Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari 9 lubang kubur

9 orang dikubur hidup-hidup di Desa Margomulyo, Kec. Tayu, Kab. Pati, Ja-Teng. Mereka murid Noorsidi, yang dikenal sebagai dukun. Niatnya : mereka bertapa untuk menyempurnakan "ilmu sabdo tunggal".

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU per satu, sembilan kubur itu dibongkar. Dari dalamnya muncul manusia yang dipocong kain kafan putih seperti mayat. Ratusan penduduk desa, yang malam itu menyaksikan, bergidik. Hantu? Bukan. Sulap? Juga bukan. Sembilan orang itu memang dikuburkan hidup-hidup. Niatnya: mereka bertapa untuk menyempurnakan "ilmu Sabdo Tunggal". Juga untuk memperbaiki nasib. "Saya ingin dapat pekerjaan yang lebih baik," kata Kunardi, 18 tahun, buruh kasar dari Desa Jeglong, Jepara, salah satu peserta pertapaan itu. Mereka itu murid Noor Sidi, 60 tahun, yang dikenal sebagai dukun di Desa Margomulyo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Menurut rencana, tapa itu akan berakhir 4 September yang lalu, bertepatan dengan tanggal 10 Muharam (atau Suro, menurut orang Jawa, dari kata Asyura). Tapi sehari sebelumnya, tempat itu digerebek polisi. "Kami khawatir akan keselamatan mereka," ujar Kapolsek Tayu, Letda (Pol.) Asturi, yang memimpin penggerebekan. Alasan lain datang dari Kepala Desa Margomulyo, Wirjo Astro, yang melaporkan peristiwa itu ke polisi. Ia mencurigai kelompok Noor Sidi, kalau-kalau, "mereka mengadakan rapat gelap untuk tujuan negatif." Kebetulan, rumah dukun itu -- sebuah gubuk berdinding gedek, berlantai tanah letaknya terpencil dari perkampungan, di tengah tambak, tak berapa jauh dari pantai Laut Jawa. Untuk mencapainya harus berjalan kaki menempuh jalan setapak sejauh dua kllometer. Tapi untuk rapat gelap, pasti mereka tidak. Setelah diperiksa polisi, mereka boleh pulang. Dengan pesan: lain kali kalau mau bertapa harus pakai izin yang berwajib. Noor Sidi mengaku, sudah tiga tahun mengajarkan ilmu itu. Ada 19 murid yang tamat -- termasuk seorang polisi berpangkat sersan satu. Mengaku menganut Budha, Noor (dibaca "Nur") beranak enam dan beristri tiga. Berperawakan tinggi, berkulit hitam, orang Jepara itu rupanya punya wibawa. Ilmunya, katanya, diperolehnya dari banyak guru di Bali dan Wonogiri. Sabdo Tunggal, kata Noor Sidi, nelayan miskin itu, mampu membuat orang mudah cari sandang-pangan, tubuh jadi kebal, dan bisa mengobati orang sakit. Pujiono, 17 tahun, anak Noor yang ikut bertapa, mengatakan bahwa dia perlu Sabdo Tunggal untuk menghadapi ombak dan badai, "Saya ini 'kan nelayan." Mula-mula para murid berpantang memakan semua hasil olahan manusia. Praktis yang boleh dimakan cuma buah. Lalu, awal September yang lalu, delapan murid berkumpul di rumah Noor Sidi. Satu per satu mereka dimandikan sang guru, mirip orang yang sudah meninggal, diberi minyak wangi dlcampur gambir, sirih, kembang, dan cendono ratus (semacam dupa). Setelah dimantrai, mereka dipocong, dan malamnya dikuburkan. Satu di antara kubur itu sudah 40 hari dihuni Kunardi. Dia mesti bertapa lebih dulu sesuai dengan perintah wangsit yang diterima Noor Sidi. Bagaimana dia bisa bertahan? Rahasianya: tiap hari sang pertapa dluluri makanan oleh sang guru, lewat lubang berukuran 10 x 10 cm2 di langit-langit kubur. Lubang itu juga rupanya yang jadi saluran bernapas. Di dalam liang lahat, mereka menelentang dengan posisi kepala di sebelah barat. "Mengheningkan diri agar sukma menyatu dengan sang Pencipta," kata Noor Sidi. Dan yang mereka rasakan bukan main. Cerita Kunardi, setelah bangkit dari kubur, "Siang dan malam saya rasakan panas dan dahaga. Banyak tokoh yang datang di depan saya, Sunan Kalijaga, Siti Jenar, Sunan Ampel. Mereka sudah menyatu dengan saya." Pokoknya, orang seperti Kunardi percaya. Selepas dari liang, mereka dimandikan oleh Noor Sidi dengan air dari tujuh sumur, diberi wejangan berpantang membunuh, mencuri, zinah, meminum minuman keras dan ingkar janji. Itu semua jadi bukti bagi Noor bahwa Sabdo Tunggal "bukan untuk memusuhi pemerintah". Apakah hidup mereka akan jadi baik, belum diketahui. Amran Nasution (Jakarta) & Bandelan Amarudin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus