Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Daripada lari sana lari sini

Rejosari, kayen, wilayah permukiman untuk menampung penduduk dari kawasan waduk kedungombo. sarana fisik memadai. kegiatan penduduk belum produktif. ada yang masih bolak-balik ke kedungombo.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT permukiman baru itu dinamai Rejosari. Kawasan ini dihuni 32 kepala keluarga (146 jiwa) sejak Desember lalu. Dusun baru itu berada di daerah perbukitan Desa Kayen. Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Letaknya sekitar enam kilometer dari sisi barat proyek Bendungan Kedungomho. Untuk mencapai Dusun Rejosari, jalan yang ditempuh berbatu-batu, dengan lebar lima meter, dan tanahnya liat. Harap maklum jalan aspal hanya sampai ke proyek bendungan. Walau terpencil, Rejosari kini menjadi pusat perhatian dan bahan pembicaraan di tingkat nasional. Inilah lokasi yang disediakan pemerintah untuk menampung mantan penghuni kawasan yang digenangi Waduk Kedungombo. Rejosari belum berfungsi sebagai dusun yang layak. Di situ memang ada bangunan fisik, berupa rumah-rumah berdinding kayu. Rumah itu didirikan penduduk dengan bahan bekas rumah lama mereka. Bangunan fisik lain lebih gagah, yang kontras dengan tempat tinggal penduduk tersebut, misalnya sebuah masjid, gedung SD, balai desa, dan puskesmas. Maklum. ini dibangun oleh proyek Kedungombo. Los pasar juga sudah ada di mulut jalan masuk Rejosari. Beberapa tanaman kecil memang sudah pada tumbuh di sekitar rumah penduduk. Misalnya kecipir, kacang panjang, bayam dan singkong. "Padi juga bisa tumbuh di sini. tapi hasilnya kurang tahu," kata Sopawiro Karsan. "Air juga gampang di sini." Tentu saja tanaman itu belum menghasilkan. Selama empat bulan, penduduk baru itu hidup dari mengandalkan simpanan bekal yang mereka bawa dari tempat tinggal yang dulu. Harjosali, misalnya. Lelaki berusia 60 tahun ini menuturkan, sebelum sawahnya di Kedungombo dilindas buldoser, ia sempat memanen padinya. Hasil panen itu untuk menyambung hidup di Rejosari. "Saya masih punya dua kuintal beras untuk menyambung hidup beberap bulan lagi. Selanjutnya, ya bagaimana nanti saja," katanya. Tapi tidak semua orang bisa seperti Harjosali. Atau seperti Saidi, bekas guru SD di Ngrakum yang akan melanjutkan kariernya di tempat baru itu. Saidi, di samping bisa berharap dari gaji tetapnya walau belum mengajar karena murid belur ada -- punya seorang istri yang pintar mengelela kios minum di depan rumah mereka. Warung itu terutama untuk melayani para pekerja proyek. Yang tidak bisa seperti Harjosali atau Saidi itu di antaranya Surosardi, 50 tahun, yang harus menanggung empat orang anak. Persediaan bekalnya menipis. Jika bekal itu habis, Surosardi sudah bersiap, seperti dikatakannya, "Akan cari kerja seadanya. Kalau perlu jadi buruh di kota." Penghuni Rejosari ini ada yang masih sering bolak-balik atau bahkan tingal selama berhari-hari di rumah lamanya, yang tentu saja bangunannya sudah tidak utuh lagi. Perjalanan ke tanah asalnya itu sampai menempuh jarak puluhan kilometer dengan berjalan kaki selama empat jam menembus hutan jati. Perjalanan dari Kayen ke kawasan-kawasan yang tekena proyek bendungan, seperti Ngrakum (sisi selatan), Juwangi (barat), dan Sumber Lawang (timur), memang ada alternatif lain, misalnya ojek. Tapi ongkosnya mahal. "Istri saya baru tadi pagi ke sini, setelah seminggu mudik ke rumah kami yang lama," kata Harjosali, ayah sembilan anak. Di antara sembilan anaknya, yang masih bujang dan menjadi tanggungan Harjosali tinggal dua orang. Ia merasa tanahnya yang sekarang -- hanya 1.000 m2, sesuai dengan jatah yang boleh dibelinya -- terlalu sempit. Di tempat asalnya dulu, Dusun Gayuban, Ngrakum, Harjosali memiliki 4.074 m2 sawah, 2.500 m2 tanah tegalan, dan 250 x 50 meter pekarangan berikut empat bangunan rumah. Ganti rugi yang ia terima Rp 350 per meter untuk sawah dan Rp 935 per meter untuk pekarangan berikut rumahnya. Dengan bekal Rp 1.330.000, Harjosali pindah ke Rejosari, Desa Kayen. Sesuai dengan peraturan, orang-orang yang pindah ke Kyen tidak secara gratis menerima tanah. Mereka harus membeli, dibatasi maksimum 1.000 m2 per KK. Harga tanah yang semula milik Perhutani itu Rp 160 per meter, sudah termasuk sertifikat. Para warga baru itu, seperti dituturkan Harjosali, memang mengakui bahwa tanah di Kayen itu bisa ditanami palawija dan padi tadah hujan. "Cuma, kalau dibanding tanah saya dulu, ya jauh," kata Harjosali. "Di tempat dulu, apa pun bisa tumbuh subur." Karena belum banyak kegiatan produktif, Rejosari seperti tidak mendapatkan cahaya kehidupan. Di samping mengandalkan simpanan dari desa awal, warganya masih tergantung bantuan orang lain. Itulah soalnya. Bantuan pertama diberikan oleh Panitia Peringatan Hari Ibu Kecamatan Juwangi. Setiap KK memperoleh 10 kg beras, 1 kg paku, kecap, minyak goreng, dan ikan asin, masing-masing 1 kg. Bantuan kedua diberikan oleh isteri Bupati Boyolali, Nyonya Hasbi, berupa 10 kg beras, 1 kg ikan asin, dan sayuran untuk tiap KK. Sesudah itu sumbangan dari DPD Golkar Tingkat II Boyolali, bertepatan pada Bulan Bakti LKMD. Bentuknya, tiap KK diberi 10 kg beras, 1 kg ikan asin, susu bubuk 2 plastik, 4 supermi, minyak goreng, dan dua ekor ayam jantan dan betina berumur 4 bulan -- untuk diternakkan. Inilah warga negara yang patuh dan taat pada ajakan pemerintah untuk meninggalkan tanah asalnya, yang cepat atau lambat akan tergenangi air. Tapi sampai kapan mereka hidup dengan sisa-sisa simpanan atau mengandalkan bantuan, tak jelas. Juga tak jelas, kenapa mereka tak segera mengelolah tanahnya. Alasan mereka mau pindah memang macam-macam. Kata Saidi, "Daripada lari sana lari sini menghindari air, yang akhirnya harus pindah juga, lebih baik kami langsung saja pindah." Atau kata Sopawiro Karsan, "Saya pindah karena ingin berterima kasih kepada bapak pemerintah dengan jalan menaati apa katanya." Sopawiro, 60 tahun, yang kemudian terpilih sebagai Ketua RT Rejosari, berterima kasih karena seorang anaknya bersekolah di IKIP Negeri Semarang dan seorang lagi di SMP Negeri Boyolali.Mohammad Cholid, I Made Suarjana, dan Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum