Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum masih alot berdebat meski rapat sudah berlangsung tiga jam di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu pekan lalu. Jeda setengah jam untuk lobi di luar forum, politikus lintas fraksi itu hanya menyepakati penambahan 15 kursi anggota DPR.
Penambahan itu karena ada provinsi baru yang terbentuk setelah Pemilihan Umum 2014. Lima belas kursi itu disebar untuk sepuluh provinsi, dengan pengaturan sepuluh kursi oleh DPR dan sisanya oleh pemerintah. "Pembagian daerah pemilihan kami serahkan kepada tim perumus dan sinkronisasi," kata Lukman Edy dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang memimpin Panitia Khusus.
Kendati sudah disepakati, debat tak berhenti. Pemicunya tambahan alokasi kursi anggota DPR untuk Kalimantan Barat. Dalam usul pemerintah, provinsi ini hanya mendapat tambahan satu kursi. Setelah debat, provinsi ini malah mendapat dua, yang mengambil jatah satu kursi untuk Nusa Tenggara Barat.
Politikus NasDem, Johny G. Plate, menilai distribusi kursi ini tidak merata ke seluruh wilayah. Papua gagal mendapat tambahan. Menurut Johny, seharusnya pembagian kursi tak hanya berdasarkan jumlah penduduk, tapi juga luas wilayah.
Tambahan kursi hanya satu isu krusial dalam RUU yang menyatukan tiga undang-undang itu: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Diajukan sejak Oktober tahun lalu, penyatuan itu dipicu salah satunya oleh putusan Mahkamah Konstitusi agar pemilihan anggota legislatif dan presiden digelar serentak. Dalam jadwal pembahasan, rancangan ini seharusnya beres pada Mei lalu. Tapi para politikus terus berdebat dalam soal sistem pemilihan, batas perolehan suara partai (parliamentary threshold), syarat pengajuan calon presiden (presidential threshold), alokasi kursi daerah pemilihan, dan sistem konversi suara.
Karena diburu waktu, para politikus saling melobi di luar rapat Panitia Khusus. Pada Rabu dua pekan lalu, misalnya, partai dengan perolehan suara menengah berkumpul di rumah dinas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, yang memimpin Partai Amanat Nasional.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terlihat datang ke sana. Juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman, Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang, dan Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono.
Salah satu isu yang disepakati oleh partai-partai ini adalah menurunkan ambang batas pencalonan presiden menjadi 0-15 persen dari 20 persen dalam aturan lama. Artinya, mereka ingin semua partai peserta pemilu bisa mengajukan calon presiden. Partai-partai ini juga ingin sistem pemilu terbuka: anggota DPR ditentukan berdasarkan perolehan suaranya.
Edhie Baskoro mengatakan pertemuan di rumah Zulkifli itu untuk menyepakati keputusan RUU Pemilu. "Kami sepakat tak ada voting, tapi musyawarah," katanya.
Partai pendukung pemerintah tak kalah gesit. Pada Senin pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengumpulkan ketua fraksi di Wisma Nusantara, Jakarta, menjelang jam buka puasa. Pesertanya antara lain Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto, Ketua Fraksi Golkar Robert Joppy Kardinal, dan Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati.
Pertemuan itu menyepakati mereka tak mau mengurangi ambang batas pencalonan presiden. Tjahjo Kumolo mengatakan angka 20 persen atau 25 persen suara sah secara nasional muncul karena konstitusi menyatakan calon presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Berkaca pada pemilihan presiden 2014, kata Tjahjo, dengan ambang batas itu melahirkan dua calon presiden: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dia menepis kekhawatiran partai kubu rumah Zulkifli yang cemas aturan itu memunculkan calon tunggal.
Utut Adianto, yang mewakili PDI Perjuangan, ingin ambang batas pengajuan calon presiden tetap tinggi. Menurut dia, tingginya angka itu akan memicu partai politik berkoalisi sebelum pemilihan. "Sekarang memang belum mengerucut," ujarnya.
Golkar setuju dengan PDIP. Golkar, yang telah mendeklarasikan mendukung Joko Widodo kembali menjadi presiden, ingin batas itu tak diotak-atik. "Angka ini tak bisa kami kompromikan. Isu lain, mari kita diskusi," tutur Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Isu lain yang belum disepakati partai-partai adalah penyederhanaan kursi di daerah pemilihan atau district magnitude. Dalam aturan sekarang, jumlah kursi per daerah sebanyak 3-10. Golkar, kata Idrus, ingin agar jumlah tersebut dikurangi menjadi 3-8 kursi. "Sehingga nanti terjadi pengurangan jumlah partai," ucap Idrus.
Idrus memperkirakan peserta Pemilu 2019 sebanyak 15 partai. Jika alokasi kursi tetap 3-10, dia memprediksi jumlah partai di DPR tak bakal berubah. Sebaliknya, jika kursi dikurangi menjadi 3-8, otomatis jumlah partai yang meraih kursi berkurang. "Akan ada 9 partai yang tidak mendapat kursi," ujarnya.
Di luar itu, PDI Perjuangan dan Golkar ingin pemilu menggunakan sistem tertutup. Kader yang melaju ke DPR dipilih oleh partai. Menurut Idrus, sistem terbuka seperti Pemilu 2014 melahirkan anggota DPR yang kaya dan populer belaka. "Sistem tertutup juga baik untuk kaderisasi partai," Utut menimpali.
Belakangan, Golkar berkompromi dengan usul pemerintah, yakni memakai sistem pemilu terbuka secara terbatas. "Belum kami sepakati karena kami harus lapor ke pimpinan partai," kata Reni Marlinawati.
Isu krusial lain yang diperdebatkan adalah model konversi suara. Dalam aturan sekarang, sistem yang dipakai adalah kuota Hare, yang didukung oleh partai-partai menengah. Sistem ini menghitung harga kursi dengan cara membagi jumlah suara dengan total alokasi kursi.
Menurut Idrus, sebagai politikus partai nomor dua terbesar, sistem ini tidak adil karena tidak mengindahkan perimbangan jumlah kursi dengan perolehan suara. "Jumlah kursi partai yang suaranya besar bisa sama dengan partai yang suaranya kecil," tutur Idrus.
Reni berkukuh tetap mempertahankan sistem konversi model kuota Hare seperti yang berlaku sekarang. Namun PPP, kata Reni, bersedia kompromi dengan fraksi lain agar RUU Pemilu segera selesai. Idrus mengatakan mereka menawarkan sistem Sainte-Lague modifikasi--konversi jumlah kursi di DPR dengan angka pembagi tetap. "Agar penyederhanaan partai bisa dilakukan secara bertahap," ujar Idrus.
Hingga Rabu pekan lalu, perdebatan isu krusial ini tak kunjung menemukan titik temu. Politikus PDI Perjuangan, Arief Wibowo, meminta waktu agar kembali ada lobi-lobi lintas fraksi. Pendapat ini diiyakan oleh politikus PKS, Al Muzammil Yusuf. Hanya, Muzammil mengingatkan Pansus agar juga memperhatikan masa waktu pembahasan. "Mau selesai kapan?" kata Muzzamil.
Tjahjo Kumolo, politikus PDI Perjuangan, pasrah atas buntunya lobi fraksi-fraksi di parlemen. Pada Selasa pekan lalu, dia memilih tak hadir dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus RUU Pemilu. Dia beralasan ingin memberikan kesempatan politikus di DPR bersepakat tanpa campur tangan pemerintah. Rupanya, lobi-lobi pada Selasa dan Rabu malam pekan lalu juga tak menemukan kata sepakat.
Tjahjo bersiap mengeluarkan alternatif lain jika kebuntuan ini tak terpecahkan. Dia mengancam pemerintah bakal keluar dari pembahasan sehingga aturan pemilu kembali ke undang-undang lama.
Untuk mengatur soal pemilihan serentak antara pemilu presiden dan legislatif, Tjahjo mengajukan usul ada peraturan pengganti undang-undang. "Perpu saja untuk menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Wayan Agus Purnomo, Ahmad Faiz, Indri Maulidar, Arkhelaus W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo