Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di Sekitar Krakatau Yang Aktif

Kota labuan di Banten, belum mempunyai pelabuhan yang memadai, meskipun terkenal sebagai bandar nelayan. Kesulitan bongkar muat barang dari kapal, mempengaruhi harga barang di pasaran.(dh)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN dari biasanya suasana kota Labuan di Banten belakangan ini nampak lebih ramai. Bukan hanya karena ada 'pertunjukan' dari Gunung Krakatau yang mencemaskan itu. Melainkan karena hari-hari ini musim ikan sedang menggembirakan kaum nelayan. Di samping berduyun-duyunnya penduduk dari seantero Banten menukar-nukar pemandangan melancong ke pantai Lampe dan Pulau Popole. Sekalian tak lupa ziarah ke makam Kyai Caringin yang tersohor itu. Maklum, memasuki bulan suci Ramadhan. Tapi lebih menarik lagi dari kota yang terletak di pesisir Selat Sunda itu adalah meski terbilang bandar nelayan semenjak sebelum perang dunia, toh Labuan sampai kini belum mempunyai pelabuhan yang memadai. Berpenduduk sekitar 16 ribu jiwa, separoh dari mereka berladang di laut lepas. Sampai pamor Labuan sebagai penghasil ikan di Jawa Barat pada suatu hari hanya diungguli oleh Cirebon. Namun ketika Cirebon kini tetap bertahan pada urutan teratas, Labuan sudah lama anjlog ke tempat ke-6. Karena Indramayu sudah keburu ambil alih tempat kedua, disusul Ciamis, Sukabumi dan Karawang. Apa boleh buat."Ini gara-gara salah urus," ujar seorang nelayan. Ceritanya, begini. Hampir dua puluh tahun silam, semua kapal bisa masuk ke muara Cilabuan dan bisa langsung merapat ke dekat pasar dan tempat lelang ikan. Ternyata Dinas Perikanan Laut setempat punya rencana lain kaum nelayan lalu digusur ke sebuah teluk, 2 km arah utara. Para nelayan semula keberatan, dengan alasan teluk itu tak seberapa luasnya, di samping bila musim barat datang kapal-kapal biasa disandarkan di teluk itu. Gelombang besar yang bikin ciut nyali nelayan itu biasanya berlangsung 4 bulan, yaitu mulai September sampai Desember. Namun pembangunan teluk itu berjalan terus. Dibuatlah sebuah dermaga yang menjorok ke laut sepanjang 60 meter. Biayanya dari APBD Pemda Jawa Barat 73/74. Maklum bangunan dari kayu, selang dua tahun dermaga itupun tamat riwayatnya -- dan ludes pula biaya Rp 38 juta itu. Sampai sekarang yang tersisa hanya tunggul belaka. Maka bongkar muat berlangsung 150 meter dari pantai. Akibat dari orang harus terjun ke laut sedalam leher, tak terelakkan mempengaruhi harga barang barang itu di pasaran, di samping jalannya menjadi lebih lambat. Barang yang ke luar masuk di sini juga berupa hasil bumi serta 9 bahan pokok sehari-hari. Riwayat Labuan ini sendiri cukup menarik. Pernah menjadi ibukota kabupaten Pandeglang, tapi akibat Gunung Krakatau meletus (1883) ibukota dipindahkan ke Menes, lalu ke Pandeglang sampai sekarang. Namun dibanding Pandeglang, Labuan toh lebih ramai. Bila Pandeglang tak punya gedung bioskop, Labuan punya sebiji. Lalu ada dua kantor bank, sebuah terminal bis, empat perusahaan bis, dua SMP dan stasiun kereta api. Hanya industri belum berkembang di daerah ini. Mungkin salah satu sebabnya listrik PLN yang bertenaga disel itu masih sangat terbatas kemampuannya listrik menyala hanya malam hari. Tapi lepas dari itu nelayan Labuan rindu punya dermaga yang layak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus