Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Asuransi jiwa seberat beban unta ?

Pro & kontra mengenai asuransi jiwa. menurut k.h. farid ma'ruf, bahwa asuransi jiwa di dalam segala bentuknya dibolehkan oleh syara'. tapi ada yang menyebut haram atau judi & mendahului takdir allah.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM lokakarya Persaman Wartawan Indonesia AJB Bumiputera 1912 di Yogya, awal September lalu, soal asuransi jiwa diungkit lagi. Ia berada di makna boleh, dilarang, haram -- walau prokontra itu bukan baru sekarang saja muncul. Majalah ekonomi Al-Ahram, Kairo, 15 Februari 1961 menyiarkan tulisan ulama Al-Azhar. Yaitu Syekh Muhammad Abu Zahrah dan Syekh Ahmad al-Syarbasi bersiteguh: asuransi itu riba dan judi, maysir. Sebaliknya, Syekh Muhammad al-Madni dan Muhammad Yusuf Musa membolehkan asuransi -- karena premi asuransi itu diinvestasikan dan bermanfaat untuk tolong menolong, ta'awun. Di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia belum mengeluarkan fatwa mengenal asuransi jiwa. Kenapa? "Itu tak perlu," kata K.H. Ibrahim Hosen, 70 tahun. Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI ini, "Pemerintah mengizinkan usaha asuransi, kita tinggal mematuhinya." Lalu ia merujuk ayat Quran, Athi' Allah wa athi' al-rasul wa uli al-amr minkum (Taatlah kepada Allah dan Rasul, juga kepada pemerintah dari kalangan kamu). Tapi jauh sebelum itu, dalam muktamar ke-14 di Magelang, 1939. Nahdatul Ulama mengidentikkan asuransi itu dengan judi -- setelah merujuk kitab Ahkam al-Fuqaha, Putusan Para Ahli Hukum, jilid II, halaman 119. Asuransi jiwa, katanya, transaksi yang keluar dari akal tak sehat, karena jelas mengontrakkan umur dan jiwa manusia. "Itu mendahului takdir Allah. Dalam asuransi ada unsur untung-untungan, identik dengan judi," ujar K.H. Ahmad Shiddiq, Rais Am NU, seperti dikutip Panji Masyarakat, 11 April lalu. Menurut Sumardi Silvester, Direktur Utama AJB Bumiputera 1912, "Pendapat ulama seperti itu memang biasa." Sedangkan Kepala Cabang AJB Bumiputera 1912 Yogya, Soemardi, melihat bahwa karena asuransi jiwa disebut "haram", jumlah nasabah tetap mengecil. "Cuma 1,98% dari jumlah penduduk Indonesia yang 165 juta jiwa lebih," katanya. Sayyid Abdullah Husain dari al-Azhar, Kairo, dalam bukunya, al-Muqaranah al-Tasyri'iyyah (Perbandingan Hukum Islam) menegaskan: karena sifatnya "untung-untungan", maka asuransi itu diharamkan. Begitu pula bagi Muhammad al-Ghazali. Ulama Ikhwanul Muslimun, Mesir, ini dalam Al-Islam wa al-Manahij al-Isytirakiyyah (Islam dan Sosialisme), menyebutkan asuransi mengandung riba, membungakan uang. Mengenai riba dalam asurani, Muhammad Muslehuddin juga mengkaji. Pada 1966, ia menyusun disertasi untuk gelar doktor di FH Universitas London -- kemudian dibukukan (1982) berjudul Insurance and Islamic Law (Asuransi dan Hukum Islam). Kontrak asuransi, tulis Muslehuddin, tergolong aqd al-sharf atau menukar nilai moneter dengan nilai moneter, dan menghasilkan riba. Menurut dia, jumlah premi yang disetor dan santunan yang diterima tak sama. Bahkan jumlah santunan bisa lebih besar. Misalnya, bila si tertanggung meninggal sebelum kontrak usai, tentu santunan yang diterima lebih besar dari premi yang dibayar. Beda ini dianggapnya "bunga". Yang tidak "mengharamkan" asuransi antara lain Ahmad Thaha al-Sanusi, cendekiawan Al-Azhar, Mesir, dan Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi (India) yang mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Mereka menganalogikan asuransi dengan kafalah atau ganti rugi. Penafsiran mengena kafalah itu diangkat dari Quran, ayat (27) Surah Yusuf, Barang siapa dapat mengembalikan piala raja, akan mendapat hadiah seberat beban unta. Dan aku (Yusuf) bertanggung jawab (atas kehilangan itu). Hal kafalah, sebenarnya, sudah sejak abad XII Masehi dibahas Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid (Pengantar bagi Orang Barijtihad). Juga dalam kitab yang belakangan, seperti Radd al-Mukhtar (Sanggahan terhadap Pendapat Pilihan) karya Ibn 'Abidin. Di buku-buku itu disebut kafalah boleh secara ijma', diterima dengan konsensus. Tapi menurut Muslehuddin. kafalah itu beda dengan asuransi, karena menyangkut tiga pihak. Sedangkan kontrak asuransi dua pihak. Kafalah timbul karena ada jaminan pihak ketiga (dalam hal ini Yusuf). Sedang dalam asuransi, yang menjamin hanya perusahaan asuransi atau pihak kedua. Yang tak setuju menganalogi atau mengqiyaskan asuransi dengan kafalah sebenarnya sudah dilontarkan di abad IX Masehi, oleh al-Razi dalam Tafsir Kabir. Di jilid kelima ia menulis besarnya beban unta seperti ditafsirkan dari ayat tersebut bukan tak pasti, karena pada waktu ini sudah dikenal orang. Sekarang? Santunan yang diterima nasabah asuransi atau si tertanggung belum pasti. Karena itu, tak bisa dikiaskan dengan "seberat beban unta". Dan bila jumlah santunan itu lebih besar dari premi, malah bisa jadi riba. Dan bila nasabah punya pikiran untung-untungan, yang dalam bahasa fiqh disebut gharar, ini memang perjudian. Adu nasib. Tapi, menurut Siddiqi, si penjudi itu bertaruh, mencari risiko. Sedang dalam asuransi si nasabah justru mencari "perlindungan" dari risiko yang tak terelakkan. Contohnya, mati. "Semua orang hidup pasti akan mati, apakah ia nasabah asuransi atau bukan," katanya. Karena itu, untuk menghindar dari masalah, niat si tertanggung tak cuma melihat ke kafalah, tetapi ke makna ji'alah, atau "memberi janji upah" -- dan ini ada perjanjian yang jelas antara kedua pihak. Atas dasar itulah, kemudian K.H. Farid Ma'ruf (almarhum) menafsirkan himlu ba'ir atau "beban unta" sebagai ji'alah, dan bukan kafalah. Mengutip pendapat Syekh Abdurrahman Isa dalam Al-Mu'amalah al Haditsah wa Ahkamuha (Persoalan Kemasyarakatan Modern dan Hukumnya), ia membolehkan asuransi. Dalam tulisannya berjudul Asuransi Jiwa menurut Pandangan Islam (1963), tokoh PP Muhammadiyah itu menyimpulkan, "Tidak perlu diragukan lagi bahwa asuransi jiwa di dalam segala bentuknya dibolehkan (tidak dilarang) oleh syara'." Budiman S. Hartoyo & Ahmadie Thaha (Jakarta), bersama Nanik Ismaini (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus