Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bupati Pemalang Tersandung Kasus Jual-Beli Jabatan

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Pemalang.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua KPK Firli Bahuri melihat barang bukti hasil Operasi Tangkap Tangan Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Agustus 2022. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus dugaan suap jual-beli jabatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Satu di antaranya adalah Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo. "Ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KPK malam ini menyampaikan dan mengumumkan beberapa orang yang masuk dalam kategori tersangka," kata Ketua KPK Firli Bahuri di gedung KPK, semalam.

Selain Mukti Agung, tersangka lainnya adalah Komisaris Perusahaan Daerah Aneka Usaha, Adi Jumal Widodo; Pejabat Sekretaris Daerah, Slamet Masduki; Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Sugiyanto; Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemalang, Yanuarius Nitbani; serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemalang, Mohammad Saleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kasus ini, Mukti Agung dan Adi Jumal diduga sebagai orang yang menerima suap. Sedangkan pemberi suap adalah Slamet Masduki, Sugiyanto, Yanuaris Nitbani, dan Mohammad Saleh. KPK menjerat Mukti Agung dan Adi Jumal dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga melintasi kawasan Kantor Pemerintah Pemalang yang sepi usai OTT KPK Bupati Pemalang di Pemalang, Jawa Tengah, 12 Agustus 2022. ANTARA/Oky Lukmansyah

Sedangkan tersangka pemberi suap dijerat menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Untuk keperluan penyidikan, KPK menahan para tersangka selama 20 hari pertama, terhitung mulai 12 Agustus 2022. Mukti Agung ditahan di rumah tahanan Gedung Merah Putih dan Adi Jumal di rumah tahanan Kaveling C1. Adapun empat tersangka lainnya dikirim ke rumah tahanan KPK di Pomdam Jaya Guntur.

Dalam perkara ini, kata Firli, setelah dilantik menjadi bupati, Mukti Agung segera merombak dan mengatur ulang pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang. Badan Kepegawaian membuka seleksi terbuka untuk posisi jabatan pimpinan tinggi pratama. Untuk lolos seleksi, Mukti Agung diduga mewajibkan para peserta menyiapkan sejumlah uang. "Teknis penyerahan uang dilakukan melalui penyerahan tunai, lalu oleh AJW (Adi Jumal) dimasukkan ke dalam rekening banknya untuk keperluan MAW."

Adapun besaran uang yang diminta oleh Mukti Agung bervariasi, bergantung pada jenjang dan eselon yang dituju, yakni sebesar Rp 60-350 juta. "Diduga MAW melalui AJW telah menerima sejumlah uang dari beberapa ASN di Pemkab Pemalang ataupun dari pihak lain yang seluruhnya berjumlah sekitar Rp 4 miliar," ucap Firli. "Bupati juga diduga menerima uang dari pihak swasta sekitar Rp 2,1 miliar."

Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo. Foto: Pemalangkab.go.id

Sebelum menjadi bupati periode 2021-2026, Mukti Agung dikenal sebagai pengusaha yang mengelola Perusahaan Otobus Dewi Sri sejak 2002. Pria berusia 45 tahun itu mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Trisakti, Jakarta, pada 2002. Dia tercatat pernah menjabat Wakil Bupati Pemalang untuk periode 2011-2016.

Dua tahun menjadi wakil bupati, Agung melanjutkan pendidikannya. Ia mengambil pendidikan master di Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2013-2015.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan suap jabatan adalah lahan basah untuk praktik korupsi. "Praktik suap jabatan merusak birokrasi karena logika pasar masuk dalam jabatan publik,” kata Egi. “Siapa yang memberikan uang terbanyak, maka dia yang mendapat jabatan."

Praktik tersebut, kata Egi, bisa terjadi karena pemilu yang berbiaya tinggi. Kepala daerah tersangkut kasus korupsi umumnya karena ingin menebus utang saat pilkada. "Banyak kepala daerah yang berutang kepada partai, pebisnis, atau aktor lain saat pilkada."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus