DI depan sidang pleno DPRD Sum-Bar awal April lalu, Zainul Arifin Lisa . menanyakan, "Apa tindakan Pemda terhadap kegiatan eks anggota PKI?" Zainul minta perhatian semua pihak tentang adanya maksud eks anggota PKI hendak mendirikan partai baru - di luar Golkar, PPP, dan PDI. "Sungguh berani mereka," kata Zainul. Dalam nota jawabannya, Wakil Gubernur Sum-Bar Syurkani mengakui, Siraj Maris dan Royan Muhammaddin telah 5 kali mengirimkan surat ke berbagai departemen dan instansi, upaya mereka dibenarkan mendirikan partai baru yang berasaskan Pancasila. Anggotanya, ya, seluruh eks anggota partai terlarang. Pada surat pertama yang berjudul "Perasaan Mereka" dan ditujukan kepada Mendagri, Siraj dan Royanmengeluhkan nasib bekas anggota partai terlarang itu. Katanya, persoalan hukum dan pembinaan bagi mereka sudah selesai. Toh kesengsaraan tetap saja menghantui. "Kami terhina setiap kali pejabat menyerukan awas bahaya laten PKI," kata Siraj dalam surat itu. "Kami terus dilacak dan terancam. Seluruh lapangan kerja tertutup bagi kami." Menurut Siraj, mereka ingin memperoleh hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya, seperti mendapatkan perumahan dan pendidikan. "Sebab itu, kami mengharapkan pemerintah menjadikan kami warga Pancasilais." Siraj menulis, "Pancasila yang telah dewasa tidak akan mencari kesalahan dan memukul terus lawan-lawannya yang sudah tergeletak." Karena itu, "Kami mohon diizinkan mendirikan partai baru," kata Siraj. Surat-surat itu tak dijawab. Yang muncul: panggilan pihak yang berwajib. Pada 27 Agustus sampai 2 September tahun lalu, keduanya diperiksa di Makodim Pasaman. Siraj mengaku, dialah penulis surat-surat itu. Royan, yang bekas anggota Lekra itu, ia mengaku diajak Sirai bekerja sama. Siraj mengatakan, dia dan Royan belum memberi nama pada organisasi yang bakal dibentuknya itu. "Tapi setelah ada izin, kami akan membikin anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya," katanya. Adakah "pihak lain" di belakang kedua orang itu ? Sumber TEMPO di Kodam I Bukit Barisan mengakui, banyak nama disebut Siraj sebagai kompanyonnya mendirikan partai baru. "Orang-orang yang dilibatkan itu ternyata tak kenal Siraj," kata sumber itu. Syurkani mengatakan, motivasi Siraj semata-mata karena kesulitan ekonomi. Setidak-tidaknya, begitulah hasil sementara yang ditemukan dalam pemeriksaan. "Dia memanang perhatian pemerintah supaya meninjau status kepegawaiannya," kata Syurkani. Siraj, 63 tahun, dipecat sebagai pegawai Bagian Tata Hukum Kantor Bupati Payakumbuh pada 1968, karena tercatat sebagai pengurus Partindo setempat. Bekas tahanan politik golongan C ini mula-mula aktif di Partai Sosialis Indonesia, kemudian pindah ke PNI. Setelah itu dia masuk ke PKI. Sebelum G-30-S meletus, dia hijrah ke Partindo. Sedang Royan, 43 tahun, bekas guru SD Negeri di Panti, dipecat sebagai pegawai negeri pada 1966. "Saya mau mengetik surat-surat yang dikonsep Siraj karena saya juga ingin status kepegawaian saya ditinjau kembali," kata Royan, yang kini hidup sebagai pedagang antardesa. Siraj dikenal suka hidup menyendiri. Sehari-hari ia kini berladang kopi dan cengkeh, dan sekali seminggu turun ke Pasar Rao, membuka warung pangkas. 2 "Saya tak kuat ke ladang. Istri saya sakit pula. Saya ingin mendapat pensiun, supaya tenang sedikit," katanya. Dalih itu tak sepenuhnya dipercayai pihak berwajib. "Ini satu gejala baru yang akan kami kejar terus," kata sumber TEMPO di Kodam I Bukit Barisan. Di Sum-Bar ada 33 ribu orang bekas anggota partai terlarang, di antaranya 1.500 golongan B. Siraj dan Royan tidak ditahan. Sebab, mereka mencabut permohonannya. "Saya mencabutnya dengan sukarela. Tapi mohon pengertian, saya sudah 27 tahun menjadi pegawai negeri," kata Siraj. Dirjen Sospol Depdagri Harisoegiman mengatakan, Undang-Undang tentang Parpol dan Golkar menentukan bahwa hanya dua partai, PPP dan PDI, serta Golkar, di Indonesia. Sedang Instruksi Mendagri Nomor 32/1981 menyebutkan, eks tahanan politik dilarang menjadi anggota orpol. "Menjadi anggota saja tidak boleh, apalagi membuat partai baru," katanya. Para bekas tapol itu juga dilarang menjadi guru atau dosen, pendeta, dalang maupun wartawan. "Larangan itu jelas hanya pada posisi-posisi yang bisa mempengaruhi massa," ujar Harisoegiman. Monaris Simangunsong & Fachrul Rasyad (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini