LIMA belas pemuda berdiri canggung di depan gerbang ruang dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA) UI. Mereka, Rabu pekau lalu itu, mencatat sesuatu dari pengumuman yang tertempel di dinding. "Wah, enak," celetuk salah seorang di antaranya. "Dapat pendidikan, dikasih uang, setelah lulus langsung diangkat jadi guru." Pendidikan guru? Di UI? Benar. Dan inilah program "potong kompas" pendidikan guru eksakta untuk SMA di sembilan perguruan tinggi negeri, yang pendaftaran mahasiswanya ditutup akhir Agustus. Selain di UI, ditunjuk pula ITB, IPB, Unpad, UGM, Unair, ITS, USU, dan Unhas. Kebijaksanaan ini diputuskan sewaktu J.B. Sumarlin, ketua Bappenas, masih bertugas pula sebagai menteri P & K ad interim Juni-Juli yang lalu. Tapi memang baru diumumkan pada 8 Agustus lewat iklan di surat-surat kabar, sekaligus sebagai pengumuman pembukaan pendaftaran calon mahasiswa program diploma 3 tahun (D-3) ini. Cara ini dianggap oleh Menteri, yang tampaknya tak suka menunda pemecahan masalah, "jalan pintas mengatasi kekurangan guru eksakta di SMA, terutama SMA luar Jawa". Sudah agak lama sebenarnya keluhan SMA kekurangan guru eksakta (matematika, kimia, biologi, dan fisika) terdengar. Pihak IKIP sendiri, yang punya kewajiban melahirkan guru-guru SMA, tampaknya sudah tak mungkin meningkatkan produksinya. Dalam suatu pertemuan rektor IKIP negeri seluruh Indonesia, bahkan, mereka sepakat untuk mengimbau universitas dan institut yang punya fakultas eksakta agar membantu pengadaan guru eksakta untuk SMA, tutur Budi Darma, rektor IKIP Surabaya. "Ini bukan karena IKIP merasa tak mampu, tapi semata karena pertimbangan daya tampung," kata Budi pula. Tapi, tampaknya, selain soal guru yang kurang, ada pula faktor lain. Sudah umum diketahui, nilai ujian negara atau Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional) SMA tahun ini untuk bidang studi eksakta jeblok. Nilai itu, untuk lulusan SMA di Jawa, rata-rata lima. Bahkan untuk SMA luar Jawa, di Sumatera Utara misalnya, menurut rektor USU, Adi Putra Parlindungan, rata-rata nilai eksakta ujian negara tiga. Kambing hitam untuk ini, siapa lagi, bila bukan guru. Bila kemudian dibuka program jalan pintas ini, agaknya memang ada niat menciptakan guru dengan cara lain. Dan harapannya, tentu saja, guru eksakta yang lebih berbobot. Sebab, kurikulum Program D-3 jalan pintas ini tak menyontek yang di IKIP. "Kamilah yang diserahi menyusun kurikulum pendidikan guru di universitas dan institut teknologi ini," kata Susanto Imam Rahayu, staf dosen Jurusan Kimia ITB, yang kini menjadi koordinator Program D-3 di ITB. Kurikulum program ini, misalnya, membagi satu tahun kuliah menjadi tiga semester - bukan dua semester seperti lazimnya. "Gunanya, bila mahasiswa gagal ujian matematika semester pertama, misalnya, tak perlu menunggu terlalu lama untuk ujian ulang," kata Susanto pula. Lain daripada itu, tiap semester mahasiswa hanya diwajibkan mengambil 4-5 mata kuliah dengan bobot 3-6 SKS (satuan kredit semester). "Supaya mahasiswa konsentrasinya tak terpecah-pecah dengan demikian, studi bisa lancar dan mendalam," kata Susanto. Dan perbedaan yang agak mencolok dengan program diploma di IKIP, porsi mata kuliah nonkependidikan di tentukan sekitar 75%. Berarti, kuliah ilmu kependidikan hanya kira-kira 25%. (Di IKIP, perbandingan itu lain: 40% kuliah ilmu kependidikan, 60% nonkependidikan). "Sebab, untuk guru SMA," tutur koordinator Program D-3 di ITB ini, "tanpa penguasaan materi secara baik, tak mungkin mengajar dengan baik." ITB bukan mengada-ada. Staf pengajar FMIPA ITB selama ini banyak yang aktif menjadi konsultan program peningkatan keterampilan guru di Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dari pengalaman itulah, kata Susanto Imam Rahayu, disimpulkan, guru SMA yang benar-benar menguasai materi bidang studinyalah yang bisa kreatif mengajar. Tampaknya program jalan pintas ini cukup menarik calon mahasiswa. Ada yang tertarik karena pendidikan ini gratis, bahkan diberi uang saku Rp 25.000 per bulan. Yang lain berminat mendaftar karena begitu selesai pendidikan tiga tahun terus diangkat menjadi guru SMA di luar Jawa dengan pangkat IIB. Tapi sejumlah calon mahasiswa program ini, yang sempat ditemui TEMPO, tertarik karena, "Setelah menjadi guru lima tahun, diberi kesempatan kuliah sarjana sampai lulus," kata Zaenal Abidin, 21, anak guru SD Sukabumi Ilir, Jakarta, yang mendaftarkan diri ke UI. Program yang direncanakan diadakan enam angkatan ini, untuk angkatan pertama, akan menampung 30 mahasiswa tiap jurusan di tiap universitas dan institut yang terlibat. Ternyata, peminatnya cukup besar. Hingga pekan lalu, ITB telah mendaftar 228 calon mahasiswa. Di Unair, Surabaya, bahkan mencapai jumlah 800 calon. Yang menarik, kebanyakan calon mengaku tertarik mendaftarkan diri karena mereka telah gagal masuk universitas atau institut teknologi. Dan mereka sebenarnya tak berminat jadi guru karena itu, tak mendaftarkan diri ke IKIP, misalnya. Mungkin karena pertimbangan ini pula, program ini di bebankan kepada universitas dan institut teknologi, bukannya IKIP. "Secara psikologis, sekarang ini, UI, ITB, Unair, misalnya," kata Makful Sansudiro, ketua Pelaksana Program Kependidikan D-3 FMIPA UI, "lebih dipandang oleh lulusan SMA ketimbang IKIP." Tentu, untuk mata kuliah ilmu kependidikan - yang rencananya baru akan diberikan 2-3 semester terakhir - pihak penyelenggara program ini minta bantuan dosen dari IKIP. Cuma ada komentar, dari Asmaniar Idris, direktur program diploma IKIP Negeri Jakarta. "Harapan saya, dengan kurikulum yang agak berbeda dengan IKIP, program di universitas dan institut teknologi itu tak cuma menguasai ilmu, tapi juga punya jiwa mendidik," katanya. Memang, selain persentase kuliah ilmu kependidikan lebih sedikit, seleksi masuk pun tanpa tes psikologi. Saringan hanya berdasarkan nilai ujian dan angka rapor kelas I sampai III SMA. Tapi ini memang jalur lain pengadaan guru. Siapa tahu bisa mengatrol mutu sekolah menengah? Bambang Bujono Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini