SELAMA lima hari, pertengahan Mei lalu, Gubernur Riau Soebrantas
keliling ke 6 dari 7 kecamatan terpencil di Kepulauan Natuna
yang semuanya termasuk Kabupaten Kepulauan Riau. Selain
rada-rada puyeng merasakan ombak musim Selatan dalam perjalanan
sejauh 1000 mil, Gubernur Soebrantas juga harus mendengar
berbagai keluhan masyarakat.
Keluhan banyak menyangkut urusan sehari-hari. Selain persediaan
terbatas harga pun mahal. Harga beras misalnya berkisar antara
Rp 250 sampai Rp 300 per-kg. Ini disebabkan apa lagi kalau bukan
soal pengangkutan yang sulit.
Sebagian kebutuhan penduduk, terutama untuk Kecamatan Tambelan,
Serasan dan Midai, diangkut dari Sinkawang Kalimantan Barat.
Akan hal Kecamatan Siantan, Jemaja dan Bunguran bahkan
mengandalkan kebutuhannya pada pedagang-pedagang dari Semarang
dan Cirebon.
Urusan dengan Tanjungpinang, ibukota kabupatennya, sedikit
sekali. Sebab tak ada kapal tetap menjalani trayek ini.
Paling-paling pengangkut beras Bulog. Padahal Natuna merupakan
salah satu daerah penting penghasil kopra. Produksinya setahun
sekitar 10 ribu ton. Hanya baik kopra maupun cengkeh, begitu pun
hasil bumi lain dari daerah ini, pasarannya jauh di Kalimantan
Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan perkara melangitnya harga kebutuhan pokok sehari-hari
seperti garam dan minyak tanah, menurut penduduk, disebabkan
adanya sistim monopoli. Sebuah koperasi militer yang kebetulan
memegang hak demikian belum mampu menurunkan harga. Harga garam
sampai Rp 150 per-kg, dan minyak tanah Rp 100 seliter.
Keluhan Tuntas
Kesempatan menerima kunjungan Soebrantas yang hanya satu dua jam
saja, betul-betul dimanfaatkan warga Kepulauan Natuna untuk
mengeluh sampai tuntas. Misalnya dari Syafei Musa, salah seorang
di antara 38 Kepala Desa di sana, mengeluh panen padi di Desa
Subi tempatnya bertuas belakangan sering gagal. Selain karena
serangan hama juga lantaran "kurang penyuluhan," katanya.
Untungnya, sebegitu jauh, tak seorang penduduk yang mengeluh
kelaparan. "Kelaparan tidak pernah terjadi karena kami sudah
biasa hidup susah," ucap beberapa orang di antara mereka. Setiap
menjelang paceklik mereka mencari ubi atau sagu. Ditambah dengan
persediaan ikan, yang sebagaimana galibnya di daerah kepulauan
senantiasa gampang, menurut seorang dokter Puskesmas "kebutuhan
protein tidak terganggu."
Tapi menarik, "dibanding dengan keadaan di Riau Daratan,
kecamatan-kecamatan yang ada di daerah Natuna lebih maju," kata
Soebrantas. Kota-kota kecamatan di daerah itu sudah pada
berlistrik. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki disel
pembangkit listrik sendiri. Di jalan kecamatan, rata-rata
panjangnya cuma 2 - 3 km, berseliweran sepeda motor berbagai
merek.
Pemasukan pajak dari daerah Natuna juga hebat. 40% seluruh
pendapatan Ipeda Kabupaten Kepulauan Riau disedot dari
kecamatan-kecamatan terpencil di sana. Tapi, begitu keluh
penduduk, pengembaliannya dalam bentuk proyek-proyek dirasakan
kurang. Itulah sebabnya belakangan ada suara-suara yang
menghendaki bekas Kewedanaan Pulau Tujuh itu menjadi kabupaten
tersendiri atau bergabung ke propinsi Kalimantan Barat.
Mungkinkah itu? "Wah saya belum mau menjawab soal ini," komentar
Soebrantas. Sebab, katanya, "saya sudah punya konsep untuk
membangun Natuna." Jadi tak usah buru-buru berpisah, Natuna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini