BERMACAM orang dari berbagai profesi Rabu pagi pekan lalu berkumpul di hotel Sahid, Jakarta. Ada Y.B. Mangunwijaya, pastor, arsitek, dan penulis novel yang punya perhatian luas pada berbagai bidang. Ada Sutan Takdir Alisyahbana, rektor Universitas Nasional yang dikenal sebagai budayawan Pujangga Baru. Lalu Setijadi, rektor Universitas Terbuka Sutopo Juwono, sekjen Depnaker. Terlihat juga Ami Prijono dan Teguh Karya, keduanya sutradara film. Di antara mereka, berjas abu-abu, menyalami hampir semua yang hadir, Menteri P & K Fuad Hassan. Suasana pagi itu memang mirip sebuah pesta. Tapi inilah pertemuan peresmian Forum Pendidikan dan Kebudayaan - sebuah lembaga nonstruktural yang dibentuk oleh Menteri P & K. Forum ini diharapkan memberi masukan masalah pendidikan dan kebudayaan kepada Departemen P & K. Pendidikan, seperti pernah dikatakan Fuad Hassan kepada TEMPO, adalah sektor yang boleh dikatakan melibatkan seluruh masyarakat secara langsung. Seorang anak yang tak mendapatkan tempat di jenjang sekolah yang lebih tinggi, umpamanya, akan menjadi keprihatinan keluarganya. Tapi selama ini suara masyarakat di sektor ini tampaknya kurang diperhatikan. Winarno Surakhmad, bekas rektor IKIP Jakarta, berpendapat, keputusan-keputusan di bidang pendidikan mestinya "didasarkan atas hasil penelitian agar bersifat obyektif dan rasional". Tapi kenyataannya, keputusan itu lebih dilakukan "atas dasar konsensus yang harus memperhatikan perimbangan kekuasaan atau ukuran-ukuran tradisi yang selama ini dikenal." Yang diundang untuk jadi anggota Forum ini sebenarnya 300 orang, yang hadir 240. Kriteria undangan adalah mereka yang sering menulis masalah pendidikan dan kebudayaan di media massa, atau orang-orang yang sudah lama berkecimpung dalam dua bidang itu. Kriteria lainnya adalah mereka yang mendaftarkan diri untuk diundang. Hari itu juga anggota forum dibagi menjadi 9 kelompok pendidikan: Dasar, Menengah Umum Kejuruan, Pendidikan Tinggi, Pendidikan luar Sekolah, Tenaga Kependidikan, Pendidikan Swasta, dan Kebudayaan. Pengelompokan bergantung pada pilihan masing-masing, dan dianjurkan mereka hanya memilih satu kelompok. Maka, ada kelompok yang anggotanya sangat kecil, yaitu Pendidikan Kejuruan, hanya tiga orang. Sementara itu, kelompok Pendidikan Tinggi mendapatkan anggota terbanyak, 38. Forum ini benar-benar bebas, tak ada jadwal tetap kapan mereka harus bertemu. Juga, pengangkatan sebagai anggota tanpa surat keputusan selembar pun. Semuanya, keaktifan anggota untuk hadir dan menyumbangkan ide-ide, sama sekali berdasarkan kesadaran mereka masing-masing. Selain anggota yang datang dari luar Jakarta, yang memperoleh ganti ongkos transpor dan penginapan, yang lain tak mendapatkan apa-apa. Dengan demikian, Forum ini berbeda dengan yang disebut Kelompok Kerja (KK) di zaman Daoed Joesoef jadi menteri P & K. KK hanya terdiri 6 atau 7 orang, diangkat dengan surat keputusan menteri, lagi pula mereka memperoleh honorarium. Dan KK lebih banyak mengerjakan penugasan daripada mencetuskan ide-ide. Dalam kelompok Forum tak ada ketua maupun sekretaris. Anggota benar-benar sederajat jadinya. Kapan mereka akan berkumpul terserah kepada kesepaka-tan anggota. Kapan mereka akan bersepakat, kurang jelas. Yang pasti, bila anggota kelompok telah sepakat untuk berkumpul dan berbincang-bincang, adalah tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P & K untuk mengkoordinasikannya. Tampaknya, semangat kerelaan untuk menyumbang ide-ide dalam dunia pendidikan dan kebudayaan memang besar - setidaknya tecermin dari hari peresmian Forum ini. Soedjono Hoemardani, Irjen Pembangunan, misalnya, adalah anggota yang ikut hadir. Pagi-pagi ia sudah punya gagasan yang hendak diusulkannya. "Sekarang ini dunia pendidikan seharusnya di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat jangka pendek dan panjang," katanya kepada TEMPO. Atau, Frans Seda, bekas menteri keuangan dan menteri perhubungan, berpendapat, "Kurikulum sekolah kini sangat berat, hingga siswa dan guru kelabakan. Di zaman saya, mata pelajaran sedikit, tapi mendalam dan mengenai sasaran." Yang pada hari itu sudah memberikan kritik, juga ada. Winarno Surakhmad, bekas rektor IKIP Jakarta, dan konsultan Bank Dunia bidang pendidikan untuk Bangladesh, agak tak akur dengan pengelompokan Forum ini. "Kalau dibatasi tiap kelompok harus membicarakan masalah tertentu, tak akan memecahkan persoalan," katanya. "Satu masalah mungkin saja akibat dari masalah lain yang lebih mendasar." Juga Sutopo Juwono, sekjen Depnaker itu. "Forum ini penting. Kalau tak penting, masa saya datang," katanya. Ia tertarik menyumbangkan ide dalam hal pendidikan dan kesempatan kerja. Dan, ada hal yang selama ini menjadi pertanyaan baginya, "Mengapa lulusan SMA maunya ke perguruan tinggi, kenapa mereka tak suka jadi tukang kayu, misalnya. Pasti ada yang salah ini." Itulah, baik dalam bidang pendidikan maupun kebudayaan, tentulah usul Forum, betapapun baiknya, belum tentu bisa diwujudkan. Seorang menteri, bagaimanapun terbukanya, terikat pada satu birokrasi. Memang, Fuad berkali-kali menyatakan, ia akan sangat memperhatikan semua ide, usul, dan kritik dari Forum. Tapi sektor pendidikan dan kebudayaan, sebagaimana sektor-sektor yang lain, tidaklah berdiri sendiri. Dan seberapa lama Forum ini akan tetap bersemangat, masih perlu dilihat. Selain para anggota punya kesibukan sendiri, kejenuhan karena persoalan berkisar pada masalah yang sama bukan mustahil terjadi. Bambang Bujono Laporan Indrayati dan Yusroni Henridewanto (biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini