Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bumi berguncang di Purwosari

Bis flores yang membawa siswa smp katolik wiyana, jombang yang mengadakan perjalanan wisata ke jawa tengah, tertabrak k.a cepat di purwosari. 31 orang jadi korban dari 53 penumpang bis. (nas)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH terasa berguncang dan seperti ada petir," ucap Darman, salah seorang saksi mata tabrakan maut lalu-lintas darat terbesar hingga bulan kelima tahun ini. Kecelakaannya terjadi dini hari Kamis pekan lalu. Kereta-api cepat jurusan Pasar Senen Jakarta - Solo Balapan, meluncur dengan kecepatan 20 km per jam ke arah lintasan Jalan Slarnet Riyadi, di kawasan Purwosari. Pada saat bersamaan, satu konvoi bis Flores melewati lintasan yang sama dalam kecepatan cukup tinggi. Dua bis lepas, tapi yang ketiga dihantam loko, dan terseret sejauh lebih kurang 100 meter. Dan baru berhenti di Stasiun Purwosari dalam keadaan remuk dan koyak-moyak. 28 siswa SMP Katolik Wiyana, Jombang (Ja-Tim) yang baru saja menyelesaikan EBTA jadi korban. Juga kepala sekolah, seorang guru dan seorang kernet. Penumpang bis seluruhnya ada 53. Lainnya luka berat dan ringan. Tapi Marwan (37 tahun), sopir bis yang malang itu, justru hanya lecet. "Sopir itu sengaja diberi selamat, agar bisa memertanggungjawabkan perbuatannya di dunia ini," begitu seloroh Humas PJKA Eksploatasi Tengah Supaat. Musibah ini adalah yang ketiga di lintasan Purwosari selama tahun 1981. Dan terakhir menimpa bis Flores yang sejak berangkat dari Jombang pukul 20.00 sudah dipacu laju oleh Marwan, Karena terlalu laju, bis yang dalam formasi semula ditempatkan paling depan ini, terlalu jauh meninggalkan yang lain. Sebab itu, setelah meninggalkan Madiun, bis tersebut diharuskan berada paling belakang. Konvoi Flores dicarter SMP Katolik Wijana khusus untuk perjalanan wisata ke beberapa obyek di Jawa Tengah. Tatkala masuk Solo para pelajar di dua bis terdepan bangun dari tidur dan nyanyi beramai-ramai. "Waktu itu kecepatan kami sekitar 80 km per jam," kata Soekarno, kernet bis paling depan. Apakah karena itu mereka tidak melihat sinyal yang menyorot dari kiri kanan jalan dan yang tergantung tepat di tengah atas Jalan Slamet Riyadi? "Saya tidak melihat," ungkap Soekarno. "Yang ada hanya lampu kuning berkedip-kedip. Lampu itu tidak begitu kelihatan karena diatasnya ada lampu merkuri kuning yang sangat terang," lanjutnya. Nono, kernet bis kedua, juga memberi keterangan sama. Padahal saat itu Kadyo, 27 tahun penjaga lintasan yang berdiri di tengah jalan benar-benar telah mengangkat lampu merah -- tanda kendaraan harus berhenti. Kadyo, yang masih bujang itu, kepada pejabat PJKA mengaku tidak kuasa lagi menahan laju konvoi Flores. Dalam pada itu masinis Pranowo jauh-jauh sudah membunyikan klakson kereta. Boleh jadi raungan loko tidak terdengar sopir di dalam bis yang ramai oleh nyanyian para pelajar. Lagi pula, besar dugaan orang, sorot lampu loko dikira dari mobil yang datang dari arah berlawanan. Lintas kereta-api memang membelah jalan raya dalam garis serong. Dianggap Tidak Perlu? Tentu saja banyak hal lain mesti diperhitungkan, di samping ihwal sopir bis yang senang kejar-kejaran. Pertama-tama yang perlu dan tidak kurang ramai dipersoalkan adalah hal pintu kereta. Pintu itu tidak ada di lintasan Purwosari sejak setahun lalu. Palang pintu terakhir ditabrak truk tangki sekitar Februari tahun lalu. Untuk pengamanan sementara, PJKA memasang dua lampu sorot di kiri kanan jalan, dan satu yang tergantung di tengah-tengah. Ini pun masih ditambah tenaga Kadyo yang mengibaskan bendera merah di siang hari dan lampu di malam hari. Apakah dengan demikian pintu pengaman dianggap tidak perlu "PJKA sudah bosan membuatkan palang," keluh Supaat. Sebabnya tak lain karena palang di sana tak pernah berumur lebih dari setahun. Tiap kali hancur ditabrak mobil. Lagi pula, diingatkan Supaat, membuat palang tidak murah. Sebuah sumber PJKA menyatakan biayanya mencapai Rp 4 juta. Meskipun demikian Februari tahun lalu, PJKA mengusulkan agar dibuat jalur pemisah, dalam jarak 300 meter sebelum lintasan. Pemda Kodya Solo setuju dan menyediakan anggaran Rp 8 juta. Tapi dana itu baru tersedia tahun anggaran '81 -'82. Dan jalur pemisah itu mulai dibuat, dua hari sesudah tabrakan terjadi. Ditempatkan puluhan drum pemisah jalur, sementara jalur permanen dikerjakan. Dan itu hanya mungkin sesudah ada instruksi Gubernur Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus