Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kemajuan jepang

Sejak 25 th terakhir, orang barat kaget melihat kemajuan orang jepang dan tingkahnya yang aneh. orang jepang tidak peduli barat & timur. kata pepatah: kecuali hancurkan kebodohannya, gelap tak berfajar.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPANG mengagetkan orang Barat paling sedikit tiap 25 tahun. Sekitar tiga seperempat abad yang silam, mereka mengalahkan orang Rus. Sekitar 50 tahun yang lalu, mereka mengebom Pearl Harbor. Lalu, sejak 25 tahun terakhir ini, mereka mengirim Suzuki, sukiyaki, sandal jepit . . . Maka, tak ada bangsa yang demikian mempesonanya dewasa ini bagi orang Barat selain bangsa Jepang. Di Asia sendiri, orang memandang tetangganya di sebelah timur laut itu sonder rasa ingin tahu yang lebih. Orang India pagi-pagi sudah memutuskan bahwa orang Jepang bukanlah orang India, dan karena itu tak penting untuk dibicarakan. Orang Asia Tenggara sementara itu mereken orang Jepang sebagai orang kaya van huis uit (memang sejak dari sononya), dan karena itu tak perlu diusut. Dan orang Cina? Kini mereka memandang orang Jepang sebagai makhluk berperlengkapan Star Wars. Artinya, tak usahlah diduga sejarahnya. Walhasil, semua tak ternganga. Tapi orang Barat ternganga. Dan mereka membaca Shogun. Apa yang didapat dari novel setebal 1000 halaman lebih ini? Pertama, bahwa bangsa Jepang adalah bangsa yang sejarahnya berhenti, begitu tak ada lagi adegan percintaan (dalam bahasa Latin) antara Mariko-san dengan Anjin-san. Kedua, bahwa cinta dan hidup bisa terasa lebih indah di negeri Jepang (lebih indah dari warna aslinya), karena dosa tidak ada dan mandi cukup banyak. Dan ketiga, yang terpenting, ialah bahwa James Clavell adalah novelis yang sanggup mengarang begitu panjang hingga melupakan apa yang ditulisnya sekian bab yang lalu. Dengan kata lain, tak banyak sebenarnya yang bisa didapat dari Shogun, kecuali beberapa kata yang memperkaya khasanah bahasa Jepang anda. Misalnya Arigato, Anjin-san, Karma, neh?" *** Pada suatu ketika, di tahun 1980 terjadilah film Kagemusha. Yang membikinnya, kita semua tahu, sutradara Akira Kurosawa sendiri -- sehingga di Barat orang kagum bukan main. Bagi seorang dari Jawa, sebenarnya film Kurosawa ini tak terlalu mengagetkan. Adegan perundingan dalam istana Shingen Takeda mirip benar dengan jejer dalam wayang, begitu pula cara mengucapkan dialog serta sikap tubuh peran-perannya. Dan seperti dalam pelbagai pertunjukan wayang, ada tendensi bertele-tele. Tapi orang Bara1: terpesona oleh keganjilan yang tampil seperti misteri. Seorang penulis untuk Le Nouvel Observateur serta-merta menghubungkan adegan perang habis-habisan di bagian terakhir film dengan bunuh-dirinya pengarang Mishima. "Bunuh-diri, estetika dari kematian . . . ," tulis sang kritius dengan cerdasnya. Lalu ia pun bertanya kepada Kurosawa: "Bagaimana pendapat anda tentang kematian pengarang Mishima?" Kurosawa adalah seorang tua yang jujur. Jawabnya: "Saya tak kenal Mishima." Begitulah rupanya tak setiap perbuatan aneh orang Jepang dimengerti oleh orang Jepang. Jadi tak ada misteri luar biasa dari bangsa ini. Tapi bagaimana orang Barat bisa mengerti, setelah mereka biasa bertolak dari kepastian bahwa orang Timur lain dari orang Barat? ***** Yang menarik ialah bahwa nampaknya orang Jepang sendiri tak teramat peduli dengan perkara mana Barat mana Timur. Ke dalam bahasanya diserap begitu saja kata seperti best-seller, matches dan shock, tanpa takut bahasa itu dicap "tidak murni". Dalam film Kagemusha dengan sangat kategoris ditunjukkan kemenangan pasukan Tokugawa mereka menunggu dengan ratusan bedil datangnya para samurai musuh yang menyerbu bersenjata pedang dan tombak. Tembakan pun berdentam tak putus-putusnya, para bangsawan itu habis dan dalam kata-kata Kurosawa, feodalisme berakhir. Seorang penulis pernah membedakan nasib seorang mandarin di Cina dengan seorang samurai di Jepang dalam menghadapi perubahan teknologi. Si mandarin adalah priyayi-sarjana-pejabat. Apakah arti tehnologi modern baginya -- barang yang tak mengajarinya untuk memerintah rakyat di waktu damai? Sang samurai, sebaliknya, menggebrakkan permainan baru itu ke depan. Di akhir abad yang lampau Jepang pun menyatakan perang kepada Cina. Seorang penyair propagandanya menulis tentang negeri kuno yang harus dikalahkan itu: Kecuali kalau kita hancurkan kebodohannya Gelap di Timur tak akan berfajar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus