Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lalu, apa yang harus dilakukan ?

Arief budiman mengusulkan sebuah jalan keluar bagi kasus kedungombo. bantuan atas prakarsa sejumlah tokoh swasta terhambat. bank dunia yang memberi bantuan ingin mempelajari kasus ini.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang harus dilakukan? Mau diapakan 1.700 kepala keluarga yang masih bertahan di Kedungombo itu? Jawab pemerintah jelas: pindahkan ke tempat yang sudah disediakan. Tapi yang mengganjal ialah: telah lama di sana ada bibit perasaan tidak tenteram dengan aparat pemerintah. Sadar atau tidak. Kedungombo dulu memang basis PKI. Meski tak berarti semua penduduk adalah komunis, mereka umumnya telanjur waswas dan tak pasti dengan segala yang datang dari pemerintah. Hasilnya adalah apa yang disebut Dr. Arief Budiman sebagai "contoh pembangkangan" yang unik. "Mereka berani karena terpojok," kata budayawan dan sosiolog dari Universitas Satya Wacana, Salatiga itu. Untuk mengatasi itu, Arief Budiman menawarkan jalan keluar: pemerintah perlu mengizinkan organisasi-organisasi nonpemerintah membantu penduduk. Selain itu, bekas penduduk Kedungombo diberi alternatif kehidupan baru, misalnya menjadi nelayan. Karena mengubah pola kehidupan dari petani menjadi nelayan tidak gampang, mereka harus dididik selama sedikitnya dua tahun. Mengingat waswasnya sikap penduduk kepada tindakan pemerintah, pelaksana proyek ini sebaiknya swasta. Kalaupun mau ditransmigrasikan, kata Arief Budiman pula, sebagian penduduk perlu diajak melihat contoh lokasi yang akan dihuni. Ini pernah dilakukan Satya Wacana, dengan membawa penduduk ke Muko-muko, Bengkulu. Tapi sebelum itu semua dilaksanakan, ada satu soal yang mesti diselesaikan. Yaitu soal tuduhan terhadap sebagian penduduk sebagai bekas anggota OT (organisai terlarang) atau ET (eks tahanan politik). Alias PKI. Tuduhan itu telah menyebabkan "perasaan sakit, dan mungkin dendam", seperti kata salah seorang pekerja sosial. Ini harus disembuhkan dulu, hingga mereka kelak memasuki hidup baru, "dalam suasana hangat dan mantap," tambahnya. Pemerintah sendiri memang cenderung untuk, seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri Rudini, "persuasif." Pemerintah harus "tidak boleh seenaknya membawa atau menangkapi mereka," katanya. Departemennya kini tengah memantau kasus ini secara khusus. "Saya ingin tahu secara murni dan obyektif apa yang terjadi," katanya lagi. Dalam jangka pendek, soalnya ialah bagaimana menyalurkan bantuan yang sudah terkumpul atas prakarsa sejumlah tokoh swasta itu: uang tunai sekitar Rp 8 juta, 500 kg beras, pakaian bekas, bacaan anak- anak. "Semua itu tetap akan kami salurkan, entah bagaimana caranya," kata Slamet Rahardjo, guru besar yang bersama Pastor Mangunwijaya mengumpulkan bantuan itu. Slamet Rahardjo dan Mangunwijaya bertekad menyampaikannya secara langsung. Tak melalui pemerintah daerah, juga tak disampaikan di Kayen, tempat permukiman baru. "Sebab masalahnya tidak terletak di Kayen, tapi di Kedongombo," ujarnya. Kelompok lain, Yayasan Studi dan Bantuan Hukum Palamarta Indonesia di Solo, juga menghimpun beras dan gula pasir serta pakaian bekas. Beberapa dokter dan guru mendaftar sebagai sukarelawan. Belakangan semua itu terpaksa dikembalikan setelah pemerintah daerah melarang pengiriman sumbangan. Yang kemudian harus dilakukan dalam jangka panjang -- setelah waduk penuh dan penduduk terpaksa pindah semua akhirnya -- ialah bagaimana belajar dari kasus ini. Khususnya bagi pemerintah. Bank Dunia, yang membantu US$ 156 juta atau 60% dari seluruh biaya pembangunan waduk sebesar US$ 283 juta, juga tertarik. "Kami sedang mencari tahu apa yang terjadi, dan bagaimana memecahkan masalahnya," kata Willem Struben, kepala staf operasi Bank Dunia perwakilan Indonesia di Jakarta. "Kasus ini merupakan masalah sosial terbesar di antara proyek-proyek Bank Dunia di sini, seperti proyek pembangkit tenaga listrik Cirata dan Suaralaya IV," tuturnya. Menurut Struben, 10-20 tahun yang lalu proyek-proyek pembangunan sering mengecilkan faktor penduduk. Tapi kini masalah seperti itu seharusnya tidak boleh lagi terjadi. "Apalagi dengan proyek-proyek Bank Dunia yang selalu memperhatikan kriteria ekonomi dan sosial, termasuk permukiman kembali penduduk," ucap Struben lagi. Ia menyatakan bahwa ketika proyek itu dirancang, pemerintah RI maupun Bank Dunia sudah mendiskusikan dampak yang akan muncul dari segi ekonomi dan sosial, termasuk permukiman, kembali penduduk. Maka, "Kami sangat bersimpati dalam majalah ini," ujarnya.Budiman S. Hartoyo, Syafiq Basri, Tri Budianto Soekarno (Jakarta), Katoyo Ramalan, Syahril Chili, (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum