SAMPAN kecil itu menyusup di tengah gerumbul daun-daun kelapa yang mulai menguning. Si tukang perahu terus mendayung, mendekat ke dermaga. Jangan dibayangkan dermaga itu sebuah pelabuhan tempat kapal-kapal besar berlabuh. Itu cuma berupa tanggul bekas fondasi bangunan. "Ini dulu tanggul rumah kerabat saya," ujar laki-laki 50 tahun itu sembari membantu menurunkan barang belanjaan seorang penumpang. Paiman, tukang perahu itu, warga Dukuh Ngrapah, Desa Nglanji, Kecamatan Kemusu, memang tak terlalu asing dengan air. Sungai Serang yang lebarnya 25 meter, yang mengalir di pinggir desa, adalah tempatnya bermain di masa kanak-kanak. Di situ dia mulai mengenal rakit, sampan, dan belajar berenang. Tapi, "Saya tak pernah membayangkan akan menjadi tukang perahu," ujar petani yang pernah memiliki 0,22 ha sawah itu. Tentu saja bukan karena Paiman tak asing dengan air bila kini sawah, pekarangan, dan tanah tegalnya ia relakan ditelan air Waduk Kedungombo. Kerelaan yang tak datang begitu saja. Keikhlasan itu ia rasakan setelah frustrasi yang cukup menekan. Frustrasi yang menyebabkan ia cemplungkan cangkul dan sabitnya di tengah genangan waduk agar bersatu dengan sasawah dan tanahnya. "Semua milik kami telah kami serahkan kepada bapak pemerintah," ujarnya, pasrah. Kini hari-harinya dia isi dengan menyeberangkan penduduk desa. "Saya tak minta bayaran, tapi kalau diberi, ya saya terima," ujarnya polos. Genangan air waduk yang tiap hari kian meninggi tampaknya tak membuat nyali Paiman menciut. "Kalau air mulai merendam rumah kami, kami bergotong royong membongkarnya, memindahkannya," tuturnya. Tukang perahu ini satu dari sejumlah warga yang sampai awal pekan ini tak bersedia menyentuh ganti rugi yang disodorkan pemerintah. Yang dia inginkan hanyalah sepenggal sawah atau tegal di sekitar waduk sebagai ganti miliknya yang kini tersimpan di dalam air. "Saya ingin menyaksikan kemakmuran di sini, yang bakal datang setelah waduk terisi penuh, seperti dikatakan bapak-bapak dari kabupaten," tuturnya. Tawaran transmigrasi ke Bengkulu atau Irian Jaya tak sedikit pun menarik minat Paiman. "Saya sudah tua, tak kuat lagi kalau harus membuka hutan," katanya. Sementara itu, tanah di Kayen yang disediakan Pemda Boyolali, 1.000 m2 untuk setiap KK, tak pula menerbitkan gairahnya. Tanah seluas itu baginya, "terlalu sempit untuk bertani." Tapi Paiman tak lalu menjadi "orang laut", tinggal di permukaan air. Ia kini mendompleng di rumah adiknya, di Desa Sarimulyo, 5 km dari Ngrapah. Sarimulyo memang bebas genangan. Sebetulnya dia ingin tetap bertahan bersama kawan-kawan senasibnya, yang kini membangun permukiman di tanah persawahan diselatan Nglanji. Niat itu diurungkannya. Ada hal lain yang dianggapnya lebih penting di-labuhi, dibela. Yakni, agar "anak anak bisa sekolah." Pendayung perahu ini punya dua anak yang masih duduk di SD, dan ia tak ingin masa depan anaknya menjadi korban. Paiman adalah sebuah sikap. Sikap yang lain ada di dekat Nglanji, permukiman baru yang kini kian berkembang. Sampai Ahad pekan ini, 114 KK atau 500 warga sudah tinggal di perkampungan itu. Dan ternyata, di perkampungan tempat mereka yang dikalahkan oleh air itu, rasa humor masih hidup. Orang-orang itu menamakan tempat mereka yang baru sebagai Nglanji Baru. Sebuah nama yang membawa harapan baru, yang sekaligus selalu mengingatkan mereka akan tempat tinggal lama mereka. Di situlah, di perkampungan yang tak cuma didiami oleh bekas warga Nglanji, lebih dari 100 orang anak usia SD ikut orangtua masing-masing. Mereka yang bukan orang Nglanji datang dari dukuh sekitar -- Kedungpring, Kedungpelem, Kedungcungkleng -- yang juga ditenggelamkan air. Di kampung baru itulah tinggal Jaswadi. Namanya populer karena ia bekas tokoh Dukuh Nglanji. Oleh orang-orang pemerintah, lelaki 47 tahun itu sering disebut sebagai "penggerak" aksi boikot ganti rugi. Jaswadi sendiri tak suka sebutan itu, dan ia menolak disebut sebagai penggerak. "Saya hanya sering mewakili teman-teman dalam menyampaikan keinginannya," ujarnya. Peran sebagai wakil itu bagi Jaswadi, untuk ukuran orang-orang Nglanji, cukup pantas. Di antara mereka ia punya status sosial yang lumayan tinggi, karena memiliki ijazah SMP. Kendati ia tak tergolong kaya, lahan pertanian Jaswadi yang hampir 1,5 ha relatif sangat luas bagi ukuran kampungnya. Dia pernah pula menjabat sebagai Ketua Dukuh di Ngrakum, sekitar 4 km dari Nglanji. Orang-orang yang disingkirkan air yang kini bermukim di Nglanji Baru itu mengaku belum berniat pergi dari kawasan genangan. Mereka juga belum memikirkan untuk menerima ganti rugi dari pemerintah. "Maunya kawan-kawan memang begitu, saya tak bisa memaksanya," tutur Jaswadi. "Di sini kami akan bertahan sampai keinginan kami dipenuhi." Mencemaskan memang tekat warga Nglanji Baru itu. Dalam satu dua bulan saja mestinya mereka akan harus membongkar dan memindahkan rumahnya ke lokasi yang lebih tinggi. Permukaan air tiap hari naik sedikit demi sedikit, tapi pasti. "Saya punya persediaan cukup," kata Jaswadi sambil menunjuk tumpukan padi, jagung, dan singkong di dalam rumahnya yang tak memiliki petakan kamar-kamar itu -- biar praktis kalau harus dibongkar dan dipindahkan. Ia, katanya, masih mempunyai 6 kuintal gabah. "Kalau ada tetangga yang kehabisan beras, saya rela menyumbangkannya," ujarnya bersungguh-sungguh. Lima tahun Jaswadi mengaku menjadi juru bicara tetangga-tetangganya. Dia pernah menghubungi LBH Surakarta agar memberikan bantuan hukum kepada masyarakat Nglanji dan sekitarnya. Ini tak memberikan hasil. Lalu lembaga perwakilan, baik itu DPRD II, DPRD I, dan DPR Pusat, sempat pula dia datangi. Tapi lembaga-lembaga itu pun tak sanggup mendesak pemerintah agar memenuhi keinginan warga desa. Akhirnya, seperti biasa, tatkala kata sepakat dua belah pihak macet, intimidasi pun datang. Warga desa mulai ditakut-takuti bahwa ganti rugi akan "hangus" kalau tak cepat diambil. Mereka yang tetap tak mau pindah terancam hukuman kurungan, bahkan mendapat risiko dicap ET (eks tahanan politik) dan eks OT (organisasi terlarang) -- dua sebutan yang konon sempat mampir di Nglanji. Jaswadi sendiri mengaku luput dari tuduhan itu. Syahdan, setelah waktu berjalan, para warga pun mulai merasa tak nyaman tinggal di daerah panas itu. Satu demi satu mulai mengambil uang ganti rugi. Langkah kompromi mereka ternyata tak luput dari kekecewaan. Praktek pungli, pungutan liar, seperti dialami oleh tukang perahu Paiman, mengganggu mereka. Paiman memiliki tanah, menurut girik 2.270 m2. Tapi dalam kuitansi pembayaran, luas tanah bisa menciut menjadi 2.000 m2. Itu soalnya bila kemudian ia membatalkan niatnya mengambil ganti rugi. Jaswadi tak tinggal diam. Praktek pungli itu dia laporkan ke Polda Jawa Tengah, awal Agustus 1986. Dalam laporan itu Jaswadi menuduh Kepala Desa Djaswadi terlibat. Celaka, pengusutan justru membuat Jaswadilah yang diborgol dan digiring ke Kantor Polsek Kemusu. Dan ini bukan kekeliruan karena nama yang hampir sama itu: Jaswadi dan Djaswadi. "Saya cuma ditahan semalam, dan tidak diantemi (dipukuli)," tuturnya. Belakangan ini Jaswadi mempunyai huhungan dengan aksi mahasiswa KSKPKO (Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo) dan aksi solidaritas Romo Mangun, tokoh masyarakat yang sering memperjuangkan kepentingan sosial masyarakat bawah, dkk. Kedua kelompok ini memang berniat membantu masyarakat Nglanji, Ngrakum, dan sekitarnya, baik secara moril maupun materiil, semampu mereka. Melihat harapan baru, Jaswadi membentuk Paguyuban Kemusu, sebuah panitia yang mengurus bantuan itu. Panitia itulah yang akan mencatat dan membagi-bagikan semua bantuan yang masuk," kata Jaswadi. Keterlibatan lembaga lain, atau instansi tertentu -- dalam hal menerima bantuan logistik itu -- di luar lingkungan warga daerah Kedungombo tak dikehendakinya. "Kami khawatir bantuan tidak akan sampai," katanya. Tapi lagi-lagi hanya kekecewaan yang ia terima. Bantuan dari Romo Mangun dan KSKPKO itu macet di tengah jalan, lantaran Gubernur Jawa Tengah Ismail tak mengizinkan bantuan masuk. Padahal, "Kami menunggu kedatangan Romo Mangun," kata Jaswadi pula. Apa boleh buat, anggota KSKPKO terpaksa masuk ke Kemusu secara diam-diam. Mereka terutama mengirim obat-obatan. "Permintaan yang paling banyak adalah salep kulit," tutur seorang anggota KSKPKO. Keprihatinan Jaswadi adalah keprihatinan Cipto Simir, pula. Laki-laki 52 tahun dari Dukuh Ngrakum, Kecamatan Kemusu ini telah kehilangan gantungan hidupnya, berupa sawah 1/4 ha, tegal 1/4 ha, dan tanah pekarangan seluas 800 m. Cipto mengaku tak sempat mengungsikan rumahnya. "Air naik terlalu cepat," tutur Cipto, kesal. Cipto hanyalah satu dari sejumlah warga Ngrakum yang bertekad menampik ganti rugi. "Uang ganti rugi tidak cukup untuk membeli sawah atau tegal," katanya. Setiap setengah bahu (1/3 ha) sawah, tur Cipto, hanya mendapat ganti rugi Rp 1,1 juta. Sementara itu, untuk memperoleh sawah dengan luas yang sama, di daerah pinggiran waduk, paling tidak diperlukan Rp 3 juta. Bapak lima anak ini sangat menyesalkan cara pemerintah melakukan pembebasan tanah. "Kami tidak pernah diajak musyawarah," ujarnya. Kalaupun ada pertemuan di Balai Desa, Kantor Kecamatan, atau Koramil, "Bapak-bapak itu hanya membujuk-bujuk atau menakut-nakuti agar kami bersedia menerima ganti rugi," tambahnya. Harga tanah, kata Cipto, ditetapkan sepihak. Menurut mereka yang bertahan ini, karena pemerintah yang mau membeli, mestinya "ya rakyatlah yang menentukan harganya." Bagai jatuh tertimpa tangga, sementara keamanan dapur terancam, sejak 3 tahun lalu, KTP Cipto dibubuhi tanda ET. "Padahal, dua KTP saya sebelumnya bersih dari coretan seperti itu," tuturnya, sembari memperlihatkan dua lembar KTP lama. Dia mengaku tak pernah berurusan dengan PKI. "Saya ini wong bodo kepla-keplo, kok dituduh PKI," sambungnya. Isu PKI di desanya baru mencuat setelah penggusuran penduduk macet gara-gara kesepakatan ganti rugi tak tercapai. Kini Cipto sekeluarga nebeng di rumah adiknya, masih di Dukuh Ngrakum. Dia mengaku tak mengantungi duit sepeser pun, sementara gabah dan singkong hasil panenannya menipis sudah. Di saat sulit ini, pekan lalu, dua anaknya terserang mencret. Dia merasa tak punya biaya untuk membawanya ke dokter, dan tak tahu bahwa di Posko Keamanan Kemusu tersedia tenaga medis. "Saya puasa ngrowot (tidak makan nasi) tiga hari, untuk kesembuhan anak saya," katanya. Terpisah oleh genangan air sekitar 400 meter dari rumah Cipto, Subadi juga tengah masygul dengan gerakan air waduk yang kian meninggi itu. Ketua RT 1 Dukuh Mhanger ini telah pula bersiaga. Dinding-dinding kamar, dalam rumah kayunya, telah dia bongkar, papan-papan kayu dia ikat, agar sewaktu-waktu gampang diungsikan. Badi, 34 tahun, telah menyiapkan sepetak kapling di lereng bukit, sekitar 100 meter dari rumahnya, sebagai tempat pengungsian. Badi emoh menyentuh ganti rugi dari pemerintah, yang dianggap tak sebanding dengan nilai tanah yang sebenarnya. "Pemerintah hanya menentukan ganti rugi secara global, tanaman-tanaman di atasnya sama sekali tidak diperhitungkan," ujarnya kesal. Maka, meski air waduk tinggal sepuluh langkah dari rumahnya, Badi belum juga menyingkir. Bagi Badi, ganti rugi Rp 805 untuk setiap m2 pekarangannya terlalu rendah. "Sebab, di situ ada 13 pohon kelapa," tuturnya. Menurut pengalamannya, sebatang pohon kelapa yang berumur 7-15 tahun bisa menghasilkan Rp 12.000 setahun, kata Badi sambil menunjuk ke pohon kelapanya yang tumbuh doyong yang kini mulai terendam air. Subadi telah bulat tekadnya merelakan 0,7 ha tegal dan sebahu sawahnya -- yang kini belum tersentuh air -- menjadi penghuni dasar waduk nantinya. Pilihan itu ia jatuhkan ketimbang harus menerima harga yang dianggapnya kurang pantas. "Biarlah saya tak punya sawah dan tegalan, tapi sebagai gantinya saya punya segoro (laut)," ujar Badi. Lelaki yang hanya punya ijazah SD ini sudah punya rencana. Bila nanti sawah dan tegalnya tenggelam, dia akan menjual sapinya untuk menyambung hidup, sambil memburuh di sawah orang, di luar kompleks waduk. Tidak khawatir digusur paksa? "Lha, masak pemerintah mau ingkar dari dasar negara Pancasila," jawabnya. Sementara itu, di Dukuh Rejosari, Desa Klayen, Kecamatan Juwangi, Boyolali tempat penampungan untuk bekas penghuni Kemusu -- Sopawiro Karsan 60 tahun tampak bersemangat mengayunkan cangkul di kebunnya, di belakang rumah. "Mumpung hujan masih turun, saya mau menanam padi," kata penghuni Kayen yang baru satu bulan itu. Dulunya, laki-laki buta huruf itu tinggal di Dukuh Ngrakum. Karsan mengaku mulai menyukai Rejosari yang berbukit-bukit itu. "Di sini airnya mudah, gali tanah 5 meter airnya sudah muncrat," tuturnya. Ketika tinggal di Ngrakum, Karsan harus berjalan sejauh 500 meter ke tepi Kali Serang, untuk bisa ketemu air. "Mandi, cuci, dan buang hajat, ya di kali itu," ceritanya. Tanah jatah seluas 1.000 m2 diterimanya dengan lapang. "Pokoknya, di sini bisa menanam padi." Keikhlasan Karsan pindah desa karena, "Saya berutang budi pada pemerintah." Seorang anaknya mendapat cesempatan kuliah program diploma di IKIP Negeri Semarang, sedangkan seorang lainnya bisa sekolah di SMP Negeri. "Bayarannya murah," tutur Karsan. "Saya tidak ingin menjadi orang yang tak tahu terima kasih," katanya lagi. Ganti rugi pun dia ambil. "Tidak dipotong sedikit pun," ujar Karsan, yang kini menjabat ketua RT di Rejosan. Di depan rumah Karsan, adalah sebuah rumah yang tampak paling bersih di seluruh Rejosari. Rumah itu punya jendela nako yang menghadap ke jalan. Halaman rumahnya ditumbuhi tanaman tumpang sari. Ada kacang merah, kedelai, terung, jagung, dan gambas. "Ini hanya coba-coba, kok. Ternyata tanaman itu tumbuh bagus," ujar Saadi, si pemilik rumah. Lelaki 40 tahun ini hijrah ke Kayen 3 bulan lalu. Dia orang pertama yang menghuni Rejosari. Sama halnya dengan Karsan, Saadi berasal dari Desa Ngrakum. "Sayang, orang Ngrakum pada tidak mau datang melihat ke sini, dan tetap menyangka Kayen tak subur," ujarnya. Soal lahan yang hanya 1.000 m2 tak dirisaukan Saadi yang guru SD ini. Apalagi tugasnya sebagai guru dijamin kelangsungannya. Sekolah lamanya, SD Ngrakum, dirobohkan beberapa bulan lalu. Ia lalu dipindahkan ke SD Wonorejo, tak jauh dari Rejosari. Istrinya kini membuka warung kelontong dan tampak laris. Bila Saadi tampak bersyukur, itu juga karena ia bisa menikmati pelbagai fasilitas yang tak ada di Ngrakum atau Nglanji. Di tempat barunya ada puskemas, pasar, balai desa, dan masjid yang megah. Dan hingga pekan ini Pak Guru ini masih mendapatkan jatah bantuan berupa ikan asin, minyak goreng, supermi, gula pasir, kecap, benih palawija. Juga, seekor babon dan jago. Tapi lain Saadi lain pula Yatmo Sudaryo. Bapak berusia 52 tahun itu menganggap semua iming-iming itu bak angin. Tokoh informal dari Dukuh Kedungpring, Kelurahan Nglanji, Kemusu ini bersama 35 KK yang lain membangun permukiman "Kedungpring Baru" di lereng bukit gersang milik Perhutani. Desanya yang lama sudah menghilang ditelan air. Yatmo berniat tetap bertahan, "Kecuali pemerintah memberikan tanah pengganti yang sama luasnya." Sikapnya ini selalu dia kemukakan di berbagai forum pertemuan. Akibatnya, Yatmo sering dipanggil ke Koramil, Polsek, Kantor Kecamatan, Kodim, Polres, dan Kabupaten. Tapi Yatmo tak goyah. "Hidup di zaman merdeka, kok, seperti di zaman Jepang orang dipaksa menyerahkan hak miliknya tanpa memperoleh penggantian yang layak," ujarnya. Sementara itu, dalam upaya menaklukkan keteguhan sikap Yatmo dan kawan-kawannya, petugas sering mengadakan pendekatan dari rumah ke rumah, di malam hari. Ini ternyata menimbulkan salah paham. Penduduk ketakutan, memilih tidur di tegalan untuk menghindarkan tekanan petugas. Ketika itulah Yatmo meminta bantuan hukum ke LBH Yogya. Tak ada hasilnya. Lalu dicobanya dengan beberapa kawannya ke Jakarta meminta bantuan ke lembaga bantuan hukum yang dipimpin oleh Bambang Sulistomo, putra almarhum Bung Tomo. Bersama Bambang, 23 November 1987, Yatmo berhasil menemui Menteri Dalam Negeri, kala itu masih Soepardjo Rustam. Kali ini, alhamdulillah, ikhtiar Yatmo tidak sia-sia. Tekanan terhadap dia dan warga yang lain mulai mengendur. Tapi, tetap, perundingan mengalami jalan buntu. Sementara itu, air terus bergerak naik. "Mungkin, kami yang di sini memang sudah tidak diperhatikan lagi," Yatmo mengeluh. Ia merasa pemerintah menuntut pengorbanan terlalu banyak. Adalah cerita yang agak lain yang dialami Samadi, 60 tahun, warga Nglanji yang kini bermukim di "Nglanji Baru". Semula Samadi ikut "garis keras" tak sudi menyentuh uang ganti rugi. Itu menyebabkan ia digiring ke kantor Koramil. "Di situ saya dipoloro (dianiaya)," katanya. Ketika itu, sekitar dua tahun silam, Samadi mendapat panggilan ke Koramil. Kakek ini ketakutan. Benar saja, lima petugas yang menanyainya bertindak kasar. Kepala saya didengklak-dengklakke (ditarik-tarik) ke belakang," tutur bapak tujuh anak ini. Lalu, seorang petugas menggampari mukanya. Adegan itu, tutur Samadi, disaksikan oleh Camat Kemusu, Soerono. Setelah kena gampar, nyali Samadi kontan menciut. Dia segera membubuhkan cap jempol di sebuah formulir, dan melepas pekarangannya yang 2.700 m2 untuk ditukar uang Rp 1,5 juta. Tapi dia sempat mengecoh petugas Sepetak sawahnya. 1.250 m2, luput dari penjempolan. Untuk menghibur diri, kini setiap hari Samadi memandangi bendera merah putih yang berkibar di depan gubuknya. Bendera pusaka, dengan warna merah yang telah kusam itu dipancangkan pada tiang bambu setinggi 10 meter. Dengan bendera di depan mata, "Saya masih bisa ngrumaosi nggadahi nagari (merakasan memiliki negara)," ujarnya. Ada yang dia prihatinkan nasib puluhan anak-anak "Nglanji Baru" yang terpaksa tidak sekolah dan berhenti mengaji. "Beri kami sekolah dan masjid."Putut Tri Husodo, Aries Margono, Heddy Lugito, Kastoyo Ramelan, dan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini