Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewas KPK bakal memeriksa lima saksi dalam kasus etik Ketua KPK Firli Bahuri.
Saksi yang akan diperiksa pada Senin ini untuk memperkuat bukti atas laporan dugaan pemerasan, gratifikasi, dan ketidakjujuran Firli
Dewas KPK disebut hanya memberikan sanksi ringan.
JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan terhadap lima orang untuk menggali dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri. Kelima orang yang menjadi saksi itu adalah pejabat di Kementerian Pertanian dan di lingkup internal KPK serta mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami masih memerlukan tambahan bukti-bukti, baik berupa dokumen maupun saksi-saksi," kata anggota Dewas KPK, Albertina Ho, kepada Tempo, Sabtu, 25 November lalu. Pemeriksaan kelima saksi tersebut dijadwalkan pada Senin ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albertina menjelaskan, Dewas telah menerima dua laporan dugaan pelanggaran etik Firli. Pertama, Firli diduga bertemu dengan pihak beperkara, yaitu Syahrul Yasin Limpo. Dugaan pelanggaran etik itu dilaporkan oleh kelompok mahasiswa Komite Mahasiswa Peduli Hukum pada Jumat, 6 Oktober 2023. Menurut para pelapor, Firli diduga terindikasi melakukan pelanggaran etik setelah bertemu dengan pihak yang kasusnya sedang ditangani oleh penyidik KPK.
Laporan kedua, Firli diduga tidak mencantumkan rumah di Jalan Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Laporan itu disampaikan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) ke Dewan Pengawas pada 7 November lalu.
Firli sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi dalam penanganan perkara di Kementerian Pertanian oleh penyidik kepolisian pada Rabu lalu. Bekas Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu dijerat Pasal 12e atau Pasal 12B dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Kasus dugaan pemerasan Firli terhadap pejabat di Kementerian Pertanian ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 12 Agustus lalu dan naik ke tahap penyidikan pada 6 Oktober lalu. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya. Pemberhentian itu mengacu pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Presiden telah menunjuk komisioner KPK, Nawawi Pomolango, sebagai pengganti Firli.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri usai memenuhi panggilan Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK (ACLC), Jakarta, 20 November 2023. ANTARA/M Risyal Hidayat
Albertina Ho mengatakan saksi yang akan diperiksa pada Senin ini untuk memperkuat bukti atas laporan dugaan pemerasan, gratifikasi, dan ketidakjujuran Firli dalam memberikan LHKPN. Pemeriksaan tersebut, kata dia, merupakan pemeriksaan pendahuluan yang hasilnya akan menentukan bisa atau tidaknya laporan tersebut berlanjut ke sidang etik. Sebab, kata dia, Dewas baru bisa menyidangkan dugaan pelanggaran etik Firli setelah bukti-bukti yang dikumpulkan dianggap cukup.
Dia menjelaskan, proses di Dewas masih berjalan sehingga belum bisa disampaikan kesimpulannya. "Senin ini, kami memeriksa kembali lima orang yang menjadi saksi. Setelah itu, kami akan mengevaluasi lagi sudah cukup atau belum bukti-buktinya," ujar Albertina.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai pembuktian pemeriksaan etik dalam kasus Firli sebenarnya lebih mudah ketimbang penyelidikan dan penyidikan di Polda Metro Jaya. Kurnia menilai menjadi hal yang aneh ketika penyidikan kepolisian telah menetapkan Firli sebagai tersangka, sedangkan Dewas KPK belum menemukan apa-apa.
Apalagi, menurut Kurnia, delik penerimaan uang dalam peraturan Dewan Pengawas KPK sudah jelas dilarang karena melanggar kode etik. Jadi seharusnya, kata dia, Dewas bisa lebih cepat memproses kasus dugaan pelanggaran Firli dan cepat menyidangkan, lalu menjatuhkan sanksi berat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Kurnia menilai Dewas saat menangani perkara dugaan etik pimpinan komisi antirasuah seakan-akan tak berdaya. Sebab, banyak kasus dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK hasilnya terlihat tumpul. Dia menyebutkan Firli sudah dua kali terbukti melanggar kode etik, yakni bertemu dengan pihak beperkara dan memamerkan gaya hidup mewah.
Firli disebut-sebut menemui Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB). Padahal KPK saat itu sedang menangani kasus dugaan korupsi divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. TGB berstatus sebagai saksi dalam kasus ini. Firli juga disebut menggunakan helikopter untuk kegiatan pribadi ke Baturaja, Sumatera Selatan, pada Juni 2020. Kedua tindakan tersebut, menurut Kurnia, bisa saja berujung pada pelanggaran etik yang lebih berat jika diselidiki lebih saksama. Namun Dewas KPK hanya memberikan sanksi ringan.
Sanksi ringan juga diberikan kepada eks pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar, yang disebut menerima tiket perhelatan MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dan fasilitas penginapan. Dewas hanya menjatuhkan sanksi pemotongan gaji yang nilainya tak seberapa. Padahal pelanggarannya tergolong berat. Setelah sanksi itu, belakangan Lili mengundurkan diri dari KPK. "Dalam banyak kasus, Dewas justru seperti pengacara pimpinan KPK," ujarnya. "Padahal Dewas seharusnya menjadi menara gading untuk pengawasan kerja KPK."
Proses Etik Seharusnya Lebih Mudah
Menurut Kurnia, metode dan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik di Dewas KPK dan kepolisian sebenarnya hampir sama. Mereka sama-sama memeriksa saksi dan dokumen. Proses pemeriksaan etik dalam kasus Firli sebenarnya lebih mudah dilakukan karena penyidik kepolisian telah menetapkan dia sebagai tersangka.
Dewas KPK juga sudah datang ke Badan Reserse Kriminal Polri beberapa hari lalu. Kedatangan itu, menurut Kurnia, ada kemungkinan untuk mendalami proses hukum Firli di kepolisian. Namun Kurnia melihat proses tersebut lambat. Proses pembuktian di Dewas, menurut Kurnia, juga terlihat menjadi lebih sulit daripada pembuktian hukum di kepolisian. Dia menduga hal itu terjadi karena anggota Dewas dinilai tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan kode etik itu sendiri.
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Chairul Huda, menilai Dewas KPK terlihat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan putusan etik kasus komisioner KPK. Dia menilai kewenangan Dewas terbatas dan mesti mempertimbangkan eksistensi lembaga itu secara keseluruhan. "Sehingga putusannya memang jadi sering terlihat mandul," ujar penasihat Kapolri itu.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo