KESEMRAWUTAN tampaknyaakan mewarnai Kongres II PDI 14 - 16
Januari ini. Itu tampak dari cara mempersiapkan kongres
tersebut. Sampai Senin lalu belum tampak poster yang terpasang
atau kesibukan di pusat panitia kongres di Jalan Volley,
Senayan, Jakarta. Tiga bungkus amplop dan undangan pembukaan
kongres siang itu tampak baru dibongkar dan akan dikirim pada
Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI.
Lambatnya undangan dikirim memang diakui Sabam. "Soalnya uang
yang kami dapat baru keluar sekarang. Itupun kami dapat dari
bantuan beberapa teman," ujarnya sambil tertawa lebar. Pada
cabang-cabang di daerah, ia terpaksa mengirim telegram dan surat
kilat khusus mengundang kedatangan mereka ke Jakarta. "Bila
undangan belum diterima, mereka bisa datang langsung ke Jakarta.
Dengan senang hati DPP PDI akan menerima mereka," tambah Sabam.
Toh kedatangan para utusan itu ke Jakarta belurr. pasti menjamin
mereka akan bisa hadir dalam kongres. Mereka akan dicegat suatu
panitia mandat, yang akan meneliti siapa yang berhak mewakili
cabang atau daerah itu. Panitia mandat ini pula yang akan
menyelesaikan masalah DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dan DPC (Dewan
Pimpinan Cabang) kembar yang belum terselesaikan sampai saat
terakhir menjelang kongres. Menurut ketentuan, masing-masing
cabang mendapat satu undangan dan bisa mengirim 5 orang mewakili
masing-masing unsur.
Yang agaknya akan lebih membuat kisruh: jumlah DPC kembar yang
semula hanya 30 di antara 282 DPC PDI di seluruh Indonesia,
rupanya berkembang biak dengan cepat beberapa pekan terakhir
ini. Sebabnya: beberapa tokoh utama PDI menjelang kongres ini
sibuk menggalang kekuatan, antara lain dengan membentuk
cabang-cabang tandingan.
"Perjuangan" merebut pimpinan PDI tampaknya memang seru dan
menarik untuk ditonton. Yang paling menggebu-gebu adalah
pertarungan dalam PNI-unsur terbesar dalam PDI.
Hanya Mainan
Menjelang kongres, PDI terpecah dalam dua kelompok utama: yang
menentang kongres dan yang mendukungnya. Kelompok yang menentang
ini dikenal sebagai "Kelompok Empat" terdiri dari Usep
Ranawijaya dan A. Madjid dari unsur PNI, Ny. D. Walandouw
(Parkindo) serta Zakaria Raib (Murba). Bekas Ketua Umum PDI
Sanusi Hardjadinata serta beberapa tokoh lain tampaknya
bergabung dengan kelompok ini.
Kongres II PDI ini dianggap Kelompok Empat tidak sah karena
bertentangan dengan UU no. 3/1975 serta Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga serta Ketetapan Kongres I PDI. Dalam pernyataan
mereka 10 Desember lalu, keempat orang ini antara lain menyebut
contoh: para utusan cabang seharusnya dipilih dalam konperensi
cabang. Menurut ketentuan Anggaran Dasar, perlu lebih dulu
dibentuk Majelis Permusyawaratan Partai serta Dewan Pertimbangan
Partai. Semuanya ini belum terlaksana. Kongres seharusnya juga
tidak lagi kongres unsur sebab dalam Kongres I sudah diputuskan
unsur dianggap tidak ada lagi.
"Kalau berlawanan dengan semua ketentuan itu namanya bukan lagi
kongres, tapi hanya mainan beberapa orang saja yang
dibikin-bikin untuk tujuan manipulasi. Itu sebabnya saya menolak
dan tidak mau ikut bertanggung jawab," kata Usep dalam suatu
wawancara dengan TEMPO. Catatan: Kelompok Empat ini ternyata
tidak diundang untuk menghadiri kongres.
Sikap Kelompok Empat ini kemudian disampaikan juga pada Presiden
Soeharto seraya mengharapkan agar Presiden tidak membiarkan
kongres yang tidak sah itu berlangsung.
Namun pemerintah rupanya merestui berlangsungnya Kongres II PDI.
Itu tampak tatkala pekan lalu Presiden menerima kedatangan
Panitia Nasional Kongres PDI II di Bina Graha. Kelompok Empat
tidak ikut dalam rombongan itu. Seusai pertemuan, pada pers
Soenawar Soekowati menjelaskan, Presiden telah berjanji untuk
memberikan amanat pada pembukaan kongres.
Soenawar mengatakan, kongres II diharapkan akan merupakan
lembaran baru dalam PDI. "Pendeknya, PDI dalam kongres nanti
akan mengusahakan pemantapan di bidang politik, ideologi,
organisasi maupun personil," ujar Soenawar. Di bidang organisasi
PDI akan diubah menjadi partai kader dan bukan lagi partai massa
seperti selama ini. "Untuk itu perlu ada pemutaran strategi,"
kata Soenawar.
Panitia Nasional Kongres, menurut Soenawar, telah mempersiapkan
suatu pernyataan politik partai yang akan dikukuhkan dalam
kongres. Isinya antara lain: dukungan terus pada Orde Baru yang
mempertahankan Pancasila dan UUD 45, dukungan pada kemanunggalan
ABRI-Rakyat serta mendukung kepemimpinan nasional dengan
mekanismenya sekarang yang dipegang Presiden Soeharto.
Dalam kubu pro-kongres sendiri pertarungan keras juga terjadi.
Persaingan paling sengit untuk merebut kepemimpinan partai
terjadi di antara Isnaeni, Soenawar dan Hardjantho. Yang digarap
mereka unsur PNI di cabang-cabang. Desember lalu misalnya,
dilakukan pertemuan di Hotel Marcopolo, Jakarta, untuk
menggalang pendukung.
Pertemuan serupa yang terakhir diadakan pekan lalu di Inter
House Hotel, Kebayoran Baru. Dalam pertemuan antara unsur PNI
dari 22 daerah ini kabarnya Pangkopkamtib Sudomo diundang juga
untuk memberi pengarahan. Maksud pertemuan ialah untuk
mempersiapkan siapa nanti yang akan menjadi ketua umum dalam
kongres nanti.
Sebuah sumber mengatakan, dalam voting yang dilakukan, 12 suara
memilih Hardjantho, 4 untuk Isnaeni dan 4 untuk Soenawar.
Menurut salah seorang yang hadir hasil pemungutan suara itu
telah menimbulkan kemelut karena dianggap mengagetkan dan
"meleset dari skenario". Hingga kemudian dilakukan lagi
pemungutan suara -- kali ini secara rahasia. Caranya dengan
mengisi amplop yang diteken 5 orang pimpinan sidang:
Andjarsiswoyo, Jusuf Merukh, Marsoesi, Sardjito Darsuki dan
Alamin Krying. Hasil pemungutan suara ulangan ini sampai akhir
pekan lalu belum diketahui.
Ketiga orang calon ketua umum PDI tersebut, Isnaeni, Soenawar
dan Hardjantho kabarnya sudah disetujui pemerintah. Yang tinggal
dipersoalkan adalah urutan kedudukannya nanti. Namun ternyata
Presiden Soeharto sendiri dalam pertemuannya dengan Panitia
Nasional Kongres pekan lalu -- menurut suatu sumber, sudah
menegaskan: pimpinan nantinya terserah pada keputusan partai dan
ia tidak akan mencampuri urusan partai.
Bagaimana kans ketiga orang tadi? Masing-masing punya kelebihan
dan kekurangan. Isnaeni dianggap tokoh partai yang "mempunyai
akar", karena memulai karirnya mulai dari ranting dan cabang.
Tapi ucapannya pekan lalu bernada rendah. "Saya sudah capek
terjun di dunia politik," ujar Wakil Ketua DPR yang berusia 60
tahun itu. Ia mengaku tidak berambisi menjadi Ketua Umum PDI,
namun tidak akan menolak bila para peserta kongres memilihnya.
"Itu terserah mereka," katanya dalam suatu acara jumpa pers.
PDI Akan Jadi Apa?
Menurut seorang anggota DPP PDI, keputusan untuk tidak
mengundang Kelompok Empat dalam kongres datang dari Isnaeni.
"Seingat saya DPP belum pernah memutuskan seperti itu," ujar
anggota DPP ini. Yang dianggap cacat pada Isnaeni adalah:
kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPR pada 1977 diperolehnya
berkat dukungan Fraksi Karya Pembangunan, dan Isnaeni waktu itu
menolak perintah DPP PDI untuk menarik diri dari pencalonan itu.
Calon Ketua Umum PDI yang lain, Soenawar Soekowati yang kini
menjabat anggota DPA, belakangan ini kabarnya banyak membentuk
cabang PDI tandingan, terutama di Jawa Tengah. "Kelihatannya ia
punya kans untuk mengalahkan Isnaeni," kata seorang pendukung
Hardjantho. Alasannya, Soenawar yang profesor ini dikenal
sebagai politisi yang berpengalaman dan cukup lihai memainkan
kartunya.
Bagaimana dengan Hardjantho? "Ia mempunyai pendukung di daerah,
tapi kurang bisa memainkan kartunya," kesimpulan seorang
pendukungnya. Hardjantho, yang dikenal sebagai usahawan yang
berhasil ini mulai muncul dalam deretan atas pimpinan PNI sejak
Kongres PNI 1963 di Purwokerto. Ia dikenal juga sebagai tokoh di
belakang Kelompok Pandaan. Hardjantho juga duduk dalam panitia
mandat yang menentukan apakah seseorang bisa menjadi peserta
kongres atau tidak.
Banyak tokoh PDI yang mengelus dada melihat serunya
sikut-sikutan menjelang kongres. "Kalau karakter pimpinannya
seperti itu, lantas PDI akan menjadi apa?" keluh Santosa
onosaputro, anggota DPR dari F-PDI. "Mereka telah mengorbankan
teman sendiri untuk kepentingan pribadi mereka," kata Nyonya
Walandouw, salah seorang anggota Kelompok Empat pada TEMPO.
Suryadi, salah seorang yang dianggap golongan muda PDI, juga
melihat persiapan kongres dengan kening berkerut. "Selama 10
tahun terakhir ini, PDI sedikit demi sedikit telah kehilangan
fungsinya sebagai partai politik. Ini tidak bisa dibiarkan
berlarut, kalau masih menghendaki kehadirannya dalam kancah
politik," katanya.
Ia mengharapkan kongres bisa menjadi forum untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas. "Tapi melihat persiapan yang minim, dan
semrawut, harapan baik saya itu menjadi pertanyaan: mengapa
persiapan kongres kok justru diwarnai oleh kemelut dan
sikut-sikutan yang tidak diketahui ujung pangkalnya?" katanya.
Toh ia masih tetap punya harapan pada kongres yang berlangsung
pekan ini. Paling tidak kongres akan bisa mengakhiri eksistensi
unsur.
Kelompok Empat menjelang kongres ini rupanya juga mempersiapkan
diri. Kabarnya mereka akan melakukan oposisi, antara lain dengan
menggerakkan pendukung mereka untuk mempermasalahkan mengapa
mereka tidak diundang. Kecuali itu orang-orang dari unsur PNI
juga akan diundang untuk mengadakan kongres darurat pada hari
kedua kongres. Salah satu topik yangmungkin dibicarakan
kemungkinan bangkitnya kembali PNI.
Menurut rencana, pembukaan kongres akan dilakukan di Balai
Sidang Senayan dengan amanat Presiden yang akan dibacakan
seorang pejabat pada 14 Januari pagi. Disusul dengan pengarahan
dari Pangkopkamtib mengenai Perkembangan Politik dan Pembangunan
Nasional. Kemudian diteruskan pengarahan Mendagri mengenai
Politik Dalam Negeri dan Pemilu 1982. Hari pertama itu juga akan
disahkan tata tertib, acara kongres serta pembentukan komisi.
Hari kedua, Kamis kongres pindah ke Istora Senayan. Setelah
rapat pleno, peserta kongres dipisah menjadi 5 komisi: Politik,
Ekubang, Kesra, Pemilu dan Organisasi. Hari ketiga atau hari
terakhir kongres akan dipilih pimpinan DPP PDI untuk periode 5
tahun mendatang.
Siapa pun yang bakal terpilih, tampaknya akan mewarisi PDI yang
mungkin akan lebih pecah berkapling-kapling. Buat banyak orang
awam, keruwetan yang terus berlangsung dalam partai nomer buncit
ini mencerminkan masih belum mantapnya kehidupan politik di
Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini