Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di bawah bayang-bayang pertumbuhan yang..

Hasil pengumpulan pendapat (poll tempo) tentang beberapa masalah yang dihadapi indonesia dalam usia 38 tahun kemerdekaannya. (nas)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA yang membayangi Indonesia tahun ini bukanlah 38, melainkan angka dua. Yang pertama menunjukkan umur Republik, yang diproklamasikan pada 1945 dengan harapan besar dan menempuh riwayat yang riuh rendah. Angka yang kedua menunjukkan pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Angka untuk 1982 itu ternyata masih meninggalkan kemuramannya sampai pertengahan tahun ini. Dan untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, kalangan luas masyarakat Indonesia jadi sadar, dan acuh, pada apa artinya angka pertumbuhan ekonomi. Seperti biasa, orang memang baru peduli akan satu hal tatkala yang penting baginya itu nyaris luput. Tentu, pertumbuhan ekonomi tahun ini tak serta merta akan terlepas dari tangan. Indonesia belum lagi mengalami pertumbuhan di bawah nol -- satu hal yang pernah terjadi di negeri semaju Amerika Serikat di tahun lalu. Namun angka dua, persisnya 2%, untuk tahun 1982, dan mungkin sedikit di atas itu untuk tahun ini, bagaimanapun juga angka yang sayu. Setidaknya, jauh dari cemerlangnya angka-angka satu dasawarsa sebelumnya. Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto antara 1970-1980 adalah rekor yang belum tertandingi dalam sejarah Republik. Angka terendahnya saja 5% (di tahun 1975). Di tahun 1973 hasil tinggi itu bahkan mencapai 11,3%, dan di tahun 1980 tercatat 9,9%. Kini angka itu anjlok. Di dunia yang tiap satuan ekonominya saling berkait, resesi, paceklik di negeri-negeri industri, akhirnya mengenai Indonesia juga. Proyek pertumbuhan 1983, menurut beberapa sumber, adalah di bawah 4% -- meskipun dengan memperhitungkan tanda-tanda terang dalam perekonomian di AS dan Jepang. Padahal angka 4% itu penting. "Buat menombok pertumbuhan yang cuma 2% tahun lalu," kata seorang ekonom terkemuka di Jakarta, "kita harus mampu mencapai lebih 4% tahun ini." Apa jadinya bila tak tercapai? Penduduk bertambah saja tiap tahun. Salah satu kecelakaan sejarah Indonesia yang belum luas diinsyafi ialah telatnya ikhtiar nasional untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Di zaman Bung Karno, angka besar jumlah penduduk malah jadi kebanggaan nasional. Kini sikap lalai itu minta bayarannya: pertumbuhan angkatan kerja mendesak dengan kecepatan tinggi, hampir 3% setahun. Di masa ketika ekonomi laju, desakan itu dapat dielakkan. Di masa angin lagi mati, krisis bukanlah mustahil. Tak mengherankan bila kini suara pesimistis terdengar jelas berkenaan dengan kesempatan kerja bagi penduduk. Dalam pengumpulan pendapat umum yang dilakukan TEMPO tahun ini, sebagian besar -- lebih dari 57% responden melihat bahwa tahun yang akan datang tingkat pengangguran akan kian bertambah (lihat halaman 19). Pemerintah, seperti halnya masyarakat luas, sudah pasti tahu keadaan yang sedang memburuk. Seakan-akan menanggapi kemuraman yang terasa di kehidupan perekonomian masyarakat kini, Presiden Soeharto sendiri berkata, ketika meresmikan pabrik semen di Aceh awal Agustus yang lalu, bahwa pembangunan "tidak selalu dipenuhi sukses-sukses yang menggembirakan." Ucapan arif seperti itu memang jarang didengarkan setelah bertahun-tahun orang di Indonesia terbiasa mengasosiasikan kata "pembangunan" dengan semacam kenduri meriah sebelum mendirikan rumah. Dana dari minyak melimpah, bantuan ke desa-desa deras, proyek-proyek dengan cepat muncul. Seakan-akan pembangunan bukanlah jerih payah: bagaikan tari petani di TVRI tiap sore, orang nampak bekerja tanpa peluh, tanpa cemas, indah, elok, dan sukses. Mungkin setelah melalui dasawarsa yang lancar dan memasuki tahun sukar, pembangunan akan nampak dengan geriginya yang tajam. Ratusan ribu anak muda yang tak dapat pekerjaan akan memenuhi lorong kampung dan jalanan. Mereka harus menciptakan sumber hidup mereka sendiri. Kadang dengan cara yang tak selamanya halal. Dan yang pasti, dengan kapasitas dan hasil yang terbatas. Hasil yang terbatas itu juga akan kian tipis, karena harus dibagi kepada adik-adik mereka yang makin dewasa dan makin banyak. Juga, tak jarang, kepada orangtua mereka yang kehilangan sumber penghasilan. Daya beli akan merendah. Para produsen akan membatasi barang, yang ditawarkan. Usaha baru akan kecil. Lapangan kerja tak akan berkembang -- kecuali bila pemerintahlah yang menciptakannya secara raksasa. Pendeknya, suatu lingkaran puting beliung sedang bankit. Untuk menghadapi itulah pemerintah misalnya menghimpun dana sebesar dapat, begitu uang dari minyak berkurang jauh. Investasi, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta, harus tetap dijaga momentumnya. Tapi jalan tidak gampang. Pinjaman luar negeri, misalnya, merupakan soal yang pelik. Negara-negara kaya tengah cemas melihat begitu besarnya utang dari pelbagai Dunia Ketiga. Utang itu pasti akan mempengaruhi perekonomian mereka sendiri yang sedang payah. Bersamaan dengan itu, seperti yang dihadapi Indonesia, negeri pengutang sendiri harus berhati-hati sekian kali lipat. Terutama buat tahun ini. Jarak antara 1982 dan 1985 hanya dua tahun. Pada tahun 1985 itu, menurut catatan Bank Dunia, pencicilan utang Indonesia akan mencapai puncaknya -- sampai US$ 3,6 milyar. Angka setinggi itu -- sebagai jumlah cicilan untuk seluruh utang sejak masa Orde Baru dan sesudahnya -- bisa bertambah lagi jika di hari-hari ini Indonesia minta pinjaman baru. Beruntung, dari pelbagai indikasi tampak: pemerintah Indonesia sangat sadar meniti buih ke arah dua tahun mendatang ini. Indonesia sempat mengelakkan diri dari "sindrom Meksiko" -- demamnya sebuah negara yang mendadak mumbul, dan gegabah, karena rezeki minyak bumi. Setidaknya karena pengalaman pahit yang lebih dekat: merasa uang minyak dapat dipertaruhkan hampir tanpa perhitungan, di tahun 1970-an perusahaan pemerintah Pertamina meminjam uang besar-besaran dari berbagai bank komersial di luar negeri. Krisis terjadi dengan utang sebesar US$ 10 milyar. Kesadaran timbul. "Itu lembaran hitam dalam sejarah ekonomi kita," kata seorang teknokrat pemerintah mengakui. Namun keberhati-hatian menghimpun dana dari luar akan harus diimbangi kemampuan menghimpun dana dari dalam. Itulah sebabnya dana di masyarakat dicoba disedot melalui kebijaksanaan baru yang cukup radikal di bidang perbankan, yang terkenal dengan "Kebijaksanaan 1 Juni 1983". Tentu saja, seperti dikatakan seorang ahli ekonomi, tindakan ini "cuma meringankan, dan belum menyelesaikan masalah." Agaknya karena itu pula akhir-akhir ini pemerintah mulai menyuarakan perbaikan sistem perpajakan. Yang belum disuarakan ialah bahwa perpajakan bukan cuma berarti pengumpulan uang. Pajak menyangkut hubungan antara warga dan negaranya: yang satu membayar dan yang lain dibayar. Dalam sejarah Eropa Barat karena itu dari pajaklah bermula demokrasi yang lebih luas. Dulu, di sana, hanya orang yang membayar pajak saja yang berhak memberikan suara -- sebab pada akhirnya si pembayar pajak harus tahu buat apa uannya dipakai. Mungkin itu yang akan berkembang di Indonesia, dan dimulai dalam dasawarsa 1980-an ini? Di tahun lalu, misalnya, pada saat hangatnya pemilihan umum, Amirmachmud (waktu itu menteri dalam negeri) membantah bahwa "pembangunan dilakukan sepenuhnya oleh rakyat." Sebab, kata Menteri sebagaimana dikutip Sinar Harapan, sumbangan yang dibayar rakyat paling tinggi 8% dari APBN. Kelak, jika pajak dari rakyat lebih besar ucapan seperti itu bukan saja akan hilang, juga pemerintah akan lebih peka kepada desakan-desakan dari masyarakat. Dan di situlah salah satu problem yang harus dihadapi bersama. Semakin besar dana-dana dari masyarakat, semakin harus bijaksana pemerintah menghadapi aspirasi yang mungkin timbul dari bawah. Tak selamanya, tentu saja, suara dari rakyat sama dengan kebenaran. Tapi yang tak kurang penting ialah kemungkinan ini: dana yang terkumpul dari masyarakat itu tentu sebagian besar datang dari kelas yang berada. Haruskah sebuah pemerintahan Republik Indonesia karena itu memprioritaskan lapisan menengah ke atas itu, sebagai sumber dana yang gemuk? Pertanyaan ini, setidaknya di tahun 1983, masih suatu pertanyaan di awang-awang akademis. Namun ia mencerminkan kegelisahan, dan pilihan-pilihan pahit, yang laten di dalam mengelola negeri ini. Di satu pihak ada kebutuhan pragmatis untuk memanfaatkan sektor masyarakat yang telah maju, untuk mempercepat pertumbuhan. Di lain pihak ada semacam komitmen ideologi untuk menjaga jalan "pemerataan". Lihat usaha menggalakkan ekspor di luar minyak bumi dan gas, misalnya. Menurut ahli ekonomi Prof. Dr. Moh. Sadli, dalam tulisannya di majalah Kadin nomor Agustus ini, menteri perdagangan dalam jangka pendek mengambil commodity approach. Pendekatan ini berdasarkan kapasitas produksi yang sudah ada. Kata Sadli: "Approach ini tampak praktis, tapi dapat dikritik hanya memperhatikan yang sudah ada, sudah maju dan sudah kuat saja." Seraya menyatakan bahwa pendekatan praktis jangka pendek itu saja tak memadai, Sadli mengakui, bahwa "yang mudah harus dilakukan dahulu, agar prosesnya bisa berjalan." Agak selaras dengan pemikiran Sadli adalah ucapan bekas rektor UGAMA, Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo. Dalam keterangannya yang dikutip Kompas awal Agustus yang lalu, Sukadji mengkritik kecenderungan untuk selalu mengutamakan koperasi dan selalu menghukum yang efisien. Dengan kata lain, yang efisien, yang gampang maju, perlu diberi jalan lebih luas. Usaha semacam koperasi, sekiranya tidak efisien, tak usah dipertahankan -- meskipun semangat sosialisme menghendaki itu. Dr. Hadi Soesastro, ahli ekonomi terkemuka dan direktur Centre for Strateic and International Studies, mengutarakan pilihan itu secara lebih jelas kepada TEMPO. "Dulu, menjelang Repelita III, kita katakan pertumbuhan yang tinggi akan memperbesar jurang yang kaya dan miskin. Kini, pertumbuhan itu turun sendiri. Coba lihat saja, apa yang terjadi. Malah semakin buruk hasilnya terhadap pemerataan." Ironis memang -- atau mungkin juga tanda berubahnya situasi bahwa pemerintah yang dulu dikritik karena kurang memperhatikan pemerataan kini diimbau untuk lebih memperhatikan pertumbuhan. Sebagaimana Sukadji menyesalkan pemikiran yang terikat pada terapi "harus-dengan-koperasi", ekonom seperti Hadi Soesastro juga menyatakan, meskipun koperasi harus dapat tempat dalam kehidupan ekonomi, tak berarti "seluruh ekonomi harus dikoperasikan". Dengan kata lain sikap melindungi koperasi dari persaingan bebas justru akan menyebabkan koperasi kian tergantung pada proteksi pemerintah -- dan pertumbuhan ekonomi pun tak akan lancar pula. Namun tak mungkin sebuah pemerintahan Republik Indonesia, baru dalam usia ke-38 dapat dengan gampang mengadakan liberalisasi secara besar-besaran. Sekarang pun, dengan begitu banyak usaha dipegang oleh negara dan perlakuan kredit sangat lunak diberikan kepada pedagang kecil, pemerintah masih sering dituduh menjalankan free fight liberalism. Maka nampaknya harapan agar banyak usaha lebih diserahkan kepada urusan swasta dan kehidupan pasar, tak akan segera dapat dipenuhi. Apalagi di samping komitmen ideologis untuk tidak jatuh ke sistem "kapitalistis", di kalangan birokrasi pemerintah sendiri banyak kepentingan untuk mempertahankan struktur yang ada: monopoli dan tak efisiennya perusahaan negara memang tak sehat, tapi sistem yang sekarang justru banyak memberi kesempatan kerja, dan mungkin juga tambahan rezeki, di antara birokrasi. Dari masalah ini memang nampak dilema pemerintah menghadapi birokrasinya sendiri. Bukan cuma korupsi yang menjengkelkan itu -- yang menyebabkan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani menyerukan kampanye antikorupsi, dan Jaksa Agung Ismail Saleh sibuk membabat benalu di bidang kehutanan. Masalah yang ditimbulkan oleh birokrasi bagi pemerintah, seperti sering dikeluhkan para pejabat sendiri, ialah kurang dipercayainya informasi ke atas, perizinan yang bertele-tele bagi usaha ekonomi dan, tak kurang beratnya, beban anggaran rutin yang segunung mahameru. Masalah itu tambah rumit karena dalam jalinan politik Indonesia kini suatu kompleks telah tumbuh: birokrasi telah bertaut dengan pemerintah, dan demikian pula sebaliknya. Di negara dengan sistem demokrasi Barat dan juga di negara sosialis, pertautan seperti itu pagi-pagi dicoba dihindari. Pimpinan pemerintahan, misalnya menteri kabinet, adalah orang partai. Mereka dengan demikian tak mewakili birokrasi, melainkan mewakili kekuatan lain, atas nama rakyat, untuk menggerakkan aparat yang besar itu. Di Indonesia, dengan Golkar yang pendukung setianya justru aparat itu sendiri, masalahnya lebih tak mudah. Keadaannya akan lain seandainya Golkar berkembang dengan basis yang lebih kukuh di luar birokrasi, hingga sebagai wakil rakyat yang paling utama, kekuatan sosial-politik itu dapat membantu pemerintah membereskan perilaku kepegawaian yang dirasakan menghambat. Kini, mau tak mau, administrasi pemerintahan adalah administrasi yang tetap masih harus menenggang sebuah bentuk yang besar dan lamban. Namun di samping itu semua, pilihan pemerintah untuk bebas dari ratusan ribu pegawai yang tak sepenuhnya efisien bukanlah pilihan yang gampang. Di Indonesia, bagaimanapun juga pemerintah tetap satu penyedia lapangan kerja yang senantiasa sabar, bagaikan sebuah lembaga amal. Justru di masa lapangan kerja kian sempit seperti sekarang, "amal" itu akan meresahkan bila disetop dan diganti dengan efisiensi tulen. Apalagi selalu bisa ditunjukkan bahwa sebenarnya aparat pemerintah masih kurang. Polisi contohnya. Dari banyaknya kecelakaan lalu lintas di jalanan Indonesia saja dapat disimpulkan bahwa perbandingan antara jumlah polisi dan penduduk sangat timpang. Tentu, soalnya barangkali soal alokasi. Terlampau sedikit polisi untuk melayani masyarakat, sementara terlalu banyak pegawai yang hanya berkerumun (dan ngobrol ramai) di jam-jam kantor pelbagai departemen. Betapa pun juga, aparat yang besar memang tak bisa dihindarkan, bila masyarakat sendiri menghendaki campur tangan pemerintah yang terus-menerus. Dewasa ini pemerintah nampaknya tetap diharapkan sebagai dewa yang bisa turun dari langit tiba-tiba bila kesulitan timbul, seperti deus ex machina dalam sandiwara Yunani. Dalam pengumpulan pendapat yang dilakukan TEMPO, misalnya, yang 30% lebih respondennya berpendidikan SLA, ternyata satu hal muncul: hampir 50% mereka menganggap baik buruknya keadaan ekonomi Indonesia tahun mendatang "tergantung pada pemerintah". Tentu saja, pemerintah di negeri seperti Indonesia tak dapat menghindar dari rol yang besar. Pemerintah pula yang biasanya dlharapkan mengelola pelbagai tuntutan yang sulit seperti "pemerataan". Zaman ini, bak kata seorang cendekiawan terkemuka memang bukan hanya zaman revolusi meningkatnya tuntutan. Zaman ini juga zaman revolusi meningkatnya pihak-pihak yang merasa berhak menuntut. Dengan kata lain, ini memang zaman yang paling memusingkan pemerintah di mana saja, kecuali mungkin di negara totaliter. Sebab itu, soal "pemerataan" tak dapat dilepaskan pemerintah sama sekali, biarpun ketika pertumbuhan ekonomi demikian rendahnya. Apalagi di Indonesia perkara ini serta merta dapat menyulut sumbu kekalutan politik yang terpendam dalam sekam. Kategori "kaya" dan "miskin", "ekonomi kuat" dan "ekonomi lemah", dengan langsung bisa diterjemahkan secara garang dalam kategori "Cina" dan "pribumi", "asing" dan "asli" -- lalu kota pun meledak. Seperti tercatat dalam sejarah, ledakan itu selalu menimbulkan korban yang besar dan hasil yang tak ketahuan jatuhnya. Tapi seperti juga tercatat dalam sejarah, konflik antara "pribumi" dan keturunan Cina" terjadi terus berulang-ulang -- bukan cuma di masa Orde Baru. Konflik itu seakan merupakan pola tetap, sejak awal abad ini di bawah pemerintahan Belanda sampai dengan awal "demokrasi terpimpin" Bung Karno, dan hingga sekarang. Pemerintah kini -- yang telah memadamkan kerusuhan sejenis beberapa kali -- tahu betul akan hal itu. Ketidakpuasan pada akhirnya memang dapat menemukan pernyataannya melalui kata-kata yang galak, ataupun simbol yang memikat dan memperkukuh. Dengan kata lain, ketidakpuasan sosial selalu mencari -- sampai akhirnya menemukan -- suatu "bahasa ideologi". Yang merepotkan ialah bahwa kemudian jadi kabur mana yang jadi asap, mana yang jadi api: ketidakpuasan itu, atau ideologi itu. Sejarawan terkemuka Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang termasyhur karena telaahnya mengenai pelbagai pemberontakan petani di Jawa sekitar seabad yang lalu, dengan gamblang mengisahkan hubungan antara ketidakpuasan sosial dan ideologi itu. Seperti diungkapkannya kembali kepada TEMPO di Yogya pekan lalu, dalam pemberontakan petani di Cilegon, Jawa Barat, di tahun 1888, misalnya penyebabnya berbagai macam. Penetrasi pemerintahan kolonial dan pamong praja ke desa memperbesar konflik antara pemlmpin agama dan pamong praja yang sudah terjadi. Sementara itu rasa tak puas terhadap pelbagai peraturan pemerintah juga muncul, dan inovasi seperti sistem pajak dan jarum suntik menggelisahkan rakyat. Ledakan hanya menunggu waktu saja, karena soal sepele. Istri residen kesal mendengar suara azan dari surau di belakang rumah. Sang Residen kemudian mengeluarkan kata-kata, "Kenapa mesti bersuara keras, apa Tuhan tuli?" Kata-kata ini sampai ke kalangan agama -- lalu meletuslah pemberontakan. Nampaknya memang bukan ideoloel itu sendiri yang menyebabkan konflik atau benturan. Meskipun harus dicatat: ideologi pula yang sering memutlakkan perbedaan pendapat yang sebenarnya nisbi. Mungkin itu sebabnya -- dengan kecemasan yang wajar akan benturan sosial-politik di masa yang sedang sulit ini -- pemerintah mencetuskan gagasan "asas tunggal", yang telah diterima oleh Sidang Umum MPR yang lalu. Kalangan organisasi massa nampaknya belum semua menerima -- atau mengerti. Ada rasa cemas bahwa dengan "asas tunggal" itu identitas sebuah organisasi cair dan terhapus. Padahal, identitas suatu kelompok itu sering semacam tempat berlindung bagi banyak orang di zaman ini yang keluar dari rumah, merantau -- dan menemukan kenyataan hidup yang lain. Namun, agaknya salah paham telah terjadi. Seperti dikatakan Roeslan Abdulgani kepada TEMPO pekan lalu, bagi orang yang "kurang mengerti" maksud pemerintah, pidato Presiden Soeharto 1 Oktober 1982 di dalam pelantikan anggota DPR-MPR perlu dibaca baik-baik. Di sana Presiden berkata: "Alangkah baiknya kalau semua kekuatan politik berasaskan Pancasila, tapi ini tidak berarti mematikan kebhinekaan masing-masing kelompok itu." Memang, kata Roeslan pula, ada mereka yang memang "tidak mau menerima Pancasila". Namun bagi yang masih ragu, pemerintah sebaiknya mendengar dasar keraguan mereka." Di samping itu, "pemerintah sebaiknya juga mengemukakan jaminan-jaminan." Mungkin itu berarti dialog, suatu proses panjang yang kadang menjengkelkan. Tapi di bawah bayang-bayang pertumbuhan yang rendah 1983, pilihan sungguh tak banyak. Apa mau dikata, ini memang bangsa yang besar -- dalam jumlah, dalam nasib, dalam tujuan. Perkara sering tak jadi mudah, sengketa sering tak terelakkan. Tapi siapa yang mengimpikan bentrokan, perlu ingat bahwa 38 tahun kemerdekaan adalah periode panjang untuk belajar jadi satu bangsa -- kadang dengan mayat, bumi hangus, pembasmian, permusuhan, perang saudara. Tapi siapakah yang memimpinkan bentrokan lagi? Keresahan memang sering nampak ke permukaan. Tapi orang bisa mengatakan bahwa itu wajar, bila sebuah lingkungan nilai-nilai dengan cepat terbuka dan hal-hal baru menghambur. Dilihat dari sini, keresahan justru sesuatu yang tak terelakkan setelah sekian tahun hasil pembangunan. Memang ironis. Tapi apa boleh buat. Pembangunan dengan sendirinya, bila ia berhasil, membawakan pelbagai hal yang sebelumnya asing, dan tak selamanya menyenangkan -- dari hamburger sampai dengan komputer, dari kosmetik sampai dengan kesadaran statistik. Pada tahap-tahapnya, yang tak akan pernah usai, yang lahir bukanlah Negeri Yang Sempurna, sebuah Utopia. Sebab kesempurnaan sedemikian hanya dongeng ki dalang. Sayangnya, kesalahpahaman nampaknya sering terjadi, karena "masyarakat yang adil dan makmur" itu dianggap sesuatu yang akan tercapai dan selesai -- bukannya sesuatu yang selalu punya cacat, dan karena itu selalu harus dapat disempurnakan. Maka bila ada kekecewaan, sebabnya barangkali itu: harapan yang salah, yang terlalu berlebih. Namun tak semua kekecewaan agaknya harus jadi api yang membakar bom. Apalagi kini, setelah pengalaman bertambah, setelah pandangan berubah. Seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo, gerakan Ratu Adil, dengan loyalitas yang total, yang menyerukan jalan apa pun ke hidup yang sempurna, tak mudah terjadi lagi. Bahkan PKI, yang telah menggunakan cara yang lebih modern, tidak berhasil. Zaman sudah berganti. Orang tak akan datang berduyun-duyun untuk Sawito atau siapa saja yang dianggap Ratu Adil. Benarkah ? Yang pasti, sejarah tak mungkin berulang. Meskipun seperti sering tercatat -- yang bisa berulang adalah kesalahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus