LA ilala illa Allah. Suara tahlil itu bergema dari sebuah ruang istana. Asap dupa merebak wangi menyusup lorong-lorong puri Mangkunegaran. Di sela-sela suasana duka itu, pekan lalu, putra-putri Mangkunegaran dan beberapa kerabat dekat mengakhiri rapat keluarga yang berlangsung tujuh malam berturut-turut di Bale Praci, tempat raja biasa menerima tamu-tamu istimewa. Bismillah ..., kata Gusti Raden Ayu (G.R.A.Y.) Retno Satuti membuka pembicaraan di hari pertama, "Kanjeng Gusti telah tak ada lagi di istana. Beliau telah pergi menghadap Tuhan. Tugas kita kini adalah menentukan siapa penggantinya." Adik-adiknya dan kerabat yang hadir diam, menundukkan kepala. Gusti Tuti, begitu Retno Satuti dipanggil, bangkit berdiri. Dia menghampiri Gusti Pangeran Haryo (G.P.H.) Jiwokusumo, adiknya. Jiwo pun berdiri, menghadap ayundanya. Sejenak mereka bertatapan lalu Gusti Tlti, 43 tahun, segera merangkul Jiwo dan mengusap-usap pundaknya. Tanpa kata-kata panjang, Gusti Tuti meminta Jiwo menggantikan ayahandanya, sebagai Pengageng Puro Mangkunegaran. Jiwo bersedia. Maka, putra-putri MN VIII yang lain bergiliran memberikan sembah serta jabat tangan. Rapat yang dilakukan dua hari setelah Mangkunagoro VIII mangkat, dua pekan lalu itu, hanya dihadiri kalangan terbatas, enam putra Mangkunagoro dari permaisuri, dan beberapa kerabat dekat. Jiwokusumo 36 tahun, adalah putra keempat, dengan satu kakak laki-laki (almarhum Radityo) dan dua kakak perempuan, G.R.A.Y. Retno Satuti dan Retno Rosati, dan tiga adik: G.P.H. Saktio, G.P.H. Herwasto, serta G.R.A. Retno Astrini. Dari garwo selir, MN VIII hanya mempunyai satu putera: B.R.M. Kumiyakto. Telah datangkah Mangkunagoro IX? "Soal sebutan Mangkunagoro IX, itu perkara nanti. Bisa ya, bisa tidak. Tapi, terang Jiwo boleh memakai nama Mangkunagoro karena nama itu memang nama leluhurnya," kata Retno Satuti. Namun, gelar Mangkunagoro, memang memerlukan pengesahan dari penguasa politik. Gelar Mangkunagoro VIII yang dikukuhkan 43 tahun lalu, misalnya, memerlukan legitimasi dari pemerintah pendudukan Jepang. Lalu, Mangkunagoro VII ketika naik takhta, 1916, juga disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mangkunagoro IX, nanti, perlu dikukuhkan oleh pemerintah RI ? Ini yang masih belum jelas. Maka, tampaknya pihak Mangkunegaran tidak ingin buru-buru menobatkan Jiwokusumo sebagai Mangkunagoro IX kendati gelar itu secara resmi tak pernah dilarang. Dulu, pemerintah pendudukan Belanda dan Jepang memandang perlu untuk mewisuda Mangkunagoro, yang kala itu masih merupakan jabatan politik. Dengan memberikan pengukuhan, penjajah ingin unjuk diri bahwa mereka memiliki hak-hak politik di atas tanah swapraja Mangkunegaran. Jiwokusumo menyadari otoritas politik Mangkunegaran tinggal catatan sejarah. Daerah swapraja Mangkunegaran telah pupus sejak 1946, tak lama setelah pemerintah RI berkibar. "Saya bukan tokoh politik. Tak ada niat untuk mencari pengaruh politik, apalagi mencari daerah kekuasaan," ujarnya. Sebagai "raja" di Puro Mangkunegaran, Jiwo tak punya program politik. Untuk jangka pendek ini, Jiwo mencanangkan program untuk merawat peninggalan hasil seni budaya Mangkunegaran. "Kesenian Jawa tak boleh mati. Saya ingin menggairahkan kegiatan tari, karawitan, juga lebih memasyarakatkan karya sastra yang selama ini tersimpan di perpustakaan," kata Jiwo, yang sesekali pergi ke diskotek ini. Ia juga ingin istana dan isinya dikenal luas masyarakat. "Saya tak ingin Istana Mangkunegaran terasing dan diasingkan oleh masyarakat yang makin maju ini," tambahnya. Caranya? "Kegiatan pariwisata akan kami prioritaskan." Setelah "bertakhta" nanti, Jiwo, yang kini masih menduda sejak berpisah dengan Sukmawati 1983 lalu, akan didampingi oleh sang kakak, Gusti Tuti. Retno Satuti, yang tetap menjanda sejak suaminya Rahadian Yamin meninggal sembilan tahun lalu, akan menduduki jabatan sebagai Kepala Rumah Tangga Istana. "Tugas saya menciptakan suasana tenang, lahir-batin, bagi keluarga Mangkunegaran, mengatur ekonomi Istana dan upacara-upacara adat. Perkawinan, misalnya," kata Tuti. Sebagai ratu rumah tangga istana, apa yang dia inginkan? "Saya amat ketakutan Istana ini menjadi tua, rusak, dan telantar. Saya ingin Puro Mangkunegaran tetap bersih dan cantik," ujar Tuti. Dengan pendapatan yang ada sekarang dari turis yang rata-rata 50 orang sehari, penyewaan pendopo untuk resepsi, usaha hotel, pabrik gula, pabrik obat, industri logam, kulit, saham, dan subsidi pemerintah yang Rp 3 juta per bulan -- dana yang tersedia masih sering terasa sesak untuk menghidupi istana beserta isinya, plus 200-an abdi dalem yang bergaji Rp 8-Rp 40 ribu. Maka, ekspansi usaha pun tengah digalakkan. Untuk menampung banyak keinginan itu, pekan lalu ditetapkan formasi baru dalam pengelolaan Mangkunegaran. Dibentuk beberapa badan baru. Ada Dewan Pertimbangan baru dan Biro Pengembangan Manajemen Mangkunegaran. Tugasnya mengatur sistem kerja di istana, juga menggalang kerja sama bisnis dengan pihak luar. Namun, tidakkah formasi itu menyalahi amanah Mangkunagoro I? Wasiat, yang tertuang dalam secarik kertas tua itu menggariskan tampuk pimpinan Mangkunegaran setelah delapan generasi dialihkan kepada keturunan Ronggo Panambang, kawan seperjuangan Mangkunagoro I. "Dalam kitab sejarah Mangkunegaran, tak satu bab pun menyinggung wasiat itu," ujar R.M. Mohamad Husodo, Kepala Perpustakaan Mangkunegaran. Surat wasiat itu kini tersimpan di tangan Sukiato Hardjosalogo, 91 tahun, sesepuh trah Ronggo Panambang. Tentu, keluarga Panambang masih yakin surat wasiat itu asli. Namun, kelompok ini tak ingin menuntut. "Kami tak pernah punya niat mengusik tahta Mangkunegaran. Kami juga tak tergoda meminta kedudukan apa pun," ujar Sukiato. Putut Tri Husodo (Jakarta) & kastoyo Ramelan (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini