LAIN dari biasanya suasana kota Labuan di Banten belakangan ini
nampak lebih ramai. Bukan hanya karena ada 'pertunjukan' dari
Gunung Krakatau yang mencemaskan itu. Melainkan karena hari-hari
ini musim ikan sedang menggembirakan kaum nelayan. Di samping
berduyun-duyunnya penduduk dari seantero Banten menukar-nukar
pemandangan melancong ke pantai Lampe dan Pulau Popole. Sekalian
tak lupa ziarah ke makam Kyai Caringin yang tersohor itu.
Maklum, memasuki bulan suci Ramadhan.
Tapi lebih menarik lagi dari kota yang terletak di pesisir Selat
Sunda itu adalah meski terbilang bandar nelayan semenjak sebelum
perang dunia, toh Labuan sampai kini belum mempunyai pelabuhan
yang memadai.
Berpenduduk sekitar 16 ribu jiwa, separoh dari mereka berladang
di laut lepas. Sampai pamor Labuan sebagai penghasil ikan di
Jawa Barat pada suatu hari hanya diungguli oleh Cirebon.
Namun ketika Cirebon kini tetap bertahan pada urutan teratas,
Labuan sudah lama anjlog ke tempat ke-6. Karena Indramayu sudah
keburu ambil alih tempat kedua, disusul Ciamis, Sukabumi dan
Karawang. Apa boleh buat."Ini gara-gara salah urus," ujar
seorang nelayan.
Ceritanya, begini. Hampir dua puluh tahun silam, semua kapal
bisa masuk ke muara Cilabuan dan bisa langsung merapat ke dekat
pasar dan tempat lelang ikan. Ternyata Dinas Perikanan Laut
setempat punya rencana lain kaum nelayan lalu digusur ke sebuah
teluk, 2 km arah utara. Para nelayan semula keberatan, dengan
alasan teluk itu tak seberapa luasnya, di samping bila musim
barat datang kapal-kapal biasa disandarkan di teluk itu.
Gelombang besar yang bikin ciut nyali nelayan itu biasanya
berlangsung 4 bulan, yaitu mulai September sampai Desember.
Namun pembangunan teluk itu berjalan terus. Dibuatlah sebuah
dermaga yang menjorok ke laut sepanjang 60 meter. Biayanya dari
APBD Pemda Jawa Barat 73/74. Maklum bangunan dari kayu, selang
dua tahun dermaga itupun tamat riwayatnya -- dan ludes pula
biaya Rp 38 juta itu. Sampai sekarang yang tersisa hanya tunggul
belaka.
Maka bongkar muat berlangsung 150 meter dari pantai. Akibat dari
orang harus terjun ke laut sedalam leher, tak terelakkan
mempengaruhi harga barang barang itu di pasaran, di samping
jalannya menjadi lebih lambat. Barang yang ke luar masuk di sini
juga berupa hasil bumi serta 9 bahan pokok sehari-hari.
Riwayat Labuan ini sendiri cukup menarik. Pernah menjadi
ibukota kabupaten Pandeglang, tapi akibat Gunung Krakatau
meletus (1883) ibukota dipindahkan ke Menes, lalu ke Pandeglang
sampai sekarang. Namun dibanding Pandeglang, Labuan toh lebih
ramai. Bila Pandeglang tak punya gedung bioskop, Labuan punya
sebiji. Lalu ada dua kantor bank, sebuah terminal bis, empat
perusahaan bis, dua SMP dan stasiun kereta api. Hanya industri
belum berkembang di daerah ini. Mungkin salah satu sebabnya
listrik PLN yang bertenaga disel itu masih sangat terbatas
kemampuannya listrik menyala hanya malam hari.
Tapi lepas dari itu nelayan Labuan rindu punya dermaga yang
layak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini