Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kali ini nasution digugat

Keluarga almarhum Soekendro menggugat pavilyun milik keluarga AH Nasution. secara diam-diam digugat sejak februari 1988. pihak Nasution menolak. sejak 1971 rumah itu diberikan kepada soekendro atas nama jabatan.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIWAYAT hidup A.H. Nasution turun naik, (baca saja rubrik Memoar di majalah ini), tapi belum pernah ia mengalami yang seperti ini: ia terlibat bukan soal politik, tapi soal rumah. Ia digugat. Dalam sidang yang sepi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pekan lalu itu, ternyata keluarga A.H. Nasution sejak Februari 1988 digugat oleh keluarga Soekendro. Persisnya oleh Ny. Asyati Soekendro dan putrinya, lewat Pengacara Gunadi Ramelan. Yang jadi perkara ialah rumah di Jalan Teuku Umar yang elite itu. Rumah ini memang bukan rumah yang didiami keluarga Nasution, melainkan satu bangunan di sampingnya. Di pavilyunnya tinggal keluarga Sjamsul dan B.M. Sitompul, anak buah Nasution semasa menjabat Ketua MPRS. Di bagian induknya terdapat kantor lima yayasan sosial yang dipimpin Nasution atau istrinya. Menurut penggugat, penghunian rumah ini tidak sah. Rumah itu, kata mereka, telah jadi milik penggugat sejak 1971. Yakni berdasarkan sebuah Surat Keputusan Dirjen Pos dan Telekomunikasi. Pihak Nasution, yang diwakili oleh Pengacara M. Hindasih Syafarudin, meragukan keabsahan surat itu. Sebab, surat itu menegaskan serah terima rumah itu bukan kepada Soekendro pribadi, tapi kepada Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (Kotoe). Hubungan Soekendro dan Kotoe penting: ia adalah Menteri Kepala Staf Kotoe, ketika PN Postel menyerahterimakan rumah ini. Tapi, menurut pihak Nasution, didasarkan pada Berita Acara Serah Terima PN Postel kepada Kotoe yang diwakili Soebianto, 29 Juni 1964, jelas ada pemisahan antara Soekendro dan jabatannya. Apalagi ada pernyataan Letjen. (Purn.) R. Hidayat tertanggal 6 Juni 1974. Hidayat, ketika itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan Darat, menyatakan rumah itu diserahkan kepada Kotoe sebagai instansi. Rumah di Jalan Teuku Umar 42 ini memang bisa jadi saksi sejarah politik Indonesia. Menurut catatan, penghuninya yang pertama adalah A.C. Hill, pimpinan Cable & Wireless Ltd., sebuah perusahaan telekomunikasi patungan Inggris & Australia. Penghuni ini terpaksa hengkang ketika terjadi aksi pengganyangan rumah Inggris oleh PKI, September 1963. Beruntung rumah ini tak jadi dibakar. Penyelamatnya adalah satuan pengawal Jend. Nasution, waktu itu Menteri Keamanan Nasional, yang tinggal di nomor 40. Rumah kosong ini pun berubah jadi milik pemerintah. Persisnya milik PN Postel yang telah membelinya dari Cable & Wireless Ltd., 4 Juni 1964. Kemudian rumah ini diserahkan kepada Kotoe, 29 Juni 1964. Namun, Kotoe ternyata tak berumur panjang. Setelah pecah G30S-PKI, instansi ini dibubarkan dan segala harta bendanya dialihkan kepada Komando Tertinggi (Koti). Koti segera menemukan manfaat rumah kosong ini. Antara lain untuk menampung satuan penyawal Nasution yang semakin besar jumlahnya. Maklum, pada dinihari 1 Oktober 1965, pasukan Tjakrabirawa pengikut Letkol. Untung sempat mencoba menculik Nasution, dan hanya berhasil menangkap ajudan dan menembak putrinya, Ade Irma Suryani. Para pengawal memanfaatkan rumah itu hanya sampai selesainya masa jabatan Nasution sebagai Ketua MPRS, 1972. Sesudah itu, gedung utama dipakai buat kegiatan beberapa yayasan sosial yang dipimpin oleh Nasution atau istrinya. Nasution menggunakannya atas izin pemerintah. Mulanya oleh Sekretariat Negara, instansi pemerintah yang berhak atas rumah ini sejak 1966. Kemudian pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Surat Izin Penghunian (SIP) pada 13 April 1974. Karena dianggap penggunaannya untuk kegiatan sosial, rumah itu bebas dari pungutan pajak dan sewa. Pemerintah DKI, yang dalam sengketa ini diajukan sebagai "turut tergugat", rupanya dianggap tak mengacuhkan protes Soekendro. Sebab, pada 30 Mei 1973, almarhum Soekendro melayangkan surat ke pemerintah DKI, menyatakan persil itu miliknya. Ia juga meminta DKI untuk tidak mengeluarkan SIP. Surat ini tampaknya merupakan upaya Soekendro untuk mendapatkan rumah yang ia anggap sebagai miliknya itu. Sejak Maret 1972, Soekendro memang telah menulis surat kepada Nasution, meminta agar rumah itu diserahkan kepadanya. Dilampirkan juga salinan dokumen untuk memperkuat permintaannya itu. Dua buah surat lagi sempat dilayangkan Soekendro kepada Nasution setahun kemudian. Namun, sampai mayor jenderal ini meninggal di tahun 1984, permohonan ini tak dikabulkan. Bukan berarti tuntut berhenti. Ahli waris Soekendro meneruskan upaya ini. Bahkan sejak Februari tahun lalu ahli waris Soekendro memasukkan gugatannya ke Pengadilan Jakarta Pusat. Di pengadilan, kasus ini malah berkembang semakin rumit. Departemen Keuangan mengirimkan pengacaranya untuk melakukan intervensi. Sebab, menurut ketentuan, penjualan rumah milik negara harus seizin Menteri Keuangan. Pihak Nasution dan Soekendro menolak memberi keterangan mengenai sengketa ini. Bagi banyak orang yang mengenal kedua tokoh ABRI itu, sengketa kali ini mengherankan. Sebab, antara Nasution dan Soekendro sebenarnya terjalin hubungan akrab. Soekendro cukup lama mendampingi Nasution di lingkungan Siliwangi. Namun, menjelang 1965, rupanya hubungan keduanya dikabarkan merenggang. Dan kerenggangan itu kini kian nampak dengan sengketa rumah antara kedua keluarga itu.Bambang Harymurty, Linda Djalil, Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum