DEMOKRASI adalah suatu persetujuan antara oknum dan masyarakat.
Oknum tak boleh ditindas dan diperkosa hak-haknya, tapi oknum di
dalam menjalankan hakhaknya tak boleh pula merugikan masyarakat.
Kalau saya kelebihan duit saya boleh memesan beduk yang
berpenampang dua meter dan pakai kulit gajah bengkak, mendirikan
sebuah menara setinggi limapuluh meter dan membeli pengeras
suara yang terbaik yang saya tempatkan di puncak menara di
hadapan beduk saya. Itu hak saya dan masyarakat tak boleh
mengganggu saya selama saya tak mengganggu masyarakat.
Tapi kalau saya kejangkitan beduk-mania dan memukul beduk antara
jam satu malam dan jam tiga dinihari di muka pengeras-suara
dengan volume terbesar, masyrakat berhak bertindak terhadap
saya. Saya dapat dituntut berdasarkan pasal 503 ayat I KUHP.
Kalau saya dibiarkan menggila dan merajalela, anak-anak akan
sakit jantung dan orang tua-tua akan kena penyakit tekanan darah
tinggi.
Jadi demokrasi adalah suatu persetujuan hak masyarakat atas
oknum pro bono publico (untuk kebaikan orang banyak), supaya
oknum tak sewenang-wenang. Demokrasi adalah persetujuan bersama
tentang kewajiban oknum kepada masyarakat Tapi hak dan kewajiban
itu terbatas, tidak boleh sewenang-wenang dan menindas oknum.
Saya tak suka durian baunya saja membuat saya jadi pening.
Sebagian terbesar anggota masyarakat Indonesia suka durian,
hingga saya dianggap aneh, kebelanda-belandaan. Tapi terhadap
baunya saja saya sudah alergik, seperti terhadap minuman salicyl
yang ketika kecil sehari wajib saya minum 3 x 1 sendok makan
selama tiga bulan penuh! Oleh karena itu masyarakat tak berhak
memaksa saya makan durian dan minum salicyl. Paksaan mengenai
itu adalah teror! Teror tak dapat dibenarkan, baik teror
minoritas terhadap majoritas, maupun sebaliknya.
Akomodasi
Mengapa? Karena kalau saya tak makan durian dan tak minum
salicyl, masyarakat tak 'kan dirugikan. Jadi demokrasi adalah
akomodasi (penyesuaian secara saling mengalah) timbal-balik
antara oknum dan masyarakat. Persetujuan itu menjunjung tinggi
nilai-nilai dasar moral, agama dan hak-hak asasi manusia. Saya
tak boleh men-subversi wanita yang bukan isteri saya (maafkan
paradoks ini, karena kalau isteri saya sesungguhnya perbuatan
saya bukan subversi!) saya tak boleh dipaksa makan babi dan
saya tak boleh memaksa orang lain berpuasa (di dalam agama tiada
paksaan, hanya ada aqidah yang dijalankan berdasarkan kesadaran
sendiri, karena setiap insan bertanggungjawab sendiri-sendiri)
saya berhak atas pekerjaan dan nafkah, berhak diperlindungi
terhadap kekerasan dan kesewenang-wenangan, berhak memilih jodoh
sendiri dan menganut agama yang saya yakini dan masih banyak hak
lainnya. Nilai-nilai dasar tersebut tak boleh dihapuskan oleh
mesin-suara majoritas terhadap minoritas.
Impitan mesin suara itu saya alami pada awal tahun 1952 di bawah
apa yang dinamakan "sentralisme demokratik": sebelum pertukaran
pikiran, dilakukan suatu pemungutan suara apakah saya berhak
berbicara, karena saya menentang suatu pendirian yang menurut
saya tak benar. Tapi semua orang lain berhak suara, kecuali
saya.
Maka terjadilah penghamburan uang rakyat oleh segelintir orang
yang suka membagi-bagi milik rakyat. Sejak itu saya bebaskan
diri saya daripada suatu bentuk demokrasi yang memperbedakan
perlakuan terhadap orang yang sama haknya. Namun akhirnya ketika
demokrasi macam itu tumbang, saya ikut remuk ditimpa bangkainya!
Sampai sekarang saya belum menemukan tukang las yang sanggup
mereparasi keremukan saya.
Demokrasi tak mewajibkan keseragaman: alangkah celakanya kaum
lelaki kalau semua wanita berseragam jean biru-biru atau drill
hijau-hijau atau poplin merah-merah atau serba sama lainnya. Dan
alangkah merananya kaum wanita jika semua lelaki mencintai catur
atau main bola lebih daripada mencintai isterinya. Tapi
demokrasi pun tidak mengidealisasikan non-konformisme, hingga
setiap orang boleh nyentrik dengan idiosinkrasinya
masing-masing, misalnya hingga ada seorang gurubesar yang
memberi kuliah dengan pakaian karateka dan berblangkon.
Jadi apakah sebenarnya demokrasi?
Demokrasi adalah pilihan yang terbaik dari antara segala yang
serba tak sempurna. Demokrasi adalah pengakuan jujur tentang
ketidak-sempurnaan manusia. Demokrasi adalah keyakinan, bahwa
kekuasaan pun perlu berlandaskan moral dan pembatasan diri
secara sukarela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini