Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di Natuna,

Keluhan masyarakat yang disampaikan gubernur Subrantas A.l: mengenai mahalnya kebutuhan pokok disebabkan oleh monopoli dan sulitnya pengangkutan. Subrantas punya konsep untuk membangun Natuna.(dh)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA lima hari, pertengahan Mei lalu, Gubernur Riau Soebrantas keliling ke 6 dari 7 kecamatan terpencil di Kepulauan Natuna yang semuanya termasuk Kabupaten Kepulauan Riau. Selain rada-rada puyeng merasakan ombak musim Selatan dalam perjalanan sejauh 1000 mil, Gubernur Soebrantas juga harus mendengar berbagai keluhan masyarakat. Keluhan banyak menyangkut urusan sehari-hari. Selain persediaan terbatas harga pun mahal. Harga beras misalnya berkisar antara Rp 250 sampai Rp 300 per-kg. Ini disebabkan apa lagi kalau bukan soal pengangkutan yang sulit. Sebagian kebutuhan penduduk, terutama untuk Kecamatan Tambelan, Serasan dan Midai, diangkut dari Sinkawang Kalimantan Barat. Akan hal Kecamatan Siantan, Jemaja dan Bunguran bahkan mengandalkan kebutuhannya pada pedagang-pedagang dari Semarang dan Cirebon. Urusan dengan Tanjungpinang, ibukota kabupatennya, sedikit sekali. Sebab tak ada kapal tetap menjalani trayek ini. Paling-paling pengangkut beras Bulog. Padahal Natuna merupakan salah satu daerah penting penghasil kopra. Produksinya setahun sekitar 10 ribu ton. Hanya baik kopra maupun cengkeh, begitu pun hasil bumi lain dari daerah ini, pasarannya jauh di Kalimantan Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan perkara melangitnya harga kebutuhan pokok sehari-hari seperti garam dan minyak tanah, menurut penduduk, disebabkan adanya sistim monopoli. Sebuah koperasi militer yang kebetulan memegang hak demikian belum mampu menurunkan harga. Harga garam sampai Rp 150 per-kg, dan minyak tanah Rp 100 seliter. Keluhan Tuntas Kesempatan menerima kunjungan Soebrantas yang hanya satu dua jam saja, betul-betul dimanfaatkan warga Kepulauan Natuna untuk mengeluh sampai tuntas. Misalnya dari Syafei Musa, salah seorang di antara 38 Kepala Desa di sana, mengeluh panen padi di Desa Subi tempatnya bertuas belakangan sering gagal. Selain karena serangan hama juga lantaran "kurang penyuluhan," katanya. Untungnya, sebegitu jauh, tak seorang penduduk yang mengeluh kelaparan. "Kelaparan tidak pernah terjadi karena kami sudah biasa hidup susah," ucap beberapa orang di antara mereka. Setiap menjelang paceklik mereka mencari ubi atau sagu. Ditambah dengan persediaan ikan, yang sebagaimana galibnya di daerah kepulauan senantiasa gampang, menurut seorang dokter Puskesmas "kebutuhan protein tidak terganggu." Tapi menarik, "dibanding dengan keadaan di Riau Daratan, kecamatan-kecamatan yang ada di daerah Natuna lebih maju," kata Soebrantas. Kota-kota kecamatan di daerah itu sudah pada berlistrik. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki disel pembangkit listrik sendiri. Di jalan kecamatan, rata-rata panjangnya cuma 2 - 3 km, berseliweran sepeda motor berbagai merek. Pemasukan pajak dari daerah Natuna juga hebat. 40% seluruh pendapatan Ipeda Kabupaten Kepulauan Riau disedot dari kecamatan-kecamatan terpencil di sana. Tapi, begitu keluh penduduk, pengembaliannya dalam bentuk proyek-proyek dirasakan kurang. Itulah sebabnya belakangan ada suara-suara yang menghendaki bekas Kewedanaan Pulau Tujuh itu menjadi kabupaten tersendiri atau bergabung ke propinsi Kalimantan Barat. Mungkinkah itu? "Wah saya belum mau menjawab soal ini," komentar Soebrantas. Sebab, katanya, "saya sudah punya konsep untuk membangun Natuna." Jadi tak usah buru-buru berpisah, Natuna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus