tak suka pergi-pergi,” kata Ikhsan.

Soal gaji Gubernur Bank Indonesia, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Dradjad Wibowo, mencatat Boediono mendapat Rp 150-160 juta per bulan. Jika ditotal, Mei 2008-Mei 2009, ia memperoleh Rp 1,95 miliar-2,08 miliar. ”Gaji diberikan termasuk fasilitas,” kata Dradjad.

Aset Boediono lainnya adalah rumah di kompleks Bappenas di kawasan Mampang Prapatan XX/26, Jakarta. Bangunan seluas 600 meter persegi itu sekujur pagarnya dirayapi tanaman. Halamannya penuh bunga dengan pintu ruang tamu luntur kecokelatan.

Di garasi rumah terlihat mobil Toyota Innova dan Alphard. Innova sehari-hari dipakai Herawati. Sedangkan Alphard dipinjamkan Bravo Media Center, tim sukses SBY-Boediono. Saat menjabat Gubernur Bank Indonesia, Boediono naik sedan Camry. ”Sekarang ganti naik Alphard,” kata penjaga rumah. Di rumah itu, Boediono tinggal bersama istri, dua orang pembantu, dan seorang tukang kebun.

Rumah Boediono lainnya berada di Jalan Wahidin, Kepanjen Lor, Blitar, Jawa Timur. Rumah berukuran 8 x 25 meter itu kini dikontrakkan. Rumah warisan orang tuanya itu berasal dari kakek buyut Boediono. Posisinya berdampingan dengan dua rumah yang dihuni paman dan bibinya. ”Hanya rumah itu harta Pak Boed di Blitar,” kata Bambang Heri Subeno, 54 tahun, saudara sepupu Boediono. ”Itu pun harus dibagi dengan dua adiknya karena ini harta warisan.”

Kepala Seksi Pemerintahan Kantor Kelurahan Kepanjen Lor, Supriyanto, menegaskan Boediono tak punya aset lain di Blitar. ”Harga pasaran rumah Pak Boed berkisar Rp 200-250 juta,” kata Supriyanto. Taksiran harga berpedoman pada harga tanah di kawasan itu: Rp 1,5 juta per meter persegi.

Meski tak ditempati, rumah tua itu tiap tahun turut menambah celengan Boediono. Endah Rahayu Lestari, istri Subeno, tiap tahun mengirimkan uang sewa Rp 3 juta ke Jakarta. ”Seluruh uang sewa kami kirim ke Pak Boed,” kata Endah. ”Kami hanya dimintai tolong mengurus administrasinya.”

Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Hari Tri Wasono (Blitar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus