Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama di Kairo sebenarnya hanyalah penegasan kembali keinginannya untuk meletakkan hubungan baik dengan dunia Islam sebagai prioritas pemerintahnya. Di Kairo, Mesir, tempat yang menjadi simbol harmoni antara tradisi dan kemajuan karena merupakan pertemuan antara Afrika, Timur Tengah, dan Mediterania, dia menegaskan tekadnya dengan menyerukan dimulainya babak baru antara kedua pihak. Inilah pidato yang wujud nyatanya pasti akan terus ditagih oleh umat Islam.
Selama 55 menit berpidato pada pekan lalu itu, Obama berbicara begitu jelas dan jernih. Nadanya simpatik. Dia mengakui adanya ”tahun-tahun ketidakpercayaan” dan ”siklus kecurigaan dan perselisihan” antara Amerika dan dunia Islam. Tapi, seraya memastikan bahwa Amerika akan terus memerangi terorisme dan melanjutkan persekutuan dengan Israel, dia meminta kedua pihak melakukan ”usaha berkelanjutan… untuk saling menghormati dan mencari pengertian bersama”.
Pidato di Universitas Kairo yang disambut aplaus itu memang ditunggu-tunggu dengan antusiasme meluap. Ekspektasi tentang apa yang hendak dikatakan Obama kali ini terasa begitu tinggi, sekalipun dia sesungguhnya telah mengindikasikan niatnya membuka lembaran baru dengan Islam saat berpidato di parlemen Turki pada April lalu. Walau begitu, harus diakui pula bahwa tantangan yang dihadapinya luar biasa besar. Dia harus menepis lebih dulu kekeliruan dan prasangka buruk terhadap Amerika yang berakar dalam di banyak bagian dunia Islam.
Obama memang mengambil kesempatan untuk melakukan koreksi itu. Ia melakukannya dengan memikat. Pidato itu merepresentasikan pikirannya yang bernas. Kata-katanya memikat (di antara hadirin sampai ada yang berteriak, ”I love you!”). Dia antara lain kembali menegaskan bahwa Amerika tidak berperang dengan Islam, karena Islam juga menjadi bagian dari Amerika. Menurut dia, Amerika akan terus berusaha menjalin kerja sama yang luas berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati. Tapi apakah dia berhasil meyakinkan audiensnya—semiliar lebih muslim di seluruh dunia—bahwa Amerika kali ini tulus? Dia butuh lebih dari sekadar kata-kata.
Mula-mula harus diakui bahwa ada yang melihat pernyataan itu mengandung masalah. Alasannya, Obama berbicara tentang Islam sebagai satu entitas. Karena ada kalangan yang meyakini Islam bukan semata sebagai agama, melainkan juga sebagai gerakan politik, sudut pandang Obama itu dinilai justru bisa memperkuat ilusi bahwa Islam merupakan satu kesatuan dan tak bisa dibagi-bagi. Ilusi inilah yang dianggap ikut menjadi dasar radikalisme dan aksi kekerasan atas nama Islam.
Namun, bahkan andaikata kemajemukan Islam bisa diabaikan, dunia Islam pasti masih ingat betapa George W. Bush pun mengatakan hal yang sama dengan Obama—berulang kali sejak tragedi 11 September 2001. Selama dua periode pemerintahnya, hubungan Amerika dengan dunia Islam toh terus memburuk. Masalahnya, kebijakannyalah yang sebenarnya menjadi ukuran. Di sisi ini terlihat tindakan Bush hampir selalu bertentangan dengan kata-katanya. Kini giliran Obama untuk melakukan perbaikan.
Rintangan yang ia hadapi jauh lebih terjal ketimbang datang dan berpidato di kawasan yang dia sebut sebagai sumber masalah antara Amerika dan umat Islam itu. Sebab, kenyataannya, kebijakan Amerika bagai raksasa gendut yang lamban dan malas bergerak, sementara kepentingan Amerika tak pernah berganti, siapa pun presidennya. Yang diperlukan Obama adalah tekad kuat dan daya kepemimpinan yang berlipat-lipat.
Di titik ini ada keraguan. Beberapa langkah dan sikap Obama sendiri menjadi penyebabnya. Dalam soal Irak, misalnya, dia memang meminta penarikan pasukan Amerika. Tapi, untuk Afganistan, dia malah mengirimkan tambahan pasukan. Dia juga diam saja ketika Israel membombardir Jalur Gaza pada awal tahun ini—apa pun alasannya. Dalam pidatonya di Mesir, dia tetap menyokong keputusan Bush bahwa pejabat Amerika dilarang berhubungan dengan Hamas sampai kelompok sosial politik Palestina yang kini menguasai parlemen itu memenuhi syarat-syarat yang diajukan Amerika, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebelum daftar negatif itu menjadi panjang, Obama harus segera mewujudkan kata-katanya. Ia mesti mulai berinisiatif mencari cara untuk mengkompromikan kebijakan luar negeri Amerika dan visinya tentang perdamaian Amerika dengan Islam (termasuk, tentu saja, Israel dengan Palestina). Dalam hal ini, kredibilitas personalnya saja tak akan bisa diandalkan, apalagi ”saldo”-nya bisa menciut sewaktu-waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo