ANGKA yang membayangi Indonesia tahun ini bukanlah 38, melainkan
angka dua.
Yang pertama menunjukkan umur Republik, yang diproklamasikan
pada 1945 dengan harapan besar dan menempuh riwayat yang riuh
rendah. Angka yang kedua menunjukkan pertumbuhan ekonomi tahun
lalu.
Angka untuk 1982 itu ternyata masih meninggalkan kemuramannya
sampai pertengahan tahun ini. Dan untuk pertama kalinya sejak
kemerdekaan, kalangan luas masyarakat Indonesia jadi sadar, dan
acuh, pada apa artinya angka pertumbuhan ekonomi. Seperti biasa,
orang memang baru peduli akan satu hal tatkala yang penting
baginya itu nyaris luput.
Tentu, pertumbuhan ekonomi tahun ini tak serta merta akan
terlepas dari tangan. Indonesia belum lagi mengalami pertumbuhan
di bawah nol -- satu hal yang pernah terjadi di negeri semaju
Amerika Serikat di tahun lalu. Namun angka dua, persisnya 2%,
untuk tahun 1982, dan mungkin sedikit di atas itu untuk tahun
ini, bagaimanapun juga angka yang sayu.
Setidaknya, jauh dari cemerlangnya angka-angka satu dasawarsa
sebelumnya. Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa
pemerintahan Presiden Soeharto antara 1970-1980 adalah rekor
yang belum tertandingi dalam sejarah Republik. Angka terendahnya
saja 5% (di tahun 1975). Di tahun 1973 hasil tinggi itu bahkan
mencapai 11,3%, dan di tahun 1980 tercatat 9,9%.
Kini angka itu anjlok. Di dunia yang tiap satuan ekonominya
saling berkait, resesi, paceklik di negeri-negeri industri,
akhirnya mengenai Indonesia juga. Proyek pertumbuhan 1983,
menurut beberapa sumber, adalah di bawah 4% -- meskipun dengan
memperhitungkan tanda-tanda terang dalam perekonomian di AS dan
Jepang. Padahal angka 4% itu penting. "Buat menombok pertumbuhan
yang cuma 2% tahun lalu," kata seorang ekonom terkemuka di
Jakarta, "kita harus mampu mencapai lebih 4% tahun ini."
Apa jadinya bila tak tercapai? Penduduk bertambah saja tiap
tahun. Salah satu kecelakaan sejarah Indonesia yang belum luas
diinsyafi ialah telatnya ikhtiar nasional untuk mengurangi laju
pertumbuhan penduduk. Di zaman Bung Karno, angka besar jumlah
penduduk malah jadi kebanggaan nasional. Kini sikap lalai itu
minta bayarannya: pertumbuhan angkatan kerja mendesak dengan
kecepatan tinggi, hampir 3% setahun.
Di masa ketika ekonomi laju, desakan itu dapat dielakkan. Di
masa angin lagi mati, krisis bukanlah mustahil. Tak mengherankan
bila kini suara pesimistis terdengar jelas berkenaan dengan
kesempatan kerja bagi penduduk. Dalam pengumpulan pendapat umum
yang dilakukan TEMPO tahun ini, sebagian besar -- lebih dari 57%
responden melihat bahwa tahun yang akan datang tingkat
pengangguran akan kian bertambah (lihat halaman 19).
Pemerintah, seperti halnya masyarakat luas, sudah pasti tahu
keadaan yang sedang memburuk. Seakan-akan menanggapi kemuraman
yang terasa di kehidupan perekonomian masyarakat kini, Presiden
Soeharto sendiri berkata, ketika meresmikan pabrik semen di Aceh
awal Agustus yang lalu, bahwa pembangunan "tidak selalu dipenuhi
sukses-sukses yang menggembirakan."
Ucapan arif seperti itu memang jarang didengarkan setelah
bertahun-tahun orang di Indonesia terbiasa mengasosiasikan kata
"pembangunan" dengan semacam kenduri meriah sebelum mendirikan
rumah. Dana dari minyak melimpah, bantuan ke desa-desa deras,
proyek-proyek dengan cepat muncul. Seakan-akan pembangunan
bukanlah jerih payah: bagaikan tari petani di TVRI tiap sore,
orang nampak bekerja tanpa peluh, tanpa cemas, indah, elok, dan
sukses.
Mungkin setelah melalui dasawarsa yang lancar dan memasuki tahun
sukar, pembangunan akan nampak dengan geriginya yang tajam.
Ratusan ribu anak muda yang tak dapat pekerjaan akan memenuhi
lorong kampung dan jalanan. Mereka harus menciptakan sumber
hidup mereka sendiri. Kadang dengan cara yang tak selamanya
halal. Dan yang pasti, dengan kapasitas dan hasil yang terbatas.
Hasil yang terbatas itu juga akan kian tipis, karena harus
dibagi kepada adik-adik mereka yang makin dewasa dan makin
banyak. Juga, tak jarang, kepada orangtua mereka yang kehilangan
sumber penghasilan. Daya beli akan merendah. Para produsen akan
membatasi barang, yang ditawarkan. Usaha baru akan kecil.
Lapangan kerja tak akan berkembang -- kecuali bila pemerintahlah
yang menciptakannya secara raksasa.
Pendeknya, suatu lingkaran puting beliung sedang bankit. Untuk
menghadapi itulah pemerintah misalnya menghimpun dana sebesar
dapat, begitu uang dari minyak berkurang jauh. Investasi, baik
oleh pemerintah maupun oleh swasta, harus tetap dijaga
momentumnya.
Tapi jalan tidak gampang. Pinjaman luar negeri, misalnya,
merupakan soal yang pelik. Negara-negara kaya tengah cemas
melihat begitu besarnya utang dari pelbagai Dunia Ketiga. Utang
itu pasti akan mempengaruhi perekonomian mereka sendiri yang
sedang payah. Bersamaan dengan itu, seperti yang dihadapi
Indonesia, negeri pengutang sendiri harus berhati-hati sekian
kali lipat.
Terutama buat tahun ini. Jarak antara 1982 dan 1985 hanya dua
tahun. Pada tahun 1985 itu, menurut catatan Bank Dunia,
pencicilan utang Indonesia akan mencapai puncaknya -- sampai US$
3,6 milyar. Angka setinggi itu -- sebagai jumlah cicilan untuk
seluruh utang sejak masa Orde Baru dan sesudahnya -- bisa
bertambah lagi jika di hari-hari ini Indonesia minta pinjaman
baru.
Beruntung, dari pelbagai indikasi tampak: pemerintah Indonesia
sangat sadar meniti buih ke arah dua tahun mendatang ini.
Indonesia sempat mengelakkan diri dari "sindrom Meksiko" --
demamnya sebuah negara yang mendadak mumbul, dan gegabah, karena
rezeki minyak bumi. Setidaknya karena pengalaman pahit yang
lebih dekat: merasa uang minyak dapat dipertaruhkan hampir tanpa
perhitungan, di tahun 1970-an perusahaan pemerintah Pertamina
meminjam uang besar-besaran dari berbagai bank komersial di luar
negeri. Krisis terjadi dengan utang sebesar US$ 10 milyar.
Kesadaran timbul. "Itu lembaran hitam dalam sejarah ekonomi
kita," kata seorang teknokrat pemerintah mengakui.
Namun keberhati-hatian menghimpun dana dari luar akan harus
diimbangi kemampuan menghimpun dana dari dalam. Itulah sebabnya
dana di masyarakat dicoba disedot melalui kebijaksanaan baru
yang cukup radikal di bidang perbankan, yang terkenal dengan
"Kebijaksanaan 1 Juni 1983". Tentu saja, seperti dikatakan
seorang ahli ekonomi, tindakan ini "cuma meringankan, dan belum
menyelesaikan masalah." Agaknya karena itu pula akhir-akhir ini
pemerintah mulai menyuarakan perbaikan sistem perpajakan.
Yang belum disuarakan ialah bahwa perpajakan bukan cuma berarti
pengumpulan uang. Pajak menyangkut hubungan antara warga dan
negaranya: yang satu membayar dan yang lain dibayar. Dalam
sejarah Eropa Barat karena itu dari pajaklah bermula demokrasi
yang lebih luas. Dulu, di sana, hanya orang yang membayar pajak
saja yang berhak memberikan suara -- sebab pada akhirnya si
pembayar pajak harus tahu buat apa uannya dipakai.
Mungkin itu yang akan berkembang di Indonesia, dan dimulai dalam
dasawarsa 1980-an ini? Di tahun lalu, misalnya, pada saat
hangatnya pemilihan umum, Amirmachmud (waktu itu menteri dalam
negeri) membantah bahwa "pembangunan dilakukan sepenuhnya oleh
rakyat." Sebab, kata Menteri sebagaimana dikutip Sinar Harapan,
sumbangan yang dibayar rakyat paling tinggi 8% dari APBN.
Kelak, jika pajak dari rakyat lebih besar ucapan seperti itu
bukan saja akan hilang, juga pemerintah akan lebih peka kepada
desakan-desakan dari masyarakat.
Dan di situlah salah satu problem yang harus dihadapi bersama.
Semakin besar dana-dana dari masyarakat, semakin harus bijaksana
pemerintah menghadapi aspirasi yang mungkin timbul dari bawah.
Tak selamanya, tentu saja, suara dari rakyat sama dengan
kebenaran. Tapi yang tak kurang penting ialah kemungkinan ini:
dana yang terkumpul dari masyarakat itu tentu sebagian besar
datang dari kelas yang berada. Haruskah sebuah pemerintahan
Republik Indonesia karena itu memprioritaskan lapisan menengah
ke atas itu, sebagai sumber dana yang gemuk?
Pertanyaan ini, setidaknya di tahun 1983, masih suatu pertanyaan
di awang-awang akademis. Namun ia mencerminkan kegelisahan, dan
pilihan-pilihan pahit, yang laten di dalam mengelola negeri ini.
Di satu pihak ada kebutuhan pragmatis untuk memanfaatkan sektor
masyarakat yang telah maju, untuk mempercepat pertumbuhan. Di
lain pihak ada semacam komitmen ideologi untuk menjaga jalan
"pemerataan".
Lihat usaha menggalakkan ekspor di luar minyak bumi dan gas,
misalnya. Menurut ahli ekonomi Prof. Dr. Moh. Sadli, dalam
tulisannya di majalah Kadin nomor Agustus ini, menteri
perdagangan dalam jangka pendek mengambil commodity approach.
Pendekatan ini berdasarkan kapasitas produksi yang sudah ada.
Kata Sadli: "Approach ini tampak praktis, tapi dapat dikritik
hanya memperhatikan yang sudah ada, sudah maju dan sudah kuat
saja."
Seraya menyatakan bahwa pendekatan praktis jangka pendek itu
saja tak memadai, Sadli mengakui, bahwa "yang mudah harus
dilakukan dahulu, agar prosesnya bisa berjalan." Agak selaras
dengan pemikiran Sadli adalah ucapan bekas rektor UGAMA, Prof.
Dr. Sukadji Ranuwihardjo. Dalam keterangannya yang dikutip
Kompas awal Agustus yang lalu, Sukadji mengkritik kecenderungan
untuk selalu mengutamakan koperasi dan selalu menghukum yang
efisien.
Dengan kata lain, yang efisien, yang gampang maju, perlu diberi
jalan lebih luas. Usaha semacam koperasi, sekiranya tidak
efisien, tak usah dipertahankan -- meskipun semangat sosialisme
menghendaki itu.
Dr. Hadi Soesastro, ahli ekonomi terkemuka dan direktur Centre
for Strateic and International Studies, mengutarakan pilihan
itu secara lebih jelas kepada TEMPO. "Dulu, menjelang Repelita
III, kita katakan pertumbuhan yang tinggi akan memperbesar
jurang yang kaya dan miskin. Kini, pertumbuhan itu turun
sendiri. Coba lihat saja, apa yang terjadi. Malah semakin buruk
hasilnya terhadap pemerataan."
Ironis memang -- atau mungkin juga tanda berubahnya situasi
bahwa pemerintah yang dulu dikritik karena kurang memperhatikan
pemerataan kini diimbau untuk lebih memperhatikan pertumbuhan.
Sebagaimana Sukadji menyesalkan pemikiran yang terikat pada
terapi "harus-dengan-koperasi", ekonom seperti Hadi Soesastro
juga menyatakan, meskipun koperasi harus dapat tempat dalam
kehidupan ekonomi, tak berarti "seluruh ekonomi harus
dikoperasikan". Dengan kata lain sikap melindungi koperasi
dari persaingan bebas justru akan menyebabkan koperasi kian
tergantung pada proteksi pemerintah -- dan pertumbuhan ekonomi
pun tak akan lancar pula.
Namun tak mungkin sebuah pemerintahan Republik Indonesia, baru
dalam usia ke-38 dapat dengan gampang mengadakan liberalisasi
secara besar-besaran. Sekarang pun, dengan begitu banyak usaha
dipegang oleh negara dan perlakuan kredit sangat lunak diberikan
kepada pedagang kecil, pemerintah masih sering dituduh
menjalankan free fight liberalism. Maka nampaknya harapan agar
banyak usaha lebih diserahkan kepada urusan swasta dan kehidupan
pasar, tak akan segera dapat dipenuhi.
Apalagi di samping komitmen ideologis untuk tidak jatuh ke
sistem "kapitalistis", di kalangan birokrasi pemerintah sendiri
banyak kepentingan untuk mempertahankan struktur yang ada:
monopoli dan tak efisiennya perusahaan negara memang tak sehat,
tapi sistem yang sekarang justru banyak memberi kesempatan
kerja, dan mungkin juga tambahan rezeki, di antara birokrasi.
Dari masalah ini memang nampak dilema pemerintah menghadapi
birokrasinya sendiri. Bukan cuma korupsi yang menjengkelkan itu
-- yang menyebabkan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani
menyerukan kampanye antikorupsi, dan Jaksa Agung Ismail Saleh
sibuk membabat benalu di bidang kehutanan. Masalah yang
ditimbulkan oleh birokrasi bagi pemerintah, seperti sering
dikeluhkan para pejabat sendiri, ialah kurang dipercayainya
informasi ke atas, perizinan yang bertele-tele bagi usaha
ekonomi dan, tak kurang beratnya, beban anggaran rutin yang
segunung mahameru.
Masalah itu tambah rumit karena dalam jalinan politik Indonesia
kini suatu kompleks telah tumbuh: birokrasi telah bertaut
dengan pemerintah, dan demikian pula sebaliknya. Di negara
dengan sistem demokrasi Barat dan juga di negara sosialis,
pertautan seperti itu pagi-pagi dicoba dihindari. Pimpinan
pemerintahan, misalnya menteri kabinet, adalah orang partai.
Mereka dengan demikian tak mewakili birokrasi, melainkan
mewakili kekuatan lain, atas nama rakyat, untuk menggerakkan
aparat yang besar itu.
Di Indonesia, dengan Golkar yang pendukung setianya justru
aparat itu sendiri, masalahnya lebih tak mudah. Keadaannya akan
lain seandainya Golkar berkembang dengan basis yang lebih kukuh
di luar birokrasi, hingga sebagai wakil rakyat yang paling
utama, kekuatan sosial-politik itu dapat membantu pemerintah
membereskan perilaku kepegawaian yang dirasakan menghambat.
Kini, mau tak mau, administrasi pemerintahan adalah administrasi
yang tetap masih harus menenggang sebuah bentuk yang besar dan
lamban.
Namun di samping itu semua, pilihan pemerintah untuk bebas dari
ratusan ribu pegawai yang tak sepenuhnya efisien bukanlah
pilihan yang gampang. Di Indonesia, bagaimanapun juga pemerintah
tetap satu penyedia lapangan kerja yang senantiasa sabar,
bagaikan sebuah lembaga amal. Justru di masa lapangan kerja kian
sempit seperti sekarang, "amal" itu akan meresahkan bila disetop
dan diganti dengan efisiensi tulen.
Apalagi selalu bisa ditunjukkan bahwa sebenarnya aparat
pemerintah masih kurang. Polisi contohnya. Dari banyaknya
kecelakaan lalu lintas di jalanan Indonesia saja dapat
disimpulkan bahwa perbandingan antara jumlah polisi dan penduduk
sangat timpang.
Tentu, soalnya barangkali soal alokasi. Terlampau sedikit polisi
untuk melayani masyarakat, sementara terlalu banyak pegawai yang
hanya berkerumun (dan ngobrol ramai) di jam-jam kantor pelbagai
departemen. Betapa pun juga, aparat yang besar memang tak bisa
dihindarkan, bila masyarakat sendiri menghendaki campur tangan
pemerintah yang terus-menerus.
Dewasa ini pemerintah nampaknya tetap diharapkan sebagai dewa
yang bisa turun dari langit tiba-tiba bila kesulitan timbul,
seperti deus ex machina dalam sandiwara Yunani. Dalam
pengumpulan pendapat yang dilakukan TEMPO, misalnya, yang 30%
lebih respondennya berpendidikan SLA, ternyata satu hal muncul:
hampir 50% mereka menganggap baik buruknya keadaan ekonomi
Indonesia tahun mendatang "tergantung pada pemerintah".
Tentu saja, pemerintah di negeri seperti Indonesia tak dapat
menghindar dari rol yang besar. Pemerintah pula yang biasanya
dlharapkan mengelola pelbagai tuntutan yang sulit seperti
"pemerataan". Zaman ini, bak kata seorang cendekiawan terkemuka
memang bukan hanya zaman revolusi meningkatnya tuntutan. Zaman
ini juga zaman revolusi meningkatnya pihak-pihak yang merasa
berhak menuntut. Dengan kata lain, ini memang zaman yang paling
memusingkan pemerintah di mana saja, kecuali mungkin di negara
totaliter.
Sebab itu, soal "pemerataan" tak dapat dilepaskan pemerintah
sama sekali, biarpun ketika pertumbuhan ekonomi demikian
rendahnya. Apalagi di Indonesia perkara ini serta merta dapat
menyulut sumbu kekalutan politik yang terpendam dalam sekam.
Kategori "kaya" dan "miskin", "ekonomi kuat" dan "ekonomi
lemah", dengan langsung bisa diterjemahkan secara garang dalam
kategori "Cina" dan "pribumi", "asing" dan "asli" -- lalu kota
pun meledak.
Seperti tercatat dalam sejarah, ledakan itu selalu menimbulkan
korban yang besar dan hasil yang tak ketahuan jatuhnya. Tapi
seperti juga tercatat dalam sejarah, konflik antara "pribumi"
dan keturunan Cina" terjadi terus berulang-ulang -- bukan cuma
di masa Orde Baru. Konflik itu seakan merupakan pola tetap,
sejak awal abad ini di bawah pemerintahan Belanda sampai dengan
awal "demokrasi terpimpin" Bung Karno, dan hingga sekarang.
Pemerintah kini -- yang telah memadamkan kerusuhan sejenis
beberapa kali -- tahu betul akan hal itu.
Ketidakpuasan pada akhirnya memang dapat menemukan pernyataannya
melalui kata-kata yang galak, ataupun simbol yang memikat dan
memperkukuh. Dengan kata lain, ketidakpuasan sosial selalu
mencari -- sampai akhirnya menemukan -- suatu "bahasa ideologi".
Yang merepotkan ialah bahwa kemudian jadi kabur mana yang jadi
asap, mana yang jadi api: ketidakpuasan itu, atau ideologi itu.
Sejarawan terkemuka Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang
termasyhur karena telaahnya mengenai pelbagai pemberontakan
petani di Jawa sekitar seabad yang lalu, dengan gamblang
mengisahkan hubungan antara ketidakpuasan sosial dan ideologi
itu.
Seperti diungkapkannya kembali kepada TEMPO di Yogya pekan lalu,
dalam pemberontakan petani di Cilegon, Jawa Barat, di tahun
1888, misalnya penyebabnya berbagai macam. Penetrasi
pemerintahan kolonial dan pamong praja ke desa memperbesar
konflik antara pemlmpin agama dan pamong praja yang sudah
terjadi. Sementara itu rasa tak puas terhadap pelbagai peraturan
pemerintah juga muncul, dan inovasi seperti sistem pajak dan
jarum suntik menggelisahkan rakyat.
Ledakan hanya menunggu waktu saja, karena soal sepele. Istri
residen kesal mendengar suara azan dari surau di belakang rumah.
Sang Residen kemudian mengeluarkan kata-kata, "Kenapa mesti
bersuara keras, apa Tuhan tuli?" Kata-kata ini sampai ke
kalangan agama -- lalu meletuslah pemberontakan.
Nampaknya memang bukan ideoloel itu sendiri yang menyebabkan
konflik atau benturan. Meskipun harus dicatat: ideologi pula
yang sering memutlakkan perbedaan pendapat yang sebenarnya
nisbi.
Mungkin itu sebabnya -- dengan kecemasan yang wajar akan
benturan sosial-politik di masa yang sedang sulit ini --
pemerintah mencetuskan gagasan "asas tunggal", yang telah
diterima oleh Sidang Umum MPR yang lalu. Kalangan organisasi
massa nampaknya belum semua menerima -- atau mengerti. Ada rasa
cemas bahwa dengan "asas tunggal" itu identitas sebuah
organisasi cair dan terhapus. Padahal, identitas suatu kelompok
itu sering semacam tempat berlindung bagi banyak orang di zaman
ini yang keluar dari rumah, merantau -- dan menemukan kenyataan
hidup yang lain.
Namun, agaknya salah paham telah terjadi. Seperti dikatakan
Roeslan Abdulgani kepada TEMPO pekan lalu, bagi orang yang
"kurang mengerti" maksud pemerintah, pidato Presiden Soeharto 1
Oktober 1982 di dalam pelantikan anggota DPR-MPR perlu dibaca
baik-baik. Di sana Presiden berkata: "Alangkah baiknya kalau
semua kekuatan politik berasaskan Pancasila, tapi ini tidak
berarti mematikan kebhinekaan masing-masing kelompok itu."
Memang, kata Roeslan pula, ada mereka yang memang "tidak mau
menerima Pancasila". Namun bagi yang masih ragu, pemerintah
sebaiknya mendengar dasar keraguan mereka." Di samping itu,
"pemerintah sebaiknya juga mengemukakan jaminan-jaminan."
Mungkin itu berarti dialog, suatu proses panjang yang kadang
menjengkelkan. Tapi di bawah bayang-bayang pertumbuhan yang
rendah 1983, pilihan sungguh tak banyak. Apa mau dikata, ini
memang bangsa yang besar -- dalam jumlah, dalam nasib, dalam
tujuan. Perkara sering tak jadi mudah, sengketa sering tak
terelakkan. Tapi siapa yang mengimpikan bentrokan, perlu ingat
bahwa 38 tahun kemerdekaan adalah periode panjang untuk belajar
jadi satu bangsa -- kadang dengan mayat, bumi hangus,
pembasmian, permusuhan, perang saudara.
Tapi siapakah yang memimpinkan bentrokan lagi? Keresahan memang
sering nampak ke permukaan. Tapi orang bisa mengatakan bahwa itu
wajar, bila sebuah lingkungan nilai-nilai dengan cepat terbuka
dan hal-hal baru menghambur. Dilihat dari sini, keresahan justru
sesuatu yang tak terelakkan setelah sekian tahun hasil
pembangunan.
Memang ironis. Tapi apa boleh buat. Pembangunan dengan
sendirinya, bila ia berhasil, membawakan pelbagai hal yang
sebelumnya asing, dan tak selamanya menyenangkan -- dari
hamburger sampai dengan komputer, dari kosmetik sampai dengan
kesadaran statistik. Pada tahap-tahapnya, yang tak akan pernah
usai, yang lahir bukanlah Negeri Yang Sempurna, sebuah Utopia.
Sebab kesempurnaan sedemikian hanya dongeng ki dalang.
Sayangnya, kesalahpahaman nampaknya sering terjadi, karena
"masyarakat yang adil dan makmur" itu dianggap sesuatu yang akan
tercapai dan selesai -- bukannya sesuatu yang selalu punya
cacat, dan karena itu selalu harus dapat disempurnakan. Maka
bila ada kekecewaan, sebabnya barangkali itu: harapan yang
salah, yang terlalu berlebih.
Namun tak semua kekecewaan agaknya harus jadi api yang membakar
bom. Apalagi kini, setelah pengalaman bertambah, setelah
pandangan berubah. Seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo,
gerakan Ratu Adil, dengan loyalitas yang total, yang menyerukan
jalan apa pun ke hidup yang sempurna, tak mudah terjadi lagi.
Bahkan PKI, yang telah menggunakan cara yang lebih modern, tidak
berhasil. Zaman sudah berganti. Orang tak akan datang
berduyun-duyun untuk Sawito atau siapa saja yang dianggap Ratu
Adil.
Benarkah ? Yang pasti, sejarah tak mungkin berulang. Meskipun
seperti sering tercatat -- yang bisa berulang adalah
kesalahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini