SEJAK pagi, saluran telepon hunting itu berdering-dering super sibuk. Operatornya, seorang wanita muda bergelar magister, seperti tak diberi kesempatan istirahat. Dengan sedikit kerepotan, ia melayani semua pertanyaan yang masuk. Pemandangan itulah yang tampak hari-hari ini di sekretariat Universitas Pelita Harapan (UPH) -- perguruan tinggi baru yang didirikan oleh Lippo Group. Sejak pendaftaran calon mahasiswa digelar, dua pekan lalu, ribuan peminat membanjiri pusat layanan informasi tadi. Formulir pendaftaran bisa dibeli di hampir semua cabang Lippobank, laris bagaikan saham blue chip. Kenapa laku keras? Rahasianya, barangkali, terletak pada soal kesan dan kemasan. Calon kampusnya berupa gedung jangkung berdampingan dengan kondominium dan pusat bisnis Asia Tower di Lippo Village, Karawaci. Yayasan Pelita Harapan, pemilik universitas ini, sejak tahun lalu dikenal dengan sekolah- sekolah Pelita Harapan (dari TK sampai SMA). Kecuali itu, seperti disebut dalam iklannya di media massa, UPH berjanji mengembangkan kurikulum yang setara dengan standar internasional. Untuk itu, mereka akan menjalin kerja sama dengan sejumlah universitas maju di luar negeri: mulai dari Oklahoma State University, yang disebut-sebut sebagai koordinator konsorsium belasan perguruan tinggi lainnya di Amerika Serikat, hingga Griffith University di Australia. Sejumlah dosen, bahkan pejabat setingkat dekan, juga akan diimpor. Karena itu, kemampuan berbahasa Inggris jadi modal utama mahasiswa. Mereka yang TOEFL-nya di bawah 450 harus masuk kelas persiapan. Bahkan yang tak sampai 375 pastilah ditolak. Dengan berbagai perangkat impor ini diharapkan mutu lulusan UPH setingkat dengan rekannya dari luar negeri. Wibawa "semutu sekolah asing" inilah yang agaknya membuat calon mahasiswa, apalagi orang tua yang berduit, tergiur. Tanpa harus melihat apa dan bagaimana isinya, mereka main tubruk. "Ya untung- untungan. Daripada harus sekolah di luar negeri?" Begitu umumnya alasan peminat yang mendaftar. Persoalannya, seberapa sih pengaruh luar negeri buat Pelita Harapan? Direktur Program Internasional Oklahoma State University (OSU), Art Klatt, memang membenarkan pihaknya sudah diajak kerja sama oleh UPH. Kecuali akan mengirimkan beberapa dosennya, kata Klatt kepada TEMPO, OSU juga sedang mendesain kurikulum UPH dengan standar yang dipakai perguruan tinggi Amerika Serikat (AS). Dengan begitu, mahasiswa UPH yang ingin melanjutkan studi ke sana tak perlu lagi melalui tahap penyetaraan seperti selama ini. Bukan itu saja. Klatt mengaku telah berhasil merayu sejumlah perguruan tinggi lain di Amerika agar bergabung dalam proyek kerja sama ini. Kata Klatt, setidaknya kini ada enam universitas AS, lima negeri dan satu swasta, yang akan mengakui lulusan UPH dan sekaligus menerima mereka tanpa matrikulasi. Tapi, apa yang dikatakan Klatt ini agaknya masih harus dipertanyakan. Seperti tak mau salah langkah, pengurus Pelita Harapan agak hati-hati tentang soal ini. Menurut Johannes Oentoro, rektor sekaligus salah satu pendiri UPH, yang dimaksud kerja sama kurikulum itu agaknya tak sehebat yang dipromosikan Klatt. Katanya, kurikulum yang dipakai tetap saja mengacu pada ketentuan Departemen P & K. Hanya saja, bisa diperkaya dengan muatan yang tak haram seperti Bahasa Inggris atau pendalaman perkembangan teknologi terbaru. "Ibarat orang mau bertamu, mesti ikut aturan tuan rumah," katanya. Artinya, tak banyak yang istimewa dari kurikulum impor tadi. Yang agak mengejutkan justru soal penyetaraan itu sendiri. Menurut Johannes, patner UPH di luar negeri sepakat menerima beberapa mata kuliah asli Indonesia sebagai kredit yang diakui. Ia menunjuk mata kuliah Pancasila. Ilmu asli Indonesia itu konon dapat menggantikan kuliah Sejarah Amerika yang harus diambil seorang mahasiswa di AS. Jadi, "Kalau sudah belajar Pancasila, tak perlu lagi mengikuti Sejarah Amerika di sana," katanya. Tak jelas betul, bagaimana mungkin "barter" Pancasila dan Sejarah Amerika itu bisa dilakukan. Di luar soal "barter" tadi, sejauh ini tak banyak prasarana penunjang pendidikan lain yang patut dibanggakan. Johannes mengakui perpustakaan UPH memang baru mengoleksi 2.000 buku. Tapi, "Jangan kami ditantang soal fasilitas. Itu kan bisa dibeli," katanya. Jangankan cuma soal perpustakaan atau laboratorium. Dalam lima tahun ke depan, Johannes bahkan telah berencana membangun satu kompleks UPH minimal seluas 100 ha yang penuh dengan fasilitas riset seperti di luar negeri. Soal dana, bagi Johannes, agaknya memang bukan masalah benar. Kecuali dukungan penuh Lippo Group, ia juga bisa menyisihkan sebagian besar keuntungan operasional UPH. Untuk tahun pertama ini, dengan target 800 mahasiswa, Pelita Harapan bisa mengutip sekitar Rp 2,8 miliar dari uang SKS (satuan kredit semester) dan SPP. Sedangkan biaya operasional sebesar Rp 5 miliar sepenuhnya bisa ditutup oleh uang gedung -- sekitar Rp 6 juta seorang.Dwi S. Irawanto, Bina Bektiati (Jakarta), dan Sudirman Said (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini