HARI Jumat siang minggu lalu- 842 hari sesudah peristiwa 15
Januari dan 16 Januari 1974 - Jaksa Agung Ali Said memenuhi
janjinya membebaskan sisa tahanan yang tinggal enam orang lagi.
Mereka termasuk dalam kelompok Kembang Sepatu" begitu julukan
untuk para tahanan yang ada hubungannya dengan PNI itu.
Pembebasan itu terlambat dua minggu dari janji semula. Tapi
tidak mengurangi suasana gembira dan haru di antara para bekas
tahanan itu. Lucian Pahala, bekas tokoh Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) tidak banyak bicara ketika jaksa
Santoso Wiwoho dan Sri Husodo menyerahkan surat pembebasannya.
"Tepatnya saya ditahan selama dua tahun kurang tiga hari",
katanya singkat.
Di Losmen Jaya Jatinegara, tempat mereka ditahan, suasana nampak
lebih riang. Tiga bekas tahanan - Anak Agung Gde Oka, Lucas
Soebarto alias Baroto, dan Soewarno_A--menyambut hari pembebasan
itu dengan satu pesta makan. Hadir juga isteri Oka yang datang
dari Malang memeriahkan pesta itu.
Sementara itu dua tahanan lainnya ditemui di rumah mereka
masing-masing oleh petugas Kejaksaan Tinggi Jakarta.
Kedua-duanya -- Mardanus dan RS Poegoeh - sebelum keluarnya
surat perintah pembebasan dikenakan tahanan rumah karena
mengidap penyakit. Hingga akhir pekan lalu rumah Poegoeh dan
Mardanus silih berganti didatangi keluarga maupun teman-teman
mereka. Poegoeh hingga pekan lalu masih terbaring di tempat
tidur. Bekas pemimpin umum dan redaksi harian El-Bahar-dan yang
juga pernah menjabat Sekertaris Menteri Panglima Angkatan Laut
serta Ketua Komisi G DPRGR/MPRS memang kesehatannya nampak makin
menurun akhir-akhir ini. Sehingga petugas Kejati yang datang ke
rumahnya menemui Poegoeh di pembaringan dalam keadaan panas
badannya mencapai 38øC
Kakak Bung Karno
Ia ditahan sejak 11 Pebruari tahun 1974 menyusul peristiwa "15
Januari" - dengan tuduhan melanggar Penpres 11/1963. "Saya
dituduh ikut dan bahkan sudah bicara-bicara sebelum peristiwa 15
Januari meletus", katany kepada TEMPO hari Sabtu minggu lalu.
Padahal peristiwa itu terjadi tatkala Poegoh berada di Blitar.
"Saya istirahat ke Blitar di rumah ibu saya--kakak Bung Karno --
sejak bulan Oktober 1973", katanya. Isteri yang ditinggal di
Jakarta bersama anak-anaknya mengirim telegram ke Blitar tanggal
10 Pebruari, bahwa ia akan ditangkap.Hari itu juga ia terbang
dengan pesawat terakhir dari Surabaya dan tiba di Jakarta jam
sepuluh malam. "Besoknya jam 7 pagi saya sudah diambil petugas
Kopkamtib", tuturnya.
Malangnya penyakit darah tinggi, kolesterol tinggi, dan kencing
manis yang diidapnya sejak lama kambuh lagi di hari-hari ketika
dalam tahanan RTM Budiutomo. Berat badan yang dulu 88 kilo kini
menyusut sampai tinggal hanya 60 kilo. "Dulu tampang saya cakep,
sekarang jelek", katanya bergurau. Ia kemudian dirawat di RSPAD
selama dua bulan menyusul keadaan kesehatannya yang tambah buruk
di mana selama delapan hari delapan malam tidak bisa makan
sedikitpun. Ketiga penyakit yang diidapnya, ditambah komplikasi
syaraf kepala yang makin menyempit dan mengapur, menyebabkan
kasus Poegoeh jadi bahan pembahasan dalam kuliah kerja
dokter-dokter muda. Dan sejak Nopember tahun lalu ia pun dirawat
di rumah dalam keadaan tahanan rumah.
Priit ....
Bicara soal tuduhan yang dialamatkan kepadanya - dan ternyata
tidak terbukti--Poegoeh, 56 tahun, mengatakan bahwa para
pemeriksanya itu hanyalah "menjalankan tugas semata. Cuma
semestinya mbok dipatuhi peraturan-peraturan hukum yang sudah
tertulis". Misalnya dalam Penpres 11 ada disebutkan batas waktu
setahun penahanan dan bila tidak terbukti yang bersangkutan
harus dibebaskan. "Tapi ada hikmahnya bapak ditahan. Bacaannya
sekarang lain dibanding ketika jadi Angkatan Laut", kata
isterinya. "Selama dalam tahanan saya banyak membaca Qur'an,
Injil dan buku-buku teologi lainnya", ujar Poegoeh. "Priitt . .
. tak usah tanya yang lain", katanya ketika ditanya pendapatnya
tentang keadaan sekarang.
Sejalan dengan Poegoeh, Mardanus juga menanyakan pelaksanaan
kebijaksanaan yang tertera dalam UU 11/1963. "Saya kurang paham
bahwa saya ditahan berdasarkan Penpres 11, tapi dibebaskan
dengan dasar R.I.B.", katanya kepada TEMPO di rumahnya di Jalan
Teluk Betung Jakarta. Pemeriksaannya sendiri sudah berakhir
sejak Nopember 1974 - Mardanus ditahan mulai 7 Pebruari - dan
hingga saat dibebaskan ia tidak mengetahui apa hasil dan
kesimpulan pemeriksaan itu. "Tuduhan ikut peristiwa 15 Januari
maupun info-info yang dilaporkan mengenai diri saya, semuanya
saya tidak tahu", demikian Mardanus.
Mardanus juga termasuk mengidap penyakit kronis. Rematik sendi,
darah tinggi, wasir, dan sakit pada separoh kepala (migraine)
adalah penyakit yang diderita sejak empat belas tahun lalu.
"Memang kelihatannya sya sehat. Tapi kalau rematik sendi kumat,
berdiri pun tak bisa", ujarnya. Sejak bulan Maret lalu ia
diizinkan dirawat di rumah dengan statusnya juga sebagai tahanan
rumah. Ia belum tahu apa yang akan dilakukan menyusul hari
pembebasanya. "Dua puluh tujuh bulan rasanya lebih dari sepuluh
tahun .Jadi saya masih perlu menyesuaikan diri lebih dahulu"
demikian Mardanus. Ia kini 56 tahun. Priyayi Jawa yang suka
makan enak dan cukup makmur ini akhir-akhir ini sering
menghabiskan waktunya dengan memetik gitar. "Pokokya jangan
sampai ada kekosongan yang menyebabkan kita bisa melamun".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini